Malam Yang Pahit

644
malam yang pahit
Photo by Neven Krcmarek on Unsplash Want to launch your big idea with a website or online store? Squarespace it.

Pernahkah kau terjebak dalam kemelut sepi yang memenjarakanmu setiap kali menjelang malam? Atau pernahkah kau disambangi rasa takut ketika langit mulai gelap, ia hadir seperti mengetuk keras pintu kamarmu, dan memaksakan masuk? Lalu keesokan harinya, saat kau dipertemukan pagi, kau dirundung rasa payah untuk hidup kembali sebagai manusia.  Sesungguhnya satu hal yang tak kau sadari, bahwa tak ada yang lebih menakutkan selain dirimu sendiri.

***

Lembayung Purnawirama, orang-orang memanggilnya Bayu. Nama terbaik yang konon disematkan saat senja meliputi percumbuan cinta antara dua makhluk jelmaan jemari Tuhan, yaitu ibu dan ayahnya. Berbeda dengan orang pada umumnya, biasanya nama seseorang ditandai dengan segala peristiwa yang terjadi dan kapan ia lahir, entah saat dini hari, tengah malam, atau saat matahari terbenam.

Bukan kapan dan dalam situasi apa orang tuanya menghadirkannya. Ketika membayangkan itu semua, Bayu terkadang mengekeh sembari mempertanyakan apa yang orang tuanya pikirkan, bagaimana bisa menyematkan putranya dengan nama yang menggambarkan detik-detik mereka beradu kasih? Setiap ia tanya alasannya, ayahnya selalu menjawab, “Kehadiranmu sebuah anugrah.

Baca juga: Pijakan Tak Beralas

Keberadaanmu adalah ingatan bahwa aku dan ibumu pernah membuat sang surya terpukau, sampai enggan menenggelamkan dirinya dan sibuk mengintip kesyahduan kami. Jadi, tak usah kau tanyakan kembali perihal namamu itu, Nak.” Pernyataan ini juga tak jarang keluar dari mulut ibunya tiap kali ia menanyakan hal yang sama. Sebagai anak tunggal, setiap bagian dalam hidup Bayu dirajut dengan tenunan kasih sayang, serta dinaungi rasa nyaman dan aman.

Tentu beruntung sekali rasanya hidup dipenuhi keharmonisan, sehingga ia merasa berarti dan mampu menghadirkan kebahagiaan bagi orang yang dikasihinya. Kehidupan yang ia alami sangat lurus tanpa aral, sehingga ia merasa hidup berpihak padanya. Sesekali ia merenung dan bertanya, mengapa kehidupan senantiasa menghidangkan kebahagiaan dan segala hal baik lainnya? Alih-alih bersyukur, Bayu justru merasa hidupnya membosankan.

Hingga sampailah ia di suatu malam. Malam itu saat umur Bayu tepat menginjak 20 tahun, renungan tentang hidup terus melintas dalam benaknya, tak jarang mengusiknya. Namun berbeda dengan malam-malam sebelumnya, kali ini Bayu mengiringinya dengan doa yang sebetulnya jarang sekali dirapalkan.

Itu karena hidup yang ia jalani luput dari penderitaan, sehingga rasanya tak perlu memohon apa pun, bahkan untuk sekedar mengucap syukur. Saat itu doa yang ia panjatkan sekedar ucap meracau, tak sepenuh khusyuk, hanya kata beruntai, lebih terdengar seperti igauan dari pada rapalan doa.

Tuhanku, sebagaimana warna, ada hitam dan putih. Sebagaimana rasa, ada manis dan pahit. Begitu pula setiap sudut ruang kehidupan, ada cahaya dan kegelapan, ada lapang dan sempit. Namun, dalam hidup yang kujalani, mengapa begitu buta, hambar, bahkan tak bercelah? Bisakah Kau beriku perisa kehidupan, barang sejumput? Atau bisakah Kau memulas kelabu dan hitam pekat di atas kanvas hidupku meski sebercak? Ayolah… Bukannya tak sulit bagi-Mu meredupkan binar hidupku, meski sececah?”, serunya dalam hati, kala malam mulai merangkak larut, kemudian langit-langit kamarnya turut mengamini.

Keesokan paginya, saat itu waktu menunjukkan pukul 07.00, namun pagi itu tampak mendung dan tak bermentari. Bayu seketika terbangunkan oleh sayup-sayup derap langkah tergesa-gesa. Ia kebingungan dengan suara aneh tersebut, selain itu mulai tercium bau amis yang bersumber dari luar kamarnya.

