Upin Ipin, antara Film Kartun dan Mimpi Kebudayaan.

1915
Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay
Ilustrasi. Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay

Oleh: Kiki Esa Perdana

(Pemerhati Pop Culture dan Dosen Tanri Abeng University)

Hampir setiap hari tiga kali film kartun Upin-Ipin saya tonton bersama anak, seperti minum obat pokoknya. Selain pernah menjadi kartun duta anak Malaysia pada beberapa tahun lalu, serial kartun Upin – Ipin  ternyata pernah mendapatkan keuntungan dari film nya sekitar 84 milyar rupiah dan mengalahkan film kartun buatan Walt Disney, the incredibles 2 di Malaysia. Tentu saja ini sangat super bukan? Walt Disney aja lewat.

Entah sihir macam apa yang dilakukan oleh pilm produksi Les’ Copaque Malaysia ini, mereka mampu menyihir anak saya dan jutaan anak melayu di Malaysia, Brunai dan Indonesia untuk terpaku jika menontonnya. Dalam kajian budaya, biasanya ekspansi budaya popular yang disokong kapital yang tepat, biasanya diikuti pula dengan adanya konstrukti budaya masyarakat penonton nya, baik pada sisi sikap dan juga sisi konsumsi.

Seperti jika kita lihat pada e-commerce lokal saat mencari aksesoris upin ipin, lihat berapa banyak kecocokan yang sesuai dengan pencarian anda, mulai dari bantal, boneka, selimut hingga handuk pun banyak bergambar kedua anak kembar ini. Pada sisi lain, begitu pula jika orang tua menemukan anak mereka sesekali menggunakan istilah bahaya Malaysia. Jangan kaget, karena efek budaya popular salah satunya adalah mengkonstruksi karakter manusianya. Anak saya sendiri baru bisa tidur siang hari ini sambil  mendengangarkan playlist lagu-lagu Upin-Ipin. Begitupun dia beberapa kali menganti “ayok” dengan “jom”.

Apakah desa Durian Runtuh tempat Opa, Kak Ros, Upin dan Ipin tinggal merupakan suatu kawasan khayalan dengan kualitas kehidupan yang sangat didambakan banyak orang. Atau bahkan nyaris sempurna? Disana semua dengan latar belakang berbeda baik udaya, pofesi, agama dan bahkan sosial hidup berdampingan. Mulai dari petani karet hingga keluarga kaya macam Ehsan yang anak orang kaya yang dimanja oleh orang tua terutama ayahnya yang tidak pernah lepas dari handycam, salah satu ciri manusia modern yang selalu menjadikan semua hal sebagai konten.

Kita lihat juga bagaimana bermacam agama dan budaya bersatu padu disana, ada uncle muthu yang keturunan india pada satu episode merayakan Divavali, festival cahaya yang dirayakan umat hindu, dibantu perayaan nya oleh upin ipin yang notabene beragama islam. Ada pula karakter Jarjit Singh yang keturunan india juga, namun menjunjung tinggi adat pantun ala melayu, ada uncle athong dan meymey, keturunan cina, juga ada tokoh susanti, asli Jakarta indonesia yang bersahabat dengan warga lokal.

Selama ini di media sosial netijen Indonesia dan Malaysia dicerminkan tidak akur. Mulai dari kasus saling klaim budaya hingga sepakbola. Namun di serial Upin Ipin tidak begitu. Warga desa juga aktif melakukan gotong royong, membantu warganya yang terkena bencana hingga mensukseskan kampanye kesehatan dari pemerintah.

Pada beberapa riset menceritakan bagaimana pandainya Malaysia mempromosikan budaya mereka lewat kartun, seperti hal nya kita mengenal komik manga di Jepang. Upin Ipin ini seakan mencerminkan bahwa memang seperti itu budaya yang baik dan semestinya berjalan pada satu wilayah, saling beriringan, hand in hand. Masyarakat yang heterogen hidup berdampingan pada suatu wilayah tanpa menghadirkan konflik, itu bukankah dambaan semua masyarakat dunia, hidup dalam kedamaian.

Petani, pemilik warung, wirausaha, buruh, penjual ayam goreng, freelancer, pedagang online, penyiar radio, ustadz, dokter, seniman, pelajar, semua berkumpul tanpa adanya konflik yang berarti tumbuh, kesemuanya berdampingan. masyarakat yang stabil, sukses, mampu menghidupi dirinya sendiri, bukankah kita bosan dengan “edukasi” yang kaku dan membosankan? Masyarakat membutuhkan asupan hiburan yang sekaligus edukatif yang cair dan dinamis.

Upin Ipin mungkin tidak secanggih kartun the jetsons atau se purba flinstones, tetapi mereka memiliki keunggulan yang cukup bereda yang bagi masyarakat melayu dengan adat ketimuran dapat menjadi cerminan bagaimana masyarakat serupa yang  mampu hidup selaras, fleksibel dan tidak kaku.

Happiness index mungkin sangat berpengaruh disini, kepuasan kampung Durian Runtuh pada kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan. Sudah terpenuhi dengan baik seperti terjadi di negara-negara dengan nilai indeks kebahagiaan tinggi seperti di Finlandia atau Denmark.

Apakah kita orang-orang  yang memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang bagus dengan melihat Desa Durian Runtuh? Bisa dibilang iya, kita sudah bosan dengan segala keributan yang mengatas namakan politik hingga kepercayaan. Ya setidaknya serial Upin Ipin ini mengadirkan suatu cita-cita dari masyarakat asia tenggara kebanyakan.

Saya sebagai orang tua sangat tidak keberatan jika film ini ditonton oleh anak saya selama masih dalam taraf wajar dan tidak mengganggu keseharian dia kelak, serial kartun ini tidak hanya mengajarkan anak-nak untuk bersikap dimais menghadapi sosial masyarakat, tetapi juga mengajarkan kita sebagai orang tua, bagaimana untuk selalu untuk hidup selaras dalam hidup.

Tulisan ini tertuju untuk semua orang tua dimanapun berada yang “diwajibkan” menemani anak mereka nonton serial kartun ini setiap harinya selam kerja dari rumah ini. Jadi apakah benar desa upin ipin adalah masyarakat modern idam-idamkan selama ini untuk menjadi tempat tinggal mereka?

Ingat, ini bukan tempat di pulau fiktif Samudra Atlantik seperti buku “utopia” nya Sir Thomas More, tapi katanya ini di negara serumpun tetangga kita. Dan untuk anak saya “jom, mandi dulu..”