Oleh: Makyun Subuki
Memasuki akhir 2019, China diterjang wabah covid-19. Hal ini berlangsung hingga awal 2020. Akibat penularannya yang sangat mudah, tidak butuh waktu lama bagi wabah ini untuk bergerak menjangkau hampir seluruh belahan dunia, dan lalu segera menjelma menjadi pandemi. Hingga akhir April 2020, berdasarkan catatan worldometers.info, sudah lebih dari 2.700.000 orang terjangkit virus ini di lebih dari seratus negara.
Hal yang mungkin paling mengejutkan dari wabah ini adalah bahwa tidak ada satu pun institusi sosial di dunia yang sudah cukup siap menghadapi persoalan ini. Wabah ini seperti melampaui kemampuan manusia, lalu memenjarakan mereka dalam kecemasan global. Seluruh negara mengunci diri mereka dari kedatangan orang luar, dan –kecuali dalam beberapa hal yang sangat sedikit–, di dalam setiap negara, warga tampak saling mengunci diri mereka dari orang lain. Wabah ini telah memaksa manusia menjauhkan dirinya dari orang lain.
Indonesia Menanggapi Wabah
Di Indonesia, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keramaian dihindari, kantor ditutup, sekolah diliburkan, dan tempat ibadah dikosongkan. Bahkan, Ramadan, yang biasanya menjadi bulan di mana orang tiba-tiba tampak salih, menjadi bulan yang biasa saja, hampir tidak ada tanda-tanda manusia Indonesia menjadi lebih salih di bulan ini. Sepertinya, kesalihan ikut terkunci di dalam rumah karena wabah ini telah membuat setiap orang terpisah dari yang lain.
Tentu saja, itu hanyalah gambaran umum. Di beberapa tempat, masih terdapat salat Jumat dan masih terdapat juga salat tarawih di masjid. Sebelumnya, di awal wabah ini mulai masuk ke Indonesia, beberapa pertemuan besar keagamaan malahan masih digelar, misalnya pertemuan Jamaah Tabligh di Gowa dan Seminar Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) di Bogor. Dua pertemuan ini kelak diketahui berkontribusi terhadap persebaran covid-19. Kini, bahkan setelah wabah menyebar ke seluruh provinsi, beberapa ibadah kolektif di masjid masih dilakukan di beberapa wilayah. Bukan hanya itu, beragam rekaman video amatir juga menunjukkan kemarahan massa akibat peniadaan dan pelarangan ibadah di masjid-masjid dan menganggap hal itu sebagai representasi dari pengekangan terhadap umat Islam. Padahal, beberapa ormas keagamaan besar telah secara resmi mengeluarkan imbauan agar ibadah dilakukan di rumah selama pandemi belum berakhir.
Kesalihan yang Menolak Wabah
Penolakan tersebut sebenarnya sangat mudah diprediksi. Hal ini disebabkan oleh suatu hal yang berhubungan dengan –katakanlah— konsep “kesalihan” kita. Pertama, secara diskursif, pembelajaran agama di Indonesia, baik yang dilaksanakan di sekolah-sekolah formal maupun yang diselenggarakan melalui pengajian dan majelis taklim, memang tidak akrab dengan wabah. Dalam kurikulum agama di sekolah kita, fiqh tentang wabah tidak ditemukan. Dalam pengajian-pengajian pun demikian. Dengan kondisi semacam ini, kesempatan mempelajari agama dalam kerangka wabah baru dapat dimulai bersama dengan dimulainya wabah. Hal ini rupanya menimbulkan masalah, karena tidak semua orang dapat menerima suatu muatan doktrin agama yang tunggal terkait dengan wabah, yaitu tetap beribadah di rumah dan tidak ke masjid. Beberapa kelompok malahan bukan hanya menolak untuk mengikuti anjuran untuk beribadah di rumah, melainkan juga menjustifikasi penolakan mereka dengan juga melandaskan pendapat mereka doktrin agama.
