Aset Tanpa Harga Itu Bernama Santri

115
Santri pergi mengaji
Santri pergi mengaji

Santri. Ada jejak-jejak langkah yang secara tanpa disadari oleh pelakunya, ternyata sandal tipis yang digesekkannya ke lelantai aspal, mengantarkannya pada kepercayaan diri menghadapi masa depannya. Adalah jejak langkah para santri yang tengah rutin mengumpulkan energi batin bertengkar dengan ketuntasan makna gandul di kitab-kitabnya.

Kalau ada pilihan tafsir pemandangan antara mana kah yang lebih menghasilkan rindu, antara : menatap potret para santri berangkat menunaikan kewajiban ngajinya, dan mendokumentasikan pesta arus perkembangan dunia yang saat ini marak, maka barang tentu -di benak siapa pun yang pernah ‘nyantri’- akan menjadikan poin pertama sebagai pilihan mutlak. Sekali pun bahkan seandainya ‘nyantri’nya dulu tidak begitu sungguhan.

Baca Juga: “Flexing” dan “Pamer Brand Mahal” di Kalangan Anak Muda Indonesia

Santri bukan profesi. Kurang layak juga jika dikatakan bahwa mereka adalah simpul yang mewakili bingkai keberhidupan yang sengsara di negeri ini, seperti yang sejauh ini telah menjadi hipotesis bagi sebahagian masyarakat hedon. Justru melalui package yang orisinal dalam menghadirkan keberhidupan tradisi, santri (berikut pesantren) merupakan aset tanpa harga yang menangguhkan kedudukan negeri ini -khususnya-, sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi.

Tanpa santri, masa-masa keemasan generasi Z tidak akan se-emas yang diharapkan. Mereka adalah kekuatan tersembunyi yang sedang membanting diri dan jiwanya sebagai defender zaman. Sebagai defender, mereka dilatih memiliki otot ruhani yang kuat, nyali menghadang yang tak serampangan, serta mental menghadapi serangan-serangan yang berantakan. Dalam posisi ini, mereka pun digadang sebagai pencetak gol pada momen-momen tak terduga.

Santri bukanlah pangkat dalam frame eskalase sosial. Santri juga bukan sebatas label yang sebenarnya bisa dengan mudahnya oleh siapa saja berhak mengklaimkan diri sebagai bagian darinya. Ada ihwal yang harus bahkan tidak sekadar ditempuh, melainkan butuh dikonsistenkan. Ialah ngaji kitab kuning di hadapan guru yang batinnya bening. Bukan sebatas keaktifan menghadiri kajian-kajian ataupun event-event akbar yang sifatnya momentum. Bukan juga yang sekadar aktif berkopyah dan melancipkan fasih di permukaan.

Menjadi santri itu tidak sesederhana yang dipahami oleh yang bukan santri..

Salam santri nangisan,
Zufardien Muhammad