Aminah, Aku Cemburu Padamu

1193
Photo by Oliver Sjöström on Unsplash

Aminah, Aku Cemburu Padamu.

Sungguh beruntung  benang sabut daun nanas itu. Dikeringkan di atas bebatuan sisa lahar yang menggunung di sebalah rumah. Entah berapa lama ditungguinya , hingga siap diserabut benang daunnya. Ah, andai dia lelaki aku pasti cemburu buta. Bagaimana Tidak ? kembang desa delapan belas tahun itu sudah sangat mencuri perhatianku. Selain Sultan Nuku, aku ingin betul mengenalnya. Rohnya, kampungnya, bau tanah kebunnya. Untung saja, tim kirab telah mendatangkan Hasan Abu Bakar anak Aminah.  Husain kembarannya juga tinggal di Tidore. Bungsunya ada di Menado. Ramah dan Tawadu’ kesanku padanya. Pantas terlahir dari Rahim kemerdekaan. Al Fatehah, kami haturkan. Wewangian tercium seakan Ibu Aminah tersenyum memandang.

“Jika Bengkulu punya Fatimah, Tidore ada Aminah ” kugenggam tangannya. Sampai ketiga kalinya barulah Husain memulai potongan-potongan cerita tentang Aminah. ” Mamah baru dipanggil Allah awal tahun lalu, sembilan puluh tahun persisnya udara kepulauan memberi batas”. Sambil menunjuk monumen pengibaran bendera pertama.

Aminah Sapto, anak petani cengkeh biasa. Bukan juga tengkulak bermodal. Sekali panen cukup untuk bertahan hidup dan mengurus surau di tengah pala. Dia berani mengelabui Nippon dan menjahit bendera.  Merah diambil dari kostum tarian Salaijin. Tarian untuk menemukan kembali  energi  roh-roh leluhur agar terus tersambung asal usul.

Putihnya bendera, diambil dari potongan mukena yang digunakan solat setiap hari. Untung saja, tidak dianggap penodaan agama. Kamarahan Aminah pasti memuncak. Indonesia merdeka, dia terlambat mengetahuinya. Apalagi Jepang masih kasak kusuk di Pulau tempat dia menjemur pala.  Mungkin marah bercampur  kangen lah yang  mampu menggerakan tangannya menyulam kedua kain. Kangen menjadi bangsa merdeka, marah karena Jepang menjajah. Cemburuku menjadi -jadi. Aku gampang menangis, terlebih memandang sejarah bangsa dari tangan seoarang gadis.  Ternyata Aminah juga  turut mengibarkannya. Pantas saja, pasukan Kirab Satu Negeri ingin mengenangmu.

Keseharian Aminah seperti gadis seusianya. Menjemur cengkeh, memanen kopra dan cukup piawai mengolah pala. Kebanyakan sebayanya sudah menikah. Kalau zaman sekarang siapa yah ? Tsamarakah ? Ah ia kan baru belajar jadi politisi, itupun harus diuji kesuksesannya dengan terpilih jadi legislatif tahun depan.  Ibu aminah ini sudah melampui batas, Ia itu negarawan. Darah Arab mengalir di nadi Tidore, namun nafasnya Indonesia.

Andai saja GP Ansor tak menugasi, aku tak tahu jika Allah memilihmu. Beruntung sekali, anak-anak pulau memilikinya.  Bergembiralah di sana. Meski pensiunan dari negara tak kunjung datang. Sempat beberapa kali ditawarkan, tapi entahlah. ” Kami tak ingin mempermalukan Mama” tegas Hasan sambil megang handphone nokia tanpa fasilitas kamera . Tim Kirab Satu Negeri sudah mengibarkan bendera. Sampaikan salam kami pada Mbah Hasyim dan Yai Wachab. Kami ingin nagih hutang. Kalau beliau marah, bilang saja “hutang diakui sebagai santrinya”. Maklum dolar lagi naik. Jihad di zaman millenial, beragam cambuk menantang.

Aminah, cukup sekian. Nanti kita sambung lagi. Anakku Helwa dan atifa minta dimandikan. Maklum seminggu di kampungmu. Mereka cuma kangen, yang kutakut  istriku cemburu.

La Raiba Fih Aminah
Aku cemburu padamu
Sekian dulu ya Aminah,
Kapan-kapan kubuatkan puisi

Muhammad A Idris
Santri Biasa & Hobi Badminton

#Kenangan dari Maluku Utara, sekaligus menghormati jalan nasionalisme yang tak pernah putus yang dilakukan oleh gerakan pemuda ansor se Indonesia.