Upgrading Profesionalitas Guru Madrasah Sebagai Murobbi

731
Upgrading Profesionalitas Guru Madrasah sebagai Murobbi
photo by siedoo.com

Secara garis besar, perbedaan paling signifikan antara Madrasah dan sekolah umum adalah terletak pada kementerian yang menaunginya. Madrasah bernaung dibawah Kementerian Agama, sedangkan sekolah umum bernaung dibawah Kementerian Pendidikan dan Budayaan, Riset dan Teknologi.  Istilah Madrasah memang  terasa asing di telinga masyarakat, khususnya kota. Secara harfiah Madrasah diartikan sebagai tempat belajar para pelajar.

Pengertian madrasah secara umum dapat diartikan sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam yang menjadi bagian keseluruhan dari sistem pendidikan nasional. Dalam SKB tiga mentri disebutkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30 % disamping mata pelajaran umum.

Baca juga: Menyoal Madrasah yang Mandiri dan Berprestasi

Bisa diambil kesimpulan bahwa madrasah lebih mengedepankan integrasi ilmu keagamaan, selain tetap memfasilitasi ilmu-ilmu sosial. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti mata pelajaran agama yang lebih detail, tenaga pendidik, dan treatment, kebijakan, dan peraturannya. Selain itu, sistem pendidikan di madrasah juga sangat memperhatikan hal-hal yang bernuansa keagamaan, seperti cara berpakaian, keseharian, dan akhlak.

Perbedaan Guru dan Murobbi

Dalam konteks pendidikan Islam, guru atau “pendidik” sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid. Menurut peristilahan yang dipakai dalam pendidikan dalam konteks Islam, kelima istilah ini mempunyai tempat tersendiri dan mempunyai tugas masing-masing.

Murabbi artinya sama, yaitu guru, tetapi lebih spesifik: Orang yang mendidik manusia sedemikian rupa, dengan ilmu dan akhlak, agar menjadi lebih berilmu, lebih berakhlak, dan lebih berdaya. Orientasinya memperbaiki kualitas kepribadian murid-muridnya, melalui proses belajar-mengajar secara intens. Murabbi itu bisa diumpamakan seperti petani yang menanam benih, memelihara tanaman baik-baik, sampai memetik hasilnya.

Jauh sebelum itu, istilah murabbi sudah lebih dulu dan diintegrasikan di pesantren. Sistem pendidikan pesantren yang mewajibkan para santri-santrinya untuk muqim (menetap dalam jangka waktu yang lama) dianggap efektif dalam proses pendidikan. Buktinya, banyak tokoh-tokoh besar di negeri ini yang lahir dari rahim pesantren.

Uraian diatas menjadi salah satu argumen kuat bagi banyak kalangan yang menyebut bahwa madrasah adalah komparasi antara sistem pendidikan yang ada di pesantren dan sekolah umum.

Professional Upgrading Skill

Seiring semakin berkembangnya Madrasah di Indonesia, kompetensi dan kualitas guru di Madrasah juga harus semakin ditingkatkan. Aspek profesionalitas guru Madrasah yang perlu menjadi prioritas bersama adalah kesadaran untuk terus meningkatkan kemampuan secara profesional.

Hal yang perlu diperhatikan bahwa seorang yang telah menetapkan pilihannya untuk menjadi seorang guru sebagai profesinya, maka konsekuensinya harus ada kesadaran untuk selalu berusaha terus untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Sebab bagaimanapun juga faktor kesadaran diri dari dalam ini mempunyai peranan yang cukup berarti dalam menentukan sikap dan perilaku kehidupan.

Kesadaran untuk selalu meningkatkan profesional ini berkaitan erat dengan kompetensi yang menuntut guru untuk menguasai sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan masyarakat, sehingga ia mampu mengembangkan pengetahuannya, keterampilan serta memiliki sikap positif terhadap tugasnya.

Kompetensi guru berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, bahwa guru bukan hanya sebagai pendidik saja tetapi juga sebagai pengajar, pembimbing dan administrator kelas.

Dari beberapa fungsi tersebut guru dituntut mempunyai kemampuan yang sifatnya khusus kepada hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya yang tentunya telah dipersiapkan melalui program lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan sesuai dengan harapan dan cita-cita bangsa.

Penulis: M. Hilmy Daffa Fadhilah
(Mahasiswa PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)