Kemudian, ia beranjak keluar dari kamarnya, dan ia terkesiap dan terbelalak melihat lumuran darah memenuhi ruang tengahnya, cairan merah kental nampak memenuhi ubinnya. Bayu panik, mematung, sekejap ia memicingkan mata lalu menarik dan menghembuskan nafasnya, agar dirinya tenang.

Beberapa detik berlalu dirinya masih dirundung ketakutan, karena darah tersebut berserakan di hadapannya, sehingga dengan mata terpejam, yang pertama Bayu lakukan adalah mengikuti aroma darah itu. Ketika ia telusuri bau amis cairan itu berasal dari sebuah kamar, dan saat ia membuka matanya kamar itu adalah kamar orang tuanya.

Dengan hati-hati, ia berjinjit mendekati pintu kamar orang tuanya yang masih tertutup rapat. Perlahan dibukanya pintu tersebut, dan “ARGHH… IBU!!! BAPAK!!!”, Bayu terkulai lemah, dirinya bersimpuh lutut, air mukanya sedih dengan mata berkaca-kaca, dilihatnya sepasang mayat orang tuanya tergantung di langit-langit kamarnya, dengan leher hampir putus dan tergorok sebagian, kedua mayat tersebut diikatkan pada rangka kayu langit-langit kamar yang sepertinya sengaja dilubangi oleh si pembunuh.

Saat tubuhnya melemas dan kesadarannya mulai kabur, samar-samar dari ekor matanya terlihat ada sosok dalam cermin di samping kirinya sedang menatapnya, saat ia menoleh ke cermin tersebut, seseorang persis dengan dirinya menatap bengis, menyeringai dengan senyuman sinis, dan di tangannya tergenggam pisau dengan lumuran darah yang juga memenuhi sekujur tubuh dan pakaiannya.

Bayu tak bisa bergerak dan berbuat apapun, entah mengapa matanya seakan dipaksa menatap cermin itu, ingin ia memejamkan matanya, namun tak bisa, seluruh tubuhnya di luar kendalinya. Di tengah kondisi tersebut, sosok dalam kaca semakin mendekatinya, ia seakan akan muncul dari permukaan cermin itu. Benar saja, tak lama dari itu, sosok yang menyerupainya mendekatkan pisau tersebut ke lehernya sendiri. Dan apa yang terjadi? ia menggorok kepalanya hingga terlepas, lalu cairan merah terpancar memenuhi permukaan cermin.

Tak berhenti di situ, tiba-tiba Pranggg… cermin di hadapan Bayu pecah, terlihat ada benda yang terlempar keluar dari cermin itu dan ternyata sebuah kepala yang berparaskan persis wajah Bayu tergeletak di lantai.

Tiba-tiba, setelah kejadian tadi tubuhnya bisa dikendalikan kembali, Bayu segera berlari ketakutan, dengan setengah kesadarannya ia keluar kamar dan menuju pintu rumahnya, hendak meminta bantuan tetangganya.

Namun anehnya ketika ia hendak keluar, pintu rumahnya justru terkunci dari dalam, itu tandanya tak ada seorangpun yang masuk. Bayu kebingungan, sejenak bergumam dalam hatinya bertanya, “lalu siapa yang melakukan ini semua?”. Tak mau menunggu lama memikirkannya, ia membuka pintu keluar lalu segera berteriak meminta pertolongan. Mendengar teriakan tersebut, beberapa tetangganya datang ke rumahnya dan di tengah kerumunan yang memenuhi pelataran rumahnya, Bayu tiba-tiba terbujur pingsan.

***

“Nak, bangun nak. Tenangkan dirimu!”

“Suara lembut itu, sentuhan tangannya, sungguh ku mengenalnya. Ibu, ya, suara ibuku. Namun, aku sungguh takut untuk membuka mataku, tak siap kumelihat pucat pasi dengan pakaian putihnya. Tuhan bisakah kutukar doa semalam dengan nyawaku? Tak sampai hati, jika harus kugadaikan kebahagiaanku dengan doa keparatku itu, renggut sajalah nyawaku!”.

Perlahan Bayu membuka matanya, ia melihat ibunya dengan wajah sama sekali tidak pucat seperti bayangannya. Ia terbangun langsung mendekap tubuh ibunya erat, dengan khawatir ia berkata lirih, “Maafkan aku ibu”, ternyata kepahitan malam itu hanyalah mimpi buruk.

Penulis: Giza Gasica
(Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)