Taksonomi Bloom merupakan istilah yang akrab bagi insan pendidikan. Taksonomi Bloom menggambarkan kemampuan berpikir dari tingkat paling rendah hingga tertinggi. Mulai dari mengingat (C1), memahami (C2), mengaplikasi (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6). Sebagai contoh pemahaman tentang teknologi, jenjang berpikir rumusan Benjamin S. Bloom (1956) dapat dijelaskan berikut ini. Pada level berpikir terbawah, Teknologi dimengerti definisinya. Misalnya, kita meminjam pengertian menurut Jacques Ellil, “teknologi adalah keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efisiensi dalam setiap kegiatan manusia”.
Tangga berpikir selanjutnya memahami (C2), kita mengetahui bahwa keberadaan teknologi membantu kemudahan dalam menyelesaikan tugas-tugas. Di level ini, teknologi belum disentuh, pemahaman ini tersimpan di kepala berupa pengetahuan kognitif. Di atasnya, kemampuan mengaplikasi (C3). Kita mulai menerapkan fungsi teknologi secara nyata. Indera kita mendapati sentuhan langsung. Namun keakraban dengan teknologi disebabkan faktor dari luar. Misalnya mau tak mau kita menggunakan Android sebab menyediakan layanan komunikasi yang lengkap. Naik pada kapasitas berpikir menganalisis (C4), kesadaran dari dalam diri tumbuh dan memengaruhi sikap kita terhadap teknologi. Bahwa ada manfaat yang bisa dipetik lebih dari sekadar kemudahan, tapi juga ada dampak residu yang perlu dihindari.
Di undakan selanjutnya kekuatan berpikir mengevaluasi (C5). Pada tahap ini, sikap kita terhadap teknologi mengerucut. Kesadaran diri mendorong untuk meningkatkan kapasitas pribadi. Kita mampu memilih mana yang sesuai dengan minat kita. Daya berpikir terakhir dipuncaki kekuatan mencipta (C6). Teknologi lebih dari sekadar kemudahan. Di tangan inovator, teknologi mampu meningkatkan kapasitas pribadi yang pada gilirannya memproduksi pemikiran baru atau teknologi baru. Kemampuan berpikir C1, C2, dan C3 dikenal sebagai kapasitas berpikir rendah sementara level C4, C5, dan C6 merupakan cara berpikir tingkat tinggi.
Kesiapan Guru
Wabah Covid-19 merupakan momentum titik balik bahwa pendidikan bukanlah semata hajat sekolah dan guru. Komunikasi harmonis guru, orangtua dan kepedulian masyarakat di dunia pendidikan perlu kembali direkatkan agar tercipta kesalingpahaman yang membangun. Ragam keluh kesah orangtua dan siswa yang tak segan diunggah dalam linimasa media sosial bahwa mereka dibebani tugas bertubi-tubi oleh gurunya di sekolah, perlu direfleksi sebagai cermin betapa respons gugup sekaligus gagap tak terelakkan sebab ketidaksiapan guru menghadapi perubahan radikal proses pemelajaran.
Transformasi ruang belajar dari kelas di sekolah menuju kamar di rumah, dari tatap muka langsung ke daring kebanyakan justru-merujuk pada Taksonomi Bloom-disikapi dengan kemampuan berpikir mengaplikasi (C3) oleh guru dan sekolah. Di mana, masuk dalam kategori berpikir tingkat rendah. Guru dihadapkan pada posisi mau tak mau menggunakan teknologi untuk pelayanan pemelajaran. Kesadaran merancang subtansi pemelajaran bermakna menjadi kabur. Guru tetap dibayangi mengejar ketuntasan target kurikulum. Buktinya adalah tugas yang menumpuk, alih-alih mengajarkan kecakapan hidup dan belajar mandiri.
Menyiapkan bahan ajar untuk pemelajaran online memang tidak mudah, ada baiknya guru berselancar mencari referensi yang banyak dan menghidupkan ruang diskusi dengan teman sesama guru. Pemelajaran daring akan mudah menjumpai kebosanan ketika belajar hanya dilakukan searah, informasi dari guru ke murid. Sekalinya dua arah, ia berupa penugasan soal lalu siswa menyelesaikannya dan dikirim balik ke guru. Belajar semacam itu sebatas pindah ruang perjumpaan di sekolah ke ruang virtual.
Belajar daring sebenarnya tidak kalah seru jika guru mau berupaya meramu pemelajaran sebaik mungkin, yaitu proses yang mengajak siswa melakukan aktivitas belajar. Tak sekadar menyerap dan menghapal pengetahuan tapi melakukan kegiatan yang kontekstual. Tanpa peluang mempraktikkan, mendiskusikan, mempertanyakan atau bahkan berbagi praktik baik kepada siswa lain, menurut Melvin L. Siberman, proses belajar yang sesungguhnya tak akan terjadi.
Hal itu sejalan dengan surat edaran Mendikbud No. 4 tahun 2020. Layanan pemelajaran haruslah pengalaman belajar bermakna bagi murid tanpa dibebani tuntutan menuntaskan capaian kurikulum, fokus pada kecakapan hidup, aktivitas disesuaikan dengan situasi termasuk akses/fasilitas di rumah, dan produk dalam bentuk umpan balik secara kualitatif bukan nilai/skor kuantitatif.
Maka ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan. Pertama, layanan pemelajaran digital memprioritaskan pada kebutuhan siswa. Kedua, aktivitas belajar sederhana, mudah bagi peserta didik, orangtua, dan guru. Teknologi merupakan alat bukan tujuan utamanya. Ketiga, pemelajaran kontekstual. Proses belajar berupa kegiatan yang mengajak murid melakukan hal yang bernilai positif dan menumbuhkan empati.
Alhasil, di masa krisis, semua orang butuh selamat dan hidup tenang. Tak kecuali anak, sebagai generasi masa depan keselamatan dan ketenangan mentalnya menjadi tanggung jawab orangtua dan guru. Paket tugas yang meggunung hanyalah beban yang justru melumpuhkan motivasi belajarnya. Semoga wabah covid-19 cepat berlalu.