“Anak saya sering kesurupan pak, hampir setiap sore menjelang maghrib dia berteriak-teriak sambil menangis” kata lelaki itu kepada bapakku.
“Duh, tapi begini pak, anda salah orang. Saya tidak bisa mengatasi hal-hal seperti itu ” jawab bapakku kepada lelaki itu.
“Tolonglah pak. Saya tidak tau lagi harus kemana. Sudah berbagai macam cara saya lakukan tapi dia masih terus begitu” ucap lelaki itu seperti pasrah.
……
Tak ada angin tak ada hujan. Siang tadi lelaki itu mengetuk pintu rumah kami beberapa kali. Setelah kubuka ia bertanya dengan menyebut nama bapakku.
Dengan wajah penuh harapnya kupersilahkan dia masuk ke ruang tamu. Sekali lagi dia bertanya untuk memastikan apakah orang yang dicarinya benar-benar sedang di rumah. Aku tak merasa kenal, ku kira mungkin dia ingin memesan ukiran kayu.
Setelah kupanggilkan bapakku yang sedang mengamplas kayu jati di halaman belakang tempat biasa ia bekerja, aku menuju dapur untuk membuat kopi. Ibu sempat bertanya siapa gerangan tamu itu dan aku menjawabnya tidak tahu.
Kubawakan dua cangkir kopi menuju ruang tamu. Di sana bapakku sudah duduk dan mulai berbincang dengan lelaki itu. Sengaja kuperlambat jalanku saat kembali dari menyuguhkan minuman.
Percakapan yang membuatku begitu ingin tau. Lelaki itu terdengar menceritakan kondisi anak semata wayangnya yang masih berumur tiga belas tahun. Sudah beberapa bulan ini anaknya seringkali mengalami kesurupan. Berteriak-teriak dan menangis tak jelas. Dan baru akan kembali tenang ketika waktu mendekati maghrib.
Lelaki itu meminta bapak menyembuhkan anaknya. Dia begitu yakin dan sangat berharap. Ketika bapak menolaknya dengan halus, dia malah memohon-mohon dan memaksa dengan menawarkan berbagai macam imbalan yang besar.
Tentu sebenarnya ini bukanlah masalah itu. Kami semua tau, bapak bukan dukun, paranormal, orang sakti ataupun semisalnya yang bisa melakukan hal-hal seperti itu. Setelah cukup lama akhirnya tamu lelaki itu pulang tanpa mendapat apa yang ia inginkan. Bapak mengantarnya sampai depan pintu, menepuk-nepuk punggungnya dan kembali masuk ke dalam rumah.
Ini bukan kali pertama kejadian seperti ini terjadi. Beberapa kali tamu tak di kenal datang dengan berbagai maksud yang aneh. Pernah suatu malam sepasang suami istri datang membawa kantong kresek berisi gula kopi.
Bercerita bahwa sudah tiga hari ini tiada satu orang pun yang mengunjungi warungnya padahal biasanya selalu ramai pembeli, mereka meminta bapak memberikan amalan agar usahanya laku seperti semula. Tentu saja akhirnya mereka juga pulang tanpa mendapat apa yang diinginkannya.
Entah angin mana yang membawa orang-orang malang itu ke rumah ini. Ketika ditanya siapa yang memberikan alamat rumah ini, siapa yang memberitahukan nama bapak, mereka hanya menjawab seseorang telah memberitahunya.
Sampai saat ini juga tidak ada yang tahu dengan jelas siapa yang memberitahu mereka. Aku sempat curiga, apa benar bapak bisa melakukan hal-hal seperti itu. Tapi rasanya memang tidak. Selama ini bapak tidak pernah terlihat melakukan ritual-ritual aneh apapun.
Bapak selalu terlihat seperti orang-orang pada umumnya. Tapi aku juga tidak pernah bertanya apapun kepadanya. Ah, tapi aku memang tak pernah bertanya macam-macam padanya. Bapak selalu enggan membahas hal-hal ganjil itu, bahkan ketika ibuku sendiri yang bertanya.
Hari-hari berjalan sebagaimana seharusnya. Matahari terbit tenggelam, bulan pun. Bunga-bunga milik ibuku yang ditanam di halaman depan silih berganti mekar dan melayu. Juga entah telah berapa puluh ukiran-ukiran kayu karya bapak yang dipajang di etalase dalam rumah ini.
Rumah yang tak seberapa luas ini memiliki ruangan istimewa di bagian belakang dekat dapur. Kadangkala ruangan itu kosong dan hanya menyisakan etalase kaca yang setiap pagi dibersihkan, dilap dengan pembersih kaca oleh ibuku.
Kadangkala pula ruangan itu sangat penuh, berantakan dan terkesan kotor. Bukan karena ibu ataupun aku tak mau membersihkan. Namun bapak melarang. Ruangan itu milik bapakku. Tempat bapak menyimpan hasil karya-karyanya. Dan aku baru berani masuk dan melihat-lihat ketika bapak tak ada disana.
“Bu, tamu yang kemarin datang itu… Dia minta bapak nyembuhin anaknya yang kesurupan” bisikku dengan nada serius kepada ibu yang sedang mengupas bawang di dapur.
“Iya, ibuk juga denger kok pembicaraannya” jawab ibuku dengan tenang.
