“Yowis dek, yang penting kamu jaga kesehatan, ojo males makan, kalau ada apa apa kabari mas, doain semoga urusan disini lancar, Bancakan (panen: bahasa Jawa) ikannya. Mas doakan urusan kamu Yo lancar-lancar disana, amin” Suara melepas keikhlasan di ujung telepon oleh Rahmat, si anak nelayan ketika menerima telepon mendadak dari pujaan hatinya, Siti yang tiba tiba saja harus ikut orangtuanya kerja di Jakarta, Hingga batas waktu yang tak bisa dipastikan sampai kapan, yang jelas, janji kesetiaan keduanya akan terus dipertahankan semampunya. “maaf Yo dek, besok mas gabisa anter kamu, mas besok ikut Abah ke kapal, tapi nanti mas titipi terasi kesukaanmu ke Dijah Yo” tutupnya.
“le, minta tolong antarkan iki pesenane pakde Mad” pucuk dicinta, ulam pun tiba, begitu yang terlintas di benak Rahmat, terhitung tiga bulan setelah keberangkatan Siti ke Jakarta, tak ada satu pun kabar Siti yang sampai ke Rahmat, dan kebetulan ada tugas mengantarkan ikan pesananan pakde Mad yang merupakan ayah Dijah, sahabat terdekatnya Siti, seraya berharap mendapatkan kabar tentang Siti dari Dijah.
Baca juga: Muhammad Nafis Al-Banjari, Ulama Sufi Dunia Melayu
“Enggih Matursuwun, Mat, salam buat Abah” harapan Rahmat untuk mendapatkan kabar dari Dijah gagal, karena Dijah sedang berada di rumah kawannya. Bagusnya, Rahmat selalu berpikiran positif tentang kabar dan keberadaan kekasihnya di Ibukota. Tiga bulan bukan waktu yang singkat, tak terasa bulan depan adalah hari ulang tahun Siti yang ke-20. Dan sedikit demi sedikit, Rahmat menyisihkan hasil keringat dari berlayar dan dagangannya di pasar dan dermaga dikumpulkan dan ditabung untuk membelikan hadiah dan mengirimkannya ke Siti.
“Jah, Dijah, hey” teriak spontan Rahmat ketika melihat Dijah diantara hiruk pikuk kerumunan dermaga, Dijah tidak menoleh sedikitpun hingga akhirnya Rahmat beranjak dari pinggir kepal menghampiri Dijah, demi mencari tahu satu kabar tentang perempuan yang sangat ia nanti-nantikan kabarnya. “Piye Yo Mat, Siti juga gapernah ngabari aku lagi, terakhir ia ngabari iku pas seminggu dia di Jakarta, dia ada rencana lanjut kuliah disana”. Kabar yang dinanti-nantikan selama tiga bulan lebih pun berhasil didapatkan, meskipun hanya sedikit, tapi bagi Rahmat, itu sudah lebih dari cukup untuk menambal lubang kerinduannya pada Siti. Dua sisi yang menghinggapi pikiran Rahmat, satu sisi ia senang dan bersyukur mendapat kabar baik tentang Siti yang berencana memulai perkuliahan, di sisi lain, Rahmat semakin merasa sebagai anak nelayan yang tak pantas untuk seorang calon sarjana, terlalu berlebihan memang, tapi sebegitu besarnya kasih sayang Rahmat sehingga berpikir jauh kedepan untuk secercah harapan hidup bersama kekasihnya, Siti.
“Bah, umpamane Rahmat sambil kuliah bagaimana bah? Menurut Abah?” tanya Rahmat seraya meletakkan segelas es teh kepada abahnya di tepi pantai, tempat kapal mereka bersandar. Demi sebuah kepantasan bagi Siti, Rahmat memberanikan bertanya demikian kepada Abahnya. “Begini loh nduk, Abah bukannya ngelarang kamu untuk lanjut kuliah, tapi ga sekarang, untuk sementara waktu ini kamu bantu Abah sama Pakde Pakde yang lain dulu ya di kapal, nanti kan hasilnya lumayan bisa bantu ngewujudin niat kamu untuk kuliah, Yo nduk” senyum simpul keluar dari bibir Rahmat, jawaban dari Abah yang sebenarnya sudah ia perkirakan sebelumnya ternyata benar.
