Lontaran kalimat yang dianggap sebagai pujian atau sapaan bernuansa seksual, selama ini dianggap biasa saja. Padahal perilaku tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan pelecehan. Maraknya tindakan kriminal di zaman modern kini masih kerap terjadi. Ditengah langkah maju menuju kesadaran akan kesetaraan gender masih saja terus berlangsung.
Bahkan, jumlahnya pun setiap waktu kian meningkat. Salah satu bentuk pelecehan seksual tersebut adalah catcalling. Catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasaan verbal atau kekerasan psikis.
Baca juga: Lima Keistimewaan Bagi Orang yang Memasuki Baitul Maqdis
Candaan, Pujian atau Pelecehan
Fenomena catcalling ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan menjadi sebuah permasalahan yang ada dimasyarakat terutama di perkotaan besar seperti Bandung, Jakarta, dan kota besar lainnya.
Fenomena ini juga kurang mendapatkan perhatian karena minimnya edukasi yang seharusnya ditanamkan sedari kecil mengenai makna catcalling sendiri. Maka dari itu pemahaman mengenai catcalling perlu diperjelas sehingga tidak menyebabkan ambigu antara candaan atau pujian dan bentuk dari pelecehan seksual terutama terhadap perempuan.
Menurut hasil survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik dengan persentase sebanyak 64 persen dari 38.766 perempuan, 11 persen dari 23.403 laki-laki dan 69 persen dari 45 gender lainnya pernah mengalami pelecehan diruang publik. Kebanyakan dari korban mengaku bahwa mereka pernah mengalami pelecehan yang diterima secara verbal yaitu, komentar atas tubuh sebanyak 60 persen, fisik seperti disentuh sebanyak 24 persen dan visual seperti main mata sebanyak 15 persen.
Walaupun hasil survei tersebut sudah terbit, namun masih banyak masyarakat yang belum aware mengenai isu ini. Hal ini dikarenakan adanya stereotip gender yang dibentuk oleh patriarkik sehingga menimbulkan makna ganda yaitu catcalling sebagai candaan, pujian dan catcalling sebagai pelecehan seksual.
fenomena catcalling ini bukan hanya ketika perempuan dihujani kata-kata bernada seksis seperti “kamu seksi” atau “hei, cantik”, tapi masih banyak beberapa bentuk lainya yang bisa dikategorikan pelecehan seksual, seperti, mengatakan kata-kata seksis yang eksplisit, lirikan mata laki-laki yang penuh nafsu, mengeluarkan suara ciuman tepat dihadapan wajah korban dan masih banyak lagi.
Tidak sedikit perempuan yang marah ketika menjadi korban catcalling. Namun banyak pelaku laki-laki yang berdalih bahwa itu adalah pujian terhadap penampilan perempuan tersebut atau bahkan hanya candaan seperti merasa bahwa hal itu bukan lah pelecehan. Padahal, catcalling merupakan perbuatan tidak terpuji, lancang, dan menghina perempuan. Seolah olah perempuan adalah pusat objek seksual yang sedang berjalan tanpa memandang gender.
Cara Meminimalisir Kasus Catcalling
Kunci utama dalam meminimalisir kasus catcalling ini adalah saling menghormati satu sama lain dan saling memberikan pemahaman bahwa setiap manusia berhak mendapatkan rasa aman dan nyaman. Siapapun dan dimanapun mereka berada. Serta perlu adanya edukasi pemahaman mengenai catcalling terutama terhadap perempuan. Tujuannya adalah agar pelaku tidak melakukan catcalling dan korban bisa melaporkan kepihak berwajib jikalau mengalami hal tersebut.
Mari sama-sama saling menjaga untuk mewujudkan kebebasan berekspresi diruang publik tanpa harus merasa takut ataupun tidak merasa aman ketika melangkah bebas. Karena sesungguhnya kebebasan berekspresi adalah hak semua kalangan tanpa mengenal gender itu sendiri. Hentikan tindakan catcalling dengan berani bersuara. Ingatlah catcalling bukan suatu pujian melainkan pelecehan seksual, dan harus dihentikan dari kamu, mereka, dan diri kita sendiri.
Penulis: Regina Puspita Sari