Kau tidak cantik. Kau kurus, pendek, konyol dan kulitmu jerawatan. Namun jerawat itu tertutup rapih di balik balutan busanamu dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Sayangnya, semua orang tentu tidak pernah mengintip kau mandi, menganggapmu gadis paling cantik di dunia. Sementara semua orang tidak pernah menganggapku tampan selain malaikat, tumbuhan, dan beberapa benda mati yang tidak bisa kuambil ingatannya.
Pertemuan Kembali yang Tak Terduga
Aku menemuimu di sebuah kafe di sebelah kampus. Mungkin kau sedang kuliah di kampus itu, aku tak tahu. Awalnya aku sedang duduk di kursi, menunggu seseorang. Kau menyapaku, mengenalimu sebagai teman sekelasmu yang sudah lama tak kau temui.
Kita bercakap saling menanyakan kabar dan berbagi sedikit cerita sampai orang yang kutunggu datang dan kau pindah ke meja lain.
Orang yang kutunggu seperti semua orang di dunia ini tidak menganggapku sebagai manusia tampan. Melainkan laki-laki buruk rupa dan sangat susah dicari, karena pekerjaanku berhubungan dengan ingatan manusia.
Orang yang kutunggu seperti orang yang biasanya mempekerjakanku membutuhkanku untuk memperlancar pembangunan apartemen. Karena ada beberapa masyarakat tidak mau digusur, dan aku disuruh mengambil ingatan mereka tentang rumah mereka, agar mau pindah ke pinggiran sungai atau kembali ke daerah mereka di pedalaman jawa.
Kupikir sudah ada koran dan media sosial yang bisa mengambil ingatan manusia sehingga keahlianku tidak dibutuhkan. Tapi toh sampai sekarang mereka memilihku karena tidak ribet dan lebih murah.
Mantra dari Ibu
Kemampuan mengambil ingatan orang lain baru kutahu saat ibuku menceritakan sebuah mantra setelah aku disunat saat berumur lima belas tahun. Ibu berharap aku hanya menggunakan kemampuan itu untuk menjaga diri bukan untuk mencari uang.
Dan itulah yang ibuku lakukan, meski dengan kemampuan ini kami bisa jadi jutawan, toh kami tetap hidup miskin. Apalagi setelah ayah meninggal dan membuat ibu harus banting tulang membiayai sekolah ketiga anaknya. Aku dan dua adik-adikku.
Artikel terkait Cinta, lihat Cita, Cinta dan China.
Pertama kali kucoba mengambil ingatan teman-teman sekelasku, termasuk guruku, agar tidak tahu setiap hari aku bolos sekolah dan memilih menghabiskan waktu membaca buku di perpustakaan, bermain playstation, atau menjaga warnet hingga pelajaran usai.
Waktu itu aku belum kepikiran mengambil ingatan orang agar uangnya bisa kucuri. Aku harus mencari pekerjaan halal dengan menjaga warnet, karena pekerjaan ini juga membuatku bisa menikmati akses internet tanpa harus membayar.
Kau Datang ke Warnetku
Hingga kau datang ke warnetku siang itu karena akan mengerjakan tugas. Menyapaku dan bertanya kenapa aku tidak pernah masuk sekolah. Ia bercerita bahwa ia tahu aku tidak pernah masuk sekolah meski tidak ada orang-orang di sekolah yang menyadari kepergianku. Ia pikir aku sudah pindah sekolah.
“Tidak, aku masih sekolah, tapi harus tetap bekerja di warnet ini sementara waktu karena penjaganya adalah sepupuku dan aku diminta menggantikannya beberapa hari.” Jawabku gugup karena belum terbiasa berbohong dan aku masih heran kenapa ingatanmu tentangku tak bisa kuambil.
Siang itu, kucoba merapalkan mantra berkali-kali sambil membayangkan wajahmu. Dan senyummu saat memberiku lollipop setelah aku dipukul teman-teman di SD setelah mereka mengejek mukaku yang buruk rupa, tak bisa kulupakan. “Jangan nangis lagi, ya. Ini aku punya permen kalau kamu mau.”
Katamu sambil mengulurkan tangan memberiku lollipop. Wajahmu juga menjadi satu-satunya obat penenang ketika aku terlambat mengikuti pelajaran karena harus membantu ibu mengurus rumah ketika adikku sakit dan harus dihukum hormat menghadap tiang bendera hingga bel istirahat nyaring berbunyi.
Mengintip Lewat Ingatan Orang Lain
Di lain waktu kau mau menerimaku di kelompokmu ketika guru kesenian di SMP memberi tugas membuat prakarya dan meyakinkan beberapa temanmu mau menerimaku.
Mungkin aku suka padamu dari dulu, meski aku masih ragu. Hingga aku sempat mengintip kau mandi di WC kolam renang setelah pelajaran olahraga itulah saat aku tahu tubuhmu berjerawat.
Kau tidak tahu aku mengintipmu karena meski semua teman-teman perempuanmu tahu aku mengintip, aku tinggal mengambil ingatan mereka. Dan hasilnya, aku menganggap dirimu jelek dan kau tidak pantas jadi pacarku.
Kembali Tentang Diriku dan Kemampuanku
Orang itu pergi setelah memberiku cek yang nilainya bisa membuatku hidup hingga setahun ke depan. Kabar baiknya, sekarang aku tak perlu membagi uang haram ini kepada adik-adikku karena setelah ibuku mengajarkan kemampuan ini pada mereka, mereka memilih tetap menjadi miskin dan hidup apa adanya.
Dan itulah penyabab ibu meninggal. Mereka hidup terlalu lurus, terlalu miskin, sampai saat ibu jatuh sakit kami tidak memiliki biaya untuk membayar pengobatannya.
Jadi, aku memilih jalan lain. Jalan gelap yang membuatku terus hidup dalam kesepian – aku harus menjaga diriku tidak dikenali siapapun. Kadang di kala malam aku berjalan di trotoar kota sambil mengambil ingatan buruk manusia-manusia yang tidur di emperan toko saat mereka tidur.
Aku melihat seorang ibu menyusui bayinya sambil memasukkan kardus-kardus bekas ke dalam karung. Atau di tempat lain aku melihat sekumpulan manusia yang tidur di kamar kontrakan seukuran toilet umum. Mereka hidup susah, meski aku iri dan kadang berpikir untuk berkeluarga layaknya manusia normal. Apalagi saat aku menemuimu sekarang.
Aku Takut Mencintaimu
Aku berkunjung ke mejamu dan mengucapkan salam perpisahan. Lalu kau menyeruput secangkir kopi dan mengajakku bertukar nomor ponsel. “Aku lupa nomor ponselku. Dan bodohnya lagi ponselku tertinggal di kos.” Jawabku mantap karena aku sudah terbiasa berbohong. Aku berjanji kita akan berjumpa lagi karena aku tinggal tidak jauh dari kampusmu.
Malam itu aku mengendarai mobil ke kafe itu lagi dan melihatmu masih di meja yang sama, dan didepan laptop yang menyala. Aku memutuskan tidak keluar dari mobil, karena memandang wajah jelekmu dari jauh sudah cukup untukku.
Aku tak ingin menemuimu karena aku takut mencintaimu. Aku takut mencintaimu karena sepertinya sudah takdirku berpisah dengan orang-orang yang kucintai.
Aku akan memandangmu dari jauh dengan kegelisahan yang sama. Sebelum kita mati dengan pertimbangan bahwa suatu saat aku mungkin berubah pikiran apa peranku dihidupmu? Sebagai suamimu? Pacarmu? Atau seseorang yang mencintaimu seumur hidup tapi tak pernah kau tahu.
Penulis: Affix Mareta