Kedua, pada praktiknya, meskipun pembelajaran agama di Indonesia pada dasarnya diproyeksikan pada hanya sekitar masalah keagamaan yang sangat terbatas, tetapi terdapat kecenderungan sebagian orang untuk menjadikan doktrin agama sebagai konteks model (model context) dalam menanggapi seluruh masalah yang ada, termasuk wabah. Ketika wabah masih terlokalisasi di Wuhan dan belum ada tanda-tanda wabah ini akan menyerang negara muslim, seorang pendakwah kondang menyebut umat Islam akan tetap aman dari covid-19 karena rajin berwudhu. Dia lebih jauh bahkan menyebut virus tersebut sebagai tentara Allah. Kini, dengan melihat banyak negara berpenduduk mayoritas muslim terjangkit wabah ini, terbukti pernyataannya keliru. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa kecenderungan untuk menggunakan agama secara keliru dalam menanggapi persoalan saintifik terjadi bukan hanya kepada para pendakwah, tetapi juga kepada para pengikutnya yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan. Jadi, tidak mengherankan apabila penolakan terhadap larangan untuk beribadah di masjid terjadi. Mereka tentu mengacu kepada model-model mental (mental models) semacam itu.
Ketiga, konsep kesalihan yang berkembang di Indonesia selama ini bersifat individual tetapi sekaligus bersifat publik. Dalam kehidupan sehari-hari, kesalihan seringkali diukur hanya melalui intensitas seseorang mengunjungi masjid untuk salat berjamaah, melalui intensitas seseorang mendatangi pengajian terbuka yang dihadiri oleh ratusan atau ribuan orang, melalui intensitas seseorang mendatangi selamatan dan syukuran, dan lain sebagainya. Pada saat yang sama, industri hiburan juga mengkapitalisasi konsep kesalihan semacam ini, misalnya dengan perlombaan dai cilik dan perlombaan hafalan atau pembacaan Alquran. Hal itu masih harus ditambah dengan iklan dan sinetron yang tayang, misalnya, di sekitar Ramadan dan Idulfitri. Sebagian besar iklan dan sinetron tersebut menampakkan citra kesalihan sebagai yang individual-publik-simbolik sekaligus, misalnya bersorban, rajin sembahyang, pandai berdoa, dan bisa mengusir setan. Seluruh jenis kesalihan itu pada dasarnya bersifat individual, tetapi harus terpublikasikan agar seseorang bisa mendapatkan citra kesalihan. Dengan begitu, kesalihan bukan hanya berfungsi sebagai penanda religiositas seseorang, melainkan juga sebagai penanda identitasnya (markers of identity).
Dengan melebih-lebihkan konsep kesalihan semacam ini, tidaklah mengejutkan apabila orang menolak untuk duduk diam di rumah dan tidak berangkat ke masjid. Bagi masyarakat yang mengalami agama melalui ritualitas yang bersifat individual-publik-simbolik dan diperkaya melalui pencitraan industri budaya massa, larangan tersebut dapat berarti tekanan terhadap identitas, dan dengan begitu berarti pengekangan terhadap ekspresi keagamaan umat Islam.
Keempat, penolakan terhadap larangan ke tempat ibadah juga harus dimaknai sebagai perlawanan politik. Walaupun tidak seluruhnya, kita harus mengakui bahwa sebagian besar orang yang melakukan pelanggaran secara terbuka terhadap larangan ini terafiliasi kepada kelompok masyarakat yang tidak memilih pejabat presiden saat ini. Ini adalah rahasia umum. Akan tetapi, sebab utamanya bukanlah pilihan tersebut, melainkan bagaimana politisi pendukung calon presiden melakukan praktik diskursif untuk membimbing para pemilih mereka. Sebagaimana kita tahu, pemilihan presiden kali ini diwarnai dengan dikotomi identitas secara brutal yang mendefinisikan setiap calon presiden dalam kerangka kesalihan yang berbeda. Meskipun pada akhirnya pemilihan dapat diselesaikan, konsep kesalihan yang diperjualbelikan dalam pemilihan tersebut tetap tertinggal dalam representasi mental (mental representation) mereka dan dijadikan sebagai kerangka kerja (framework) pemahaman atas setiap kebijakan pemerintah. Dengan cara seperti ini, mereka merasa bahwa tetap berangkat ke masjid tidak hanya mencerminkan kesalihan, melainkan juga perlawanan terhadap lawan politik mereka.
Jalan yang (Hampir) Buntu
Kini, seharusnya kita menyadari bahwa selama ini kita hidup dalam kesadaran beragama yang dieksploitasi habis-habisan dari segi ekonomi, sosial, dan politik. Kita telah membiarkan transaksi jual-beli kesadaran ini sedemikian lamanya, sehingga sulit untuk kita kendalikan. Mungkin, jika masih ada waktu, sekaranglah waktunya kita membangun kembali kesadaran untuk membela kehidupan bersama.
*Guru Ngaji Musala & Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta