Siapa yang tak kenal dengan kemasyhuran Cappadocia yang indahnya merebak hingga ke sekeliling dunia? Menyambut hari dengan pemandangan bebalonan udara yang beterbangan di langit-langit pagi tentunya menjadikan pengalaman yang mahal dalam hidup seseorang.
Siapa pula yang tak mengenal Bogor dengan segala sungai, gunung, serta Puncaknya? Menyambut hari dengan suara riuh air-air sungai yang menyejukkan tentunya menjadikan hati dan pikiran tenang (setidaknya) untuk beberapa saat.
Baca Juga: Empat Hikmah dari Buku Sang Cipta Rasa
Banyak jalan menuju Cappadocia. Iya, ungkapan tersebut adalah sebuah motivasi bagi seorang pelajar perantau yang kebetulan sedang berada di Negeri Dua Benua, Turkiye. Libur musim panas di negara-negara Eropa memang sangat lah panjang, pantas saja jika tidak sedikit mahasiswa-mahasiswa Indonesia memilih pulang kampung ke tanah air. Sebagian lainnya memilih berdiam diri di negeri rantau karena tak kuat melihat harga tiket untuk pulang.
2018, bagi saya adalah tahun yang tak boleh dilewati begitu saja tanpa hal-hal yang bermakna dalam hidup, pasalnya setahun berikutnya merupakan tahun terakhir saya berada di Turkiye. Seketika saya dan Yousef, teman dari Maroko, memutuskan untuk menjelajah Turkiye dari ujung Barat ke Timur, dari Izmir hingga Cappadocia.
Perjalanan travelling kita semenjak awal memang hanya bermodalkan perlengkapan camping, dompet tipis, dan juga nekat. Alih-alih berburu diskon tiket pesawat atau bus, selama di jalan kita sibuk berburu tumpangan di jalan-jalan, mulai dari truk muatan besar, bus pengangkut minyak zaitun, colt, hingga mobil pribadi bergantian kita tumpangi dengan gratis, kadang juga harus terpaksa berjalan jauh berjam-jam.
Jangankan pula mencari-cari diskon hotel dan penginapan, kita berdua memilih mencari-cari tempat yang strategis untuk menggelar tenda, memasak seadanya hingga menikmati pantai maupun pegunungan di balik bilik tenda yang kita dirikan. Maka wajar-wajar saja jika perjalanan camping tersebut menghabiskan waktu hingga 45 hari untuk 17 kota yang kita singgahi dengan tanpa modal uang banyak.
Puncak dari perjalanan tersebut berakhir pada suatu kota dengan hampir seluruh wilayahnya dipenuhi dengan susunan bebatuan dengan beragam formasi yang menawan, yang menawarkan sajian pemandangan alam lembah berbatu dengan langit-langit dipenuhi balon udara, iya, Cappadocia.
Sensasi camping di Cappadocia sungguh membuat kami terharu penuh takjub. Membuka tirai tenda di pagi hari sambil memandang balon-balon yang berlomba-lomba mengudara di langit Cappadocia merupakan hadiah dari Tuhan atas perjalanan melelahkan kita selama ini. Hidup sederhana di jalanan, memasak seadanya di perkemahan, stok obrolan dan candaan yang tak pernah kehabisan, hingga perkenalan dengan orang-orang baru yang berkesan. Semua itu, di bawah langit-langit yang dipenuhi balon udara, kami sujud sembahkan rasa syukur kepada Allah yang Maha Memberi segalanya.
5 tahun berselang. Hobi camping saya selama di Indonesia seakan terkubur entah ke mana. Hampir sekali pun saya tak pernah menggelar matras, mendirikan tenda sembari menikmati alam indahnya Indonesia.
Awal bulan Juni yang bertepatan dengan akhir pekan yang panjang. Rekan-rekan di kantor, tiba-tiba mengajak camping di Sentul. Tak jauh-jauh dan juga tak lama-lama memang, mengingat sebagian besar dari mereka telah berkeluarga. Namun, lagi-lagi, kebersamaan adalah hal mahal yang tak mudah dicari di sembarang tempat dan momen.
Memarkir kendaraan di tepi sungai, mendirikan tenda di sampingnya, memasak beraneka ragam makanan dari tradisional hingga western. Ditambah lagi dengan pemandangan hijau dan derai aliran sungai yang mengalir syahdu. Menikmati pagi sore malam di lingkungan seperti itu dengan orang-orang yang tepat adalah sensasi camping yang mengesankan.
Dari pengalaman-pengalaman camping yang pernah saya lakukan, dari Cappadocia, Yordania, Iran, hingga Sentul, saya teringat suatu perkataan guru di suatu pertemuan. Beliau pernah berkata “اختر الرّفيق قبل الطَريق” –Pilihlah kawan sebelum jalan– artinya, kita dianjurkan untuk memilih dan menentukan kawan terlebih dahulu sebelum kita berjalan.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa yang mewarnai perjalanan kita adalah kawan yang membersamai kita. Seindah-indahnya destinasi perjalanan, jika kita tidak bersama orang yang tepat, perjalanan tersebut akan terasa berat dan berpotensi tak membahagiakan. Itulah mungkin alasan di balik sensasi tiap camping yang saya lakukan selalu berakhir bahagia, karena saya bersama orang-orang yang tepat, yang dapat saling memahami satu sama lain.