Suatu sore sebuah pesan masuk digawai saya. Pesan itu berisi demikian, “Tertarik ga ikutan riset media sosial?”. Saya tentu saja mengamini sebagai lapak sirkulasi baru untuk belajar. Dua bulan kemudian, penelitian itu digelar lewat sebuah pelatihan khusus yang melibatkan pendekatan Etnografi. Saya asing dengan Etnografi tetapi mulai tertarik untuk mengikuti.
Empat bulan lalu seorang teman rupanya sudah kali kedua mengikuti riset lewat pendekatan etnografi. Saya sering diceritakan pengalamannya mengambil data, mengunjungi lapangan dan bagaimana semestinya melakukan wawancara. Antusiasme saya tumbuh dan bersemangat setiap kali mendengar penjelasannya.
Baca Juga: Ilmu dan Pengetahuan antara Subsidi dan Otodidak.
Bahan Bacaan Rekomendasi Teman
Teman saya menyebut salah satu mentornya mampu menuliskan dengan baik hasil penelitiannya. Tak disangka, saya mengenalinya. Tidak kenal betul sebenarnya. Saya hanya tahu namanya sebab pernah membaca bukunya.
Buku itu memang ditulis sangat baik dan menarik. Baik secara penulisan dan menarik dari pilihan isu bahasan. Sekumpulan tulisan yang menawarkan cara pandang baru tentang desa, sebuah rangkulan mesra untuk melihat desa lebih dekat. “Catatan Panjang tentang Satu Bahasa” adalah judul bukunya. Ditulis oleh Sang Mentor teman saya, Mas Nurhady Sirimorok.
Teman saya menawarkan buku lain untuk belajar etnografi. Beruntung ia bersedia meminjamkan. Katanya buku ini juga direkomendasikan oleh Mas Hady untuk dibaca bagi yang ingin belajar etnografi. Karya hasil kerja keras Roanne van Voorst, berisi pengalaman seorang antropolog Belanda tinggal di kawasan kumuh Jakarta, buku ini diberi judul “Tempat Terbaik di Dunia”.



Buku ini adalah buku pertama yang selesaikan di awal tahun. Demi memenuhi sebuah resolusi, sembari melatih diri dan belajar etnografi saya berusaha menuliskan sedikit kisah dari tumpukan cerita padat dalam karya akademik yang disulap menjadi kudapan renyah. Iya, renyah sekali. Pada sebelumnya naskah buku ini adalah nasi, tetapi Marjin Kiri, sebuah penerbit buku kiri masa kini, mengolahnya menjadi rengginang, membuat buku ini bisa dilahap oleh lebih banyak orang.
Mengintip Sedikit Karya Roanne van Voorst
Roanne van Voorst adalah seorang antropolog dan penulis. Debutnya diawali dengan menulis tentang kaum muda imigran di Belanda. Sementara buku yang baru saja saya lahap merupakan tebusannya untuk meraih gelar doktor di Universitas Amsterdam pada 2014. Penelitiannya tentang banjir di Indonesia itu melahirkan karya akademis Natural Hazards, Risk and Vulnerability: Floods and Slum Life in Indonesia.
Latar penelitian Roanne tentang banjir tentu saja mengarah pada Jakarta, kota yang sering diterpa banjir dari tahun ke tahun di Indonesia. Kota ini selain menjadi pusat birokrasi dan idustri, juga ditempati oleh perkampungan kumuh masyrakat miskin kota. Mereka pada kesempatan kali ini diberikan ruang bicara oleh Roanne.
Pendekatan etnografi memungkinkan Roanne membantu penghuni perkampungan kumuh mengisahkan pengalaman mereka kepada dunia luar. Tidak seperti penelitian pada umumnya yang menjadikan objek, etnografi berusaha mengambil sudut pandang sebagai subjek.
Roanne tinggal bersama penghuni di kampung kumuh selama hampir satu tahun. Etnografi kerap kali melakukan penelitian dengan partisipatif, dimana peneliti tidak hanya melakukan wawancara biasa tetapi mesti hidup berdampingan dengan mereka. Informasi tidak datang dari setiap kata yang keluar dari mereka yang diwawancara, kehidupan sehari-hari mereka menjadi amatan khusus dalam penelitian ini.
Buku ini berisi 10 bab utuh dan 189 halaman yang merangkum bagaimana masyarakat Bantaran Kali bertahan hidup. “Bantaran Kali” sendiri bukanlah nama asli dari kampung kumuh yang sering terdampak banjir. Perubahan nama itu dilakukan Roanne untuk menjaga privasi dan identitas dua orang temannya. Menurut hukum di Indonesia pekerjaan Neneng dan Tikus, sebagai pekerja seks dan pengamen, merupakan sebuah pelanggaran.
Kerahasiaan tempat Roanne tinggal selama penelitian membuat saya menerka-nerka dimana letak sebetulnya Bantaran Kali, sebuah kampung kumuh langganan banjir dan berpenghuni sekumpulan individu miskin dari beragam latar belakang sosial. Saya pernah melewati beberapa kampung kumuh pinggiran kali di Kwitang, Sunter, Sentiong atau sisi rel kereta api sepanjang Percetakan Negara sampai Pademangan. Kehidupan mereka rasanya sesak akan cerita-cerita yang sama seperti dikisahkan Roanne.
Ketimpangan Sosial yang Tiada lagi Memiliki Jarak
Tokoh-tokoh yang diwawancara Roanne di perkampungan kumuh sangat beragam. Padahal pada awalnya Roanne amat frustasi menemukan tempat untuk penelitiannya sebab administrasi di Jakarta yang penuh sengkarut. Sampai ia bertemu dengan Tikus, pengamen di Metro Mini yang sedang ia tumpangi, mengajaknya singgah ke tempat tinggalnya.
Persinggahannya di tempat Tikus membuat perempuan berambut pirang itu bertemu dengan masyarakat lain di kampung kumuh. Hampir di antara semua lapis masyarakat diajak dialog oleh Roanne. Setiap malam ia menulis catatan lapangan sekalipun sedang diserang demam. Ia berhasil membangun kedekatan dengan masyarakat sehingga mampu mengulik hal-hal yang subtil, mendalam dan tersublim dari keseharian hidup mereka.
Ketika Roanne sakit masyrakat setempat yang merawatnya dan meyakinkannya untuk tidak pergi ke dokter. Bukan tanpa alasan, menurut mereka rumah sakit kerap melakukan diskriminasi pada warga miskin ketika butuh fasilitas kesehatan. Seorang teman Tikus pernah mati tak tertolong akibat telat diberikan perawatan.
Kisah-kisah masyrakat kampung kumuh semacam itu diceritakan dengan baik dari bab ke bab seolah dekat sekali dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita disuguhi perpektif orang-orang Bantaran Kali tentang banyak hal: emosi mereka, suka duka, cara pandang dan habitus mereka menjalankan hidup. Buku ini boleh jadi hanya sebuah hasil penelitian oleh antropolog Belanda, tetapi yang diungkapnya tentang Bantaran Kali adalah tentang ketimpangan sosial yang tiada lagi memiliki jarak di tanah air kita, Indonesia.
Penulis: Ali Nur Alizen