Istanbul. Kota dua benua, kota yang selalu digadang-gadang menjadi ibu kota dunia, Kalian pernah mendengar? Ya, itulah Istanbul, sebuah kota bersejarah di dunia yang ada di negara Turki.
Di kota yang dilalui oleh selat Boshporus inilah berbagai imperium besar pernah hadir menjadikannya ibu kota, tumbuh besar dan saling memperebutkan. Kekaisaran Romawi Timur, Bizantium, hingga Ottoman, selama berabad-abad bergantian menduduki kota yang dulunya memiliki nama Konstantinopel ini.
Sudah 2 kali lebaran saya lewatinya di kota bekas ibu kota Ottoman ini. Dan kesan yang saya dapat cenderung sama, sepi tak ramai, bak hari-hari libur biasa. Pada kesempatan lebaran kedua kalinya di Istanbul, saya numpang tinggal beberapa hari di rumah kawan yang ada di Üsküdar, di Istanbul bagian Asia. Pagi hari usai salat ied di masjid dekat rumah, kita memasak opor ayam untuk dirayakan sendiri bersama-sama dengan sesama perantau yang tak bisa pulang ke tanah air.
Baca Juga: Membandingkan Tradisi Idul Fitri di Turki dan Indonesia
Usai makan opor ayam, saya ingin melihat suasana Idul Fitri di luar, dan memutuskan untuk pergi ke Hagia Sophia yang ada di Istanbul bagian Eropa. Di dalam bus sebelum menyeberang selat menggunakan kapal feri, saya duduk di samping orang Turki yang sudah tua. Beliau mengajak berbicara, saya pun ingin lebih tahu perihal rasa penasaran kenapa di Turki hari raya seperti hari-hari biasa, tak ada yang istimewa selain fasilitas transportasi umum yang digratiskan. Beliau sejatinya juga merindukan suasana Idul Fitri pada zaman dahulu yang katanya juga ramai dan syahdu.
Ada sebuah tradisi yang unik yang beliau ceritakan padaku. Zimem Defteri namanya. Tradisi itu sudah ada semenjak zaman Turki Utsmani. Beliau bercerita, menjelang Ramadhan berakhir biasanya para bangsawan dan orang-orang kaya akan ‘blusukan’ ke pasar-pasar untuk menemui pedagang-pedagang, lalu mereka bertanya apakah para pedagang tersebut memiliki buku catatan hutang. Zimem Defteri jika diartikan dalam bahasa Indonesia memang buku catatan hutang. Selanjutnya, jika pedagang-pedagang tersebut memiliki buku catatan hutang, ia akan menyerahkannya kepada bangsawan tadi. Para bangsawan dan orang kaya itu akan melihat secara acak nama dan catatan hutang keseluruhan, lalu memilih hutang siapa yang akan dibayar olehnya. Selanjutnya, para bangsawan tersebut memberikan sekantong uang kepada pedagang itu sebagai tanda telah melunasi hutang tersebut. Uniknya, para bangsawan tersebut tidak mau identitasnya dibuka kepada siapa pun, termasuk kepada yang berhutang. Jadi, baik penghutang maupun pembayar utang tidak saling mengetahui. Begitulah cara orang-orang Turki membayarkan zakatnya pada zaman dahulu.
Tradisi ini jika dilihat dari perspektif agaman jelas masuk ke dalam sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak menimbulkan efek riya’ atau pamrih. Sedangkan bagi penghutang juga dapat menjaga harga dirinya karena tidak perlu malu kepada yang telah membebaskan hutangnya. Saya begitu tercengang mendengar cerita kakek di samping saya ini sampai tak terasa telah berada di pelabuhan.
Dalam perjalanan menyeberangi selat Boshporus menuju Istanbul bagian Eropa, saya menyadari bahwa setiap tempat dan kultur mempunyai ‘lembaran’ yang berbeda terhadap Idul Fitri. Di negara-negara Eropa, barangkali Idul Fitri adalah hari-hari biasa untuk bekerja maupun berbisnis, atau bisa jadi Idul Fitri hanyalah hari bimbingan atau ujian disertasi. Menjadi Muslim di negara-negara seperti itu tentunya tidaklah mudah untuk sekadar melakukan salat ied dalam perayaan Idul Fitri.
