Tantangan dan Prospek Bahasa Arab di Dunia Kerja

1196
Bahasa Arab
Photo by Andri Helmansyah on Unsplash

Bangsa Indonesia disinyalir mulai mengenal bahasa Arab sejak masuknya Islam, khususnya melalui teori pendidikan. Namun, bahasa Arab di Indonesia dinilai minim penuturnya, meski mayoritas penduduknya beragama Islam.

Fakta ini tidak sepenuhnya menjadi sebuah kegelisahan, pasalnya kemampuan berbahasa Arab bukan merupakan bagian dari tujuan beragama Islam. Di sisi lain, merawat kebudayaan orisinal yang meliputi bahasa daerah dan bahasa Indonesia merupakan sesuatu yang penting dalam rangka menjaga identitas bangsa.

Sehingga minimnya kemampuan berbahasa Arab tidak menjadi masalah khususnya bagi umat muslim di Indonesia, selagi mampu menjalankan nilai-nilai agama dengan baik dan menjaga keutuhan NKRI.

Namun bahasa Arab sebagai sebuah mata pelajaran yang diadakan di berbagai jenjang pendidikan baik negeri maupun swasta, dituntut untuk menciptakan para peserta didik yang memiliki kemampuan bahasa Arab secara verbal. Maka, Minimnya kemampuan berbahasa Arab dalam konteks ini, tentu menjadi sebuah masalah bagi bangsa Indonesia sekaligus bagi negara.

Tantangan Kurikulum Bahasa Arab di Indonesia

Masalah ini menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan baik tingkat, dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Khususnya dalam rangka mempersiapkan para pembelajar bahasa Arab agar mampu menguasai kemampuan berbicara (maharah kalam) menggunakan bahasa Arab secara aktif dan komunikatif.

Tantangan ini secara jelas diungkapkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) no. 183 tahun 2019 tentang kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah. Tantangan tersebut antara lain adalah: (a) kebutuhan terhadap pengguna dan penutur bahasa Arab terus mengalami pertumbuhan seiring dengan berkembangnya hubungan internasional dengan negara-negara Arab di berbagai bidang, (b) pesatnya perkembangan tekonologi yang menyebabkan masyarakat berpikir instan untuk memahami ajaran Islam, dan (c) berkembangnya perubahan pola bahasa Arab fusha menuju pola ‘amiyyah.

Tiga tantangan di atas, menunjukkan bahwa arah pembelajaran bahasa Arab terpecah menjadi dua kubu besar. Pertama, pembelajaran bahasa Arab yang dipandang sebagai ilmu alat untuk menggali dan memahami ajaran agama Islam melalui teks-teks keagamaan.

Kedua, pembelajaran bahasa Arab yang menekankan pada aspek komunikasi. Karakter dari arah pembelajaran pertama, mengedepankan keilmuan kaidah kebahasaan, maka sebaliknya kemampuan komunikasi dengan bahasa Arab kurang mendapat perhatian.

Baca juga: Wujud Cinta Tanah Air dari Bilik Pesantren

Titik Temu Pendidikan Bahasa Arab

Fenomena dua kubu besar ini mempertontonkan bagaimana pendidikan bahasa Arab mengalami dilematis yang memilukan. Antara tujuan menjadikan bahasa Arab sebagai alat dalam menggali ilmu-ilmu agama, atau menjadikan bahasa Arab sebagai alat komunikasi. Hal ini membuat pendidikan bahasa Arab mengemban tugas yang lebih berat dibanding mata pelajaran bahasa asing lainnya.

Apalagi jika berbicara faktor lingkungan yang sudah sering dibahas oleh banyak kalangan. Bahwa bangsa Indonesia sendiri khususnya generasi milenial, lebih akrab dengan bahasa asing lain. Mulai dari aktifitas menonton film, musik, bermain video game, serta berselancar di media sosial.

Para public figure yang mereka jadikan role model pun lebih sering memberikan influence dengan selingan bahasa Inggris. Hal ini yang menjadikan posisi bahasa Arab di Indonesia masih menjadi bahasa yang “asing”. Barangkali dapat kita justifikasi bahwa hanya sedikit sekali generasi milenial yang memiliki ketertarikan dengan bahasa Arab dan menempatkan dirinya dalam lingkungan berbahasa Arab.

Prospek Kurikulum Bahasa Arab dalam Pusaran Lapangan Kerja

Kurikulum bahasa Arab sesungguhnya memiliki prospek yang cukup terbuka lebar. Melihat beberapa negara kaya raya di Timur Tengah seperti Kuwait, Qatar, Bahrain, Arab Saudi, hingga Uni Emirat Arab membuka lapangan pekerjaan yang cukup banyak di berbagai bidang.

Kemampuan berbahasa Arab yang memadahi akan menjadi sebuah nilai plus atau bahkan tiket emas bagi para calon pekerja profesional di masing-masing bidang. Tentu sangat disayangkan jika para pekerja Indonesia kesulitan atau bahkan gagal menempati pos-pos tersebut, khususnya jika disebabkan oleh lemahnya kemampuan berbahasa Arab.

Melihat prospek ini, meniscayakan para pemangku kebijakan untuk menyusun dan “bongkar pasang” kurikulum. Serta membuat para akademisi, peneliti, dan pemerhati bahasa Arab untuk mengerutkan keningnya dalam rangka ikhtiar melalui temuan-temuan penelitian terbaru yang dapat memecah masalah kurikulum bahasa Arab di Indonesia.

Khususnya dalam pengembangan pembelajaran bahasa Arab yang mengarah kepada pola yang komunikatif-fungsional. Meski di lain sisi, mempersiapkan para dosen dan guru bahasa Arab dengan kemampuan komunikasi berbahasa Arab juga menjadi suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Sebab, keduanya merupakan ujung tombak kesuksesan sebuah kurikulum bahasa Arab itu sendiri.

Penulis: Rizki Fathul Huda, M.A
(Awardee Beasiswa Doktoral UIN Jakarta – PMLD Kemenag)