“Ibu beneran nggak tau, bapak itu sakti apa nggak?” tanyaku mendesak. Sebelumnya pertanyaan ini sudah pernah kutanyakan berkali-kali. Namun selalu tidak jawabannya.
“Huss ! kamu ini ngomong apa. Kan sudah pernah ibu kasih tau, bapak itu ya sama seperti kita, manusia biasa” kali ini ibuku menjawab sembari menatapku.
“Tapi kenapa banyak sekali tamu datang dan bilang kalau bapak bisa melakukan hal-hal seperti yang mereka katakan?” tanyaku sungguh ingin tau kebenarannya.
“Kamu itu kok masih ngeyel sih Kak.. tanya saja bapakmu sendiri ” jawabnya.
Bapak, sosok lelaki paling pendiam yang pernah kukenal. Hanya berbicara ketika perlu saja. Selebihnya sedikit sekali kata-kata yang berhasil keluar dari mulutnya. Jarang sekali ada gurauan di meja makan, jikalaupun ada, itu karena ibu.
Ibuku senang sekali berbicara panjang lebar. Mungkin bila benar kutebak, tidak ada kata-kata yang tersisa didalam benak ibuku. Semuanya habis diucapkannya. Beruntung aku dan adikku tidak terlahir seperti salah satu dari keduanya saja.
Mungkin karena berdarah Jepara yang amat terkenal dengan keahlian seni mengukirnya, jadi bapak juga terkenal hebat dalam masalah ukir-mengukir. Ukiran yang dibuatnya pun aneh-aneh dan berbagai macam bentuknya.
Padahal kami tidak punya toko atau outlet untuk memamerkan karya bapak, namun selalu ada pemesan hampir setiap minggunya. Yang membuatku kagum adalah mereka banyak yang datang dari luar kota hanya untuk bertemu dengan bapak secara langsung.
Terkadang ada yang membawa bahan kayunya sendiri. Sayang, kami tidak pernah punya kesempatan untuk ikut campur ketika bapak bekerja. Bahkan hanya untuk sekedar bertanya apa bentuk ukiran itu, apa namanya, atau berapa harganya.
Ketika kelas tiga SD, aku pernah hampir berkelahi dengan seorang teman laki-laki di kelas. Sepele sekali masalahnya, hanya karena aku tak terima bapak disebutnya tukang kayu.
Menurutku bapak bukanlah seorang tukang, bapakku seniman. Pekerjaannya adalah seni tingkat tinggi. Sialnya sepulang sekolah ibu marah-marah karena ulahku. Bapakku yang sok kubela mati-matian itu malah hanya diam menghela nafas dan berlalu begitu saja dariku.
“Kak, ada tamu di depan” kata adikku berlari menuju kamarku.
“Siapa?” tanyaku singkat.
“Banyaak…” lalu adikku berlari begitu saja menuju kamarnya. Sebelum ia keluar dari pintu kamarku ia sempat mengisyaratkan dengan kedua tangannya dan mulut komat-kamit. “Ada sepuluh orang” sepahamku begitu.
Dari jendela kaca ruang tamu memang terlihat ada beberapa orang laki-laki yang berdiri di depan pintu, semuanya berpakaian serba hitam.
Satu diantaranya perempuan bertubuh tinggi, dengan rambut pirang terurai dan berkacamata hitam. Seketika itu jantungku berdetak lebih cepat. Tamu kali ini begitu berbeda rasanya. Kuberanikan diri keluar untuk mempersilahkan mereka masuk.
“Selamat siang” sapaku hati-hati.
“Siang. Bisa bertemu dengan Pak Suryo?” tanya perempuan itu sembari melepas kacamatanya.
“Iya, silakan masuk dulu” jawabku mempersilahkan mereka menuju ruang tamu. Mereka saling pandang sejenak dan masuk mengikutiku kemudian kupersilahkan duduk di kursi ruang tamu.
Seisi ruang tamu tak luput dari perhatian mereka. Bahkan rasanya jam dinding sempat ingin menahan detiknya karena merasa terlalu diperhatikan. Kali ini aku sedikit merasa aneh dan bertanya-tanya siapa gerangan mereka.
Belum sampai aku berjalan menuju ruang belakang, bapak sudah berjalan melewatiku menuju ruang tamu. Di tangannya ada sebuah kotak kayu kecil seukuran kamus bahasa Inggrisku. Aku mengintip pertemuan mereka dari pintu dapur.
Mereka berdiri menyambut lalu membungkukkan badan seperti memberi penghormatan. Aku masih terbengong-bengong melihat pemandangan ini. Bapak membuka tutup kotak kayu itu dan memperlihatkan isinya pada perempuan itu.
Tak berapa lama kemudian seorang laki-laki bertubuh kekar menyerahkan amplop coklat tebal yang kuduga isinya adalah uang. Tak sampai sepuluh menit dari pertemuan itu mereka terlihat berpamitan dan keluar meninggalkan ruang tamu.
Aku masih mengamati bapak yang berjalan untuk kembali ke ruang kerjanya. Tak ada ekspresi apapun yang tergambar di raut wajahnya. Rasanya berbagai pola tanda tanya semakin banyak terukir di dasar kepalaku.
Penulis: Ummi Kiftiyah