Satu hari menjelang hari ulang tahun Siti, tiba tiba saja Dijah mengajak Rahmat untuk bertemu. Campur aduk, Senang dan bingung, berharap mendapatkan kabar baik lagi dari Dijah, dan bingung kenapa mendadak. “Sek Mat, tadi Siti nelpon aku, pengen ngomong sama kamu, tapi gamau langsung telpon ke kamu, harus ada aku temenin katanya, mboh” Senang bukan kepayang Rahmat mendengar pembicaraan Dijah, ia tidak sabar mendengar lagi suara dan kata kata dari perempuan yang sangat ia cintai.
“Halo, Assalamualaikum Mas Rahmat, gimana kabarnya?” suara lemah lembut dari ujung telepon milik Dijah terdengar di telinga Rahmat. “Waalaikumsalam dek Siti, alhamdulillah baik baik aja, kamu gimana? 4 bulan gaada kabar piye toh?” Jawab Rahmat penuh antusias. “Alhamdulillah aku baik mas, oiya mas, aku pengen ngomong sebentar boleh?” tanya Siti, “Boleh Banget dong, lama juga ndak papa hehe” guyon Rahmat. “sebelumnya aku minta maaf banget selama aku di Jakarta aku gapernah ngabarin Mas, bukannya aku gamau mas, tapi aku juga sibuk bantu Ibu dan aku alhamdulilah sudah kuliah mas sekarang disini, doakan aku ya mas. Terus juga aku mau minta maaf banget, ini tulus dari hatiku yang paling dalam, Mas tolong jangan beranggapan gimana gimana sama aku setelah ini..” permohonan maaf Siti yang sangat ambigu, rasa penasaran Rahmat semakin menjadi-jadi. “2 hari yang lalu aku dilamar laki laki mas, aku terima lamarannya, dan Bulan depan rencananya kami akan menikah disini, undangannya sampean udah aku siapkan dan titipkan ke Dijah, semoga mas bisa ngerti, dan aku juga selalu berdoa akan kebahagiaan Mas Rahmat nantinya, terimakasih sudah menerima Siti apa adanya sampai sejauh ini, Siti banyak belajar dari Mas, terutama tentang kerja keras dan tanggung jawab.
Siti beruntung pernah menjadi perempuan yang Mas Rahmat cintai dan sayangi, Siti izin pamit mas, semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan Mas, Amin, Wassalamualaikum”. Tanpa disadari, Tetesan air mata mulai membasahi permukaan wajah Rahmat, iya, Rahmat si anak nelayan yang dikenal sebagai laki-laki mandiri, tangguh, kuat, periang, air matanya jatuh, setidaknya tangisannya tidak mewakili seluruh perasaannya saat itu, ya, ia nangis karena Siti, perempuan yang ia cintai sepenuh hati dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, perempuan yang selama 4 bulan terakhir sangat dinanti-nantikan kabarnya, perempuan yang esok hari berulang tahun ke-20, perempuan yang tiba tiba saja merubah senyum Ahmad menjadi tangisan seketika. Dan akhirnya, penantian kabar Si Anak Nelayan telah berakhir.
“Ku berlabuh pada Suatu Dermaga, saat kuturunkan jangkar, kau mengingkar”
“Mat, ini ada yang mau beli ikanmu” sapa Dijah yang datang ke dermaga dengan dua temannya, satu laki laki dan satu perempuan. Iya, teman Dijah yang perempuan itu bernama Siti, yang beberapa tahun lalu sering diajak ke dermaga oleh laki laki bernama Rahmat, si anak nelayan. Tapi kali ini ia datang dengan laki laki yang berbeda, ia datang dengan laki laki berseragam loreng lengkap dengan lencana di baret dan sepatu boot tingginya, ya, suami Siti adalah anggota militer TNI Angkatan Darat yang kebetulan sedang dinas di Tuban, daerah yang ternyata pernah menjadi masa lalu milik Siti dan Si Anak Nelayan, dan kali ini menjadi milik Siti dan Seorang Tentara, tak hanya ditemani oleh suaminya dan Dijah, Siti juga turut ditemani laki-laki lain yang berada di gendongannya, ya Bayi laki-laki mungil yang di gendongannya adalah putra pertama hasil pernikahannya dengan sang Suami. “Monggo mas, mba” senyum ramah Rahmat mempersilahkan Siti dan suaminya melihat hasil lautnya, meskipun wajah bisa membohongi, tapi perasaan tidak bisa, tidak terbayangkan seperti apa perasaan Rahmat saat itu, tapi Rahmat tetaplah Rahmat, si anak nelayan yang menjadi kebanggan keluarganya, meskipun tanpa jabatan Sarjana ataupun TNI sekalipun.
Jakarta, 5 Mei 2021
Penulis: M. Hilmy Daffa Fadhilah
(Mahasiswa PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)