Di sini (Turki) dan mungkin di negara-negara Arab, vibes Idul Fitri sudah tentu tidak lebih ramai jika dibanding dengan suasana Idul Adha. Tidak ada berita tahunan mudik seperti yang ramai di televisi-televisi Indonesia. Libur Idul Fitri hanya terjadi pada hari tersebut. Lusa sudah akan menjadi hari-hari biasa, orang-orang yang pergi bekerja akan merasa seolah kemarin hanyalah akhir pekan yang singkat. Beberapa kawan memberi tahu bahwa memang Idul Adha di negara-negara muslim lain itu lebih besar daripada Idul Fitri. Idul Adha dirayakan lebih meriah dan ramai daripada Idul Fitri. Sungguh berbanding terbalik dengan budaya perayaan hari raya di Indonesia.
Di tanah air tercinta, Indonesia, setiap daerah dan keluarga mempunyai family culture yang bermacam-macam dan berkepanjangan. Mulai dari mudik, malam takbiran, silaturahmi, ziarah, THR, angpau, opor ayam, halal bihalal, pertemuan bani-bani, hingga hari raya ketupat, dll. Semua itu cenderung berlangsung damai, ramai, dan penuh dengan nuansa yang khas.
Setelah menyeberang ke Eropa, saya berjalan menuju Hagia Sophia dan Blue Mosque. Ada panggilan video call dari whatsapp bapak. Nampaknya keluarga di tanah air ingin menyapa putranya yang sedang kesepian merayakan Idul Fitri di negeri orang. Di depan pelataran Blue Mosque selepas video call dengan keluarga kala itu, saya mencoba merenungi perbedaan kultur lebaran yang bagi saya sangat mencolok ini.
Pikiran saya tiba-tiba terbang jauh kembali ke masa-masa pesantren dahulu, dalam literatur kitab-kitab memang sering ditemui bahwa Idul Fitri disebut juga dengan iidun soghir (hari raya kecil), sedangkan Idul Adha merupakan iidun kabir (hari raya besar). Mungkin, sepemahaman saya, perbedaan ini tak lepas dari pemaknaan sebuah bangsa terhadap kata ‘fitri’ dalam Idul Fitri. Fitr dalam Idul Fitri dapat dimaknai sebagai makan-makan, berbuka, maksudnya, setelah 30 hari penuh umat Muslim berpuasa menahan diri untuk tidak makan dan minum, pada hari setelahnya umat muslim telah terbebas dari tuntutan tersebut. Mereka dapat kembali makan-makan dan berbuka pada 1 Syawal. Itu yang dimaksud Idul Fitri, Fitri bukan dalam artian ‘suci’. Karena itulah orang-orang di negara muslim lainnya menganggap Idul Fitri tak perlu dirayakan semeriah itu, wajar-wajar saja.
Berbeda dengan pemaknaan sebagian besar ulama-ulama Indonesia terdahulu, yang menganggap ‘Fitri’ dalam Idul Fitri tak sekadar makan-makan saja. Fitri dalam pemahaman masyarakat Indonesia lebih luas substansinya, karena itu banyak istilah-istilah seperti “kembali ke fitrah atau kembali suci” yang sering dijumpai ketika momen Idul Fitri di Indonesia. Dari sanalah juga ulama-ulama kita menghidupkan suasana Idul Fitri dengan pemaknaan sucinya dengan berbagai kegiatan-kegiatan positif yang tentu dianjurkan oleh agama. Muncullah tradisi-tradisi sungkem, silaturahmi & halal bihalal seperti yang kita lakukan hingga hari ini. Tradisi seperti itu tidak mungkin kita temui di negara lain.
Kerinduan terhadap tanah air akan terasa semakin memuncak bagi seorang perantau pada saat momen-momen Idul Fitri seperti ini. Iya, dapat merasakan Idul Fitri di tanah air adalah suatu kenikmatan sederhana yang sesungguhnya patut disyukuri dan dirayakan.
Dari sisa-sisa Idul Fitri yang pernah saya rasakan sebagai perantau di Istanbul, saya dapat menarik sebuah kesimpulan dari rasa penasaran mengapa orang Indonesia lebih suka merayakan Idul Fitri dibanding Idul Adha. Ya, jawabannya, Idul Fitri di mana-mana lekat dengan kata “kemenangan”, sedangkan Idul Adha lekat dengan kata “pengorbanan”, mayoritas orang Indonesia sejatinya memang lebih menyukai merayakan “kemenangan” daripada mengapresiasi “pengorbanan”.