Uang Panai Adat Dari Bugis Makasar

1020
Photo by Sandy Millar on Unsplash

Jeneponto adalah salah satu daerah tingkat 11 di Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas wilayah 749,79 km2 dan berpenduduk sebanyak 330.735 jiwa, berpenduduk asli Bugis Makassar yang mempunyai adat dan budaya yang unik, dan yang paling mashur dari adat Bugis Makassar adalah uang panai,

Di waktu sore itu, hari Selasa 16 Juli 2019 tibalah saya di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar yang ke dua kalinya, untuk melaksanakan tugas negara yaitu mengabdi di perbatasan Indonesia (Jeneponto), pesawat mendarat dengan selamat, terlihat para penumpang bersiap-siap dan bergegas mengambil barang-barang, suasana bandara masih sama seperti dulu waktu saya meninggalkan kota ini, hanya saja saat ini saya sendiri, tanpa teman,

Baca juga: Apa Sih Bedanya Kufur dan Syirik

Hari semakin sore, saya masih ada di bandara, menunggu mobil yang bisa membawa saya langsung  ke lokasi, karena antara bandara sulthan Hasanuddin menuju lokasi memerlukan waktu setengah hari, maka di perkirakan saya akan tiba di lokasi tengah malam, setelah melakukan perjalanan kurang lebih 6 jam, akhirnya sayapun tiba di lokasi jam 12 malam.

Suasana malam yang tak asing bagi saya, sunyi, sepi, dan udara yang sangat dingin, malam itu adalah malam rabu jam 00:00, tanggal 16, bulan Juli, tahun 2019 adalah malam dimana saya akan memulai cerita baru selama satu tahun, di Desa Sunggumanai, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan.

Adat dan Budaya Jeneponto

Setelah beberapa minggu di Jeneponto alhamdulillah respon masyarakat sangat baik, aktivitas berjalan dengan baik di sekolah maupun di masyarakat, sesekali saya berbincang bincang dengan masyarakat, banyak yang bilang kepada saya “Mas budi cari istri orang sini aja, masalah Panai bisa diatur” di situlah saya mulai bertanya-tanya “Apa sebenarnya uang Panai itu?” akhirnya saya mulai mencari tahu dan bertanya-tanya kepada masyarakat sekitar tentang apa itu uang Panai, dan ini penjelasannya.

Kebudayaan adalah hasil manusia baik yang bersifat materi, maupun yang non materi. Seperti detailnya bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), peralatan hidup (teknologi), ilmu pengetahuan, sistem sosial, bahasa, kesenian dan sistem religi.

Jika dihubungkan dengan sejarah, maka kebudayaan sangat erat kaitannya karna sejarah adalah suatu ilmu yang selalu membahsas ke tujuh unsur kebudayaan dilihat dari segi waktunya. Jadi detailnya jika kita melihat kebudayaan dari kaca mata sejarah, berarti dalam pembahasannya kita akan mencoba membahas sejumlah peninggalan kebudayaan-kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan khususnya di Kabupaten Jeneponto, Salah satu adat kebudayaan masyarakat di beberapa kota di Sulawesi Selatan khususnya di Jeneponto adalah uang Panai.

Melestarikan Adat Bugis

Uang Panai adalah uang yang wajib di serahkan dari pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan yang hendak di peristri (bukan mahar), ini merupakan wujud keseriusan pihak laki-laki yang hendak melamar anak perempuan dari suatu keluarga, uang Panai juga bisa dijadikan cara untuk menolak pinangan pihak laki-laki, ketika keluarga wanita menaikkan uang Panai menjadi sangat tinggi di luar kemampuan keluarga laki-laki maka itu adalah penolakan.

Uang Panai memiliki kelas atau tingkatan sesuai dengan strata sang wanita, mulai dari kecantikan, pendidikan, keturunan, pekerjaan, bahkan harta dan warisan, misalnya pengaruh pendidikan jika wanita yang akan di lamar memiliki pendidikan S1, maka harga panai akan lebih mahal dari gadis yang lulusan SMA, sedangkan wanita lulusan S2 akan jauh lebih mahal dari wanita lulusan SI,

Sebagai contoh jika uang Panai bagi wanita lulusan SMA 50 juta, maka uang Panai bagi wanita berpendidikan SI adalah 75 sampai 100 juta, untuk wanita keturunan bangsawan ( karaeng) bisa mencapai miliaran, dan paling redahnya uang Panai adalah 50 juta.

Semakin tinggi uang Panai maka semakin tinggi pula strata sosialnya, dan itu adalah suatu kebanggaan bagi kedua belah pihak keluarga, terutama pihak keluarga wanita, oleh karena itu banyak dari masyarakat jeneponto berlomba-lomba menyekolahkan anak perempuannya sampai S1, sehingga munculah peribahasa yaitu “ pertu”.

Bersambung…

Penulis: Abudin
(Alumni Program Bina Kawasan 3T Kemenag RI)