Out of The Blue.
Pada satu malam yang khusyuk, aku menemukan sebuah pesan yang ternyata sudah ada disitu sejak hari sebelumnya, pesan itu berbunyi: …“Ingat masa-masa putih abu abu”…
Out of the blue, sepenggal kalimat yang menggemaskan dari seseorang yang istimewa di masa lalu, instantly menciptakan senyuman di wajahku.
Aku menjawab sapaannya, “Hai, masa putih abu-abu tak pernah terlupakan ya?”
Dia menyambut jawabanku dengan singkat saja, “Never die”.
Dia, “Aku pingin lihat senyum kamu lagi, senyum kamu tuh sesuatu banget buat aku.”
Aku, “Oh ya?”
Dia, “Hey, muka kamu diapain sih?”
Aku, “Kenapa emang?”
Dia, “Ya gitu ada sesuatu yang aku gak familiar with. Senyum kamu beda…bukan kamu…yang aku kenal.”
Kataku “Memangnya yang kamu kenal kaya gimana?”,
Jawabnya “Senyum yang aku kenal, sebuah senyuman yang tertahan, dengan alis mata yang sedikit naik. Alis itu bisa ketemuan kalau lagi ngambek tapi. Kalau lagi happy biasanya giginya kelihatan juga, so cute.”
Dalam hatiku tergelitik mendengar ucapannya tentang senyum yang katanya dia kenal itu, aku katakan padanya,
“Seingat itukah kamu?” kata dia, “Tentu saja, aku kan pernah jatuh cinta sama yang punya senyum itu. Sayang aku masih pengecut dulu”.
Momen yang aneh bersama lagi dengannya malam itu, setelah ribuan matahari terbit dan terbenam. Segera saja dalam hati aku berucap “Ya Tuhan lindungi aku dari godaan.”
Memoriku terbang melayang jauh menembus waktu yang jauuuuuh sekali.
Kala itu…. masa-masa putih abu abu.
Tersebutlah kisah putih abu-abu
Once upon a time,
Sekolah, 25 September 1996. Suatu malam di tengah acara sekolah, saat itu kita semua bermalam di aula, untuk semacam kegiatan orientasi anak baru.
Malam itu setelah selesai serangkaian acara, kami tidur menghampar bersama-sama di lantai aula hanya beralaskan tikar. Mungkin karena lelah seharian aktifitas, sepertinya semua siswa tertidur lelap, termasuk aku.
Setengah tersadar, aku merasa seseorang memandangiku tapi tanpa bersuara. Seperti terpanggil, aku membuka mataku dengan berat. Ternyata benar seseorang tengah memandangi aku, entah sudah berapa lama dia berada disitu.
Kudapati dia di sana, seseorang dengan tatapan yang lembut dan teduh. Setengah membungkuk ke arahku, jaraknya cukup dekat dariku hanya sekitar dua hasta saja. Dia tersenyum dan menyodorkan sehelai jaket berwarna cokelat padaku, seraya berkata “ini pakai ya”.
Rupanya ia ingin aku kenakan jaket itu, mungkin untuk melindungi diriku dari dinginnya malam. Aku pun menerima jaket yang dia sodorkan, memakainya, lanjut tertidur tanpa sempat mengucapkan terima kasih.
Masih lekat dalam ingatanku, tatapan mata itu, yang di salah satu matanya ada tanda lahir semacam noda titik hitam kecokelatan. Aku suka mata itu, begitu teduh dan menyejukkan. Malam itu, aku tertawan mata itu.
Jaket Cokelat Pelipur Lara
Sejak kejadian malam itu, seorang gadis SMA tersentuh hatinya. Seperti kisah seorang gadis kecil di buku Memoir of a Geisha. Aku bagaikan “Chiro” yang ditemukan seseorang saat sedang murung di tepi sungai Shiragawa.
Kemudian dibuat tersenyum dengan dibelikannya sebungkus es gula-gula yang membuat bibirnya kemerahan, oleh sang pujaan, the Chairman. Aku ingat satu line dalam kisah itu yang mewakili perasaanku padanya, “Chiro, please don’t be afraid to look at me“.
Seketika sejak moment itu, gadis kecil itu seolah jadi memiliki tujuan. Kemudian hari, semua derap langkah dan doa-doa si gadis tertuju padanya.
Dialah umpamanya arah utara mata angin untuk Chiro si gadis kecil.
Tak pernah terduga sehelai jaket berwarna cokelat, yang menyelimuti seorang gadis SMA tidur malam itu, bisa merubah jalan hidupnya. Tanpa disadari, jaket itu sampai menahun menyelimuti hatinya.
Untuk waktu yang terlalu lama jaket cokelat itu menghijab hatinya. Hijab itu akan tersingkap Ketika si empunya Kembali hadir dalam kehidupan “Chiro” dewasa, setelah hampir sepuluh ribu matahari telah terbit dan terbenam.
Bersambung….
Penulis: Hyang Ismaya