Tahapan Membaca Hingga Menjadi Pembaca yang Baik

778
membaca
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Saya membaca buku sejak kecil. Sejak usia dini di Sekolah Dasar. Di sekolah, SDN 1 Cigedang, saat itu belum memiliki perpustakaan yang baik, atau saya kira memang belum memiliki koleksi buku yang cukup banyak. Maka, selama belajar sambil menabung disana, saya tak pernah masuk dan berkunjung ke perpustakaan. Ia serupa nama asing di telinga kami yang masih gemar bermain petak umpet.

Saya hanya membaca buku dirumah saja. Si Bapa dan Mamah juga tidak memiliki banyak koleksi buku, bahkan di dalam isi rumah kami tak ada rak buku samasekali. Hanya saja ada beberpa buku bisa ditemui. Misalnya Buku Sejarah Walisongo yang dibawa bapa pulang dari ziarah ke makam 9 wali, dan  beberapa buku agama yang entah dari mana asalnya, saya hanya tahu buku-buku itu sudah ada di bupet lemari di atas TV sejak kami berpindah rumah.

Baca juga: Tiga Bulan Terombang-ambing di atas Kapal Ikan Asing

Saat ada bazar buku di balai desa, saya meminta uang pada Si Mamah untuk membeli sejumlah buku. Saya masih ingat, buku itu diantaranya kamus bahasa Inggris, RPUL, ATLAS Indonesia dan Dunia, dan Buku Cerita Rakyat Nusantara. Seingatku buku-buku itu saya lahap tuntas sebelum menginjak pada kepindahan sekolah.

Menjadi Santri di Pesantren

Pada kelas lima, saya pindah ke pesantren. Belajar di sekolah dan mengaji lebih rutin di surau pondok. Saya banyak menemukan perbedaan suasana di sekolah yang baru, tapi tidak dengan perpustakaannya. Menurutku sama saja isinya dengan sekolahku di desa. Di pesantren, saya malah banyak membaca komik disamping buku-buku pelajaran. Padahal saat itu komik adalah bacaan yang dilarang. Di mana kita dipergoki sedang khusyuk membaca, pengurus akan merampas dan membakarnya tanpa sekalipun merasa berdosa.

Menginjak Sekolah Menengah, saya masih lanjut di pesantren yg sama. Paruh pertama di masa putih biru itu, saya sering meminjam koran bola pada teman yg biasa membeli setiap jum’at dan pada waktu istirahat sekolah. Saya hanya mampu mengantri untuk meminjam. Tidak pernah mau membeli koran sama sekali. Saya berpikir sangat kolot saat itu; buat apa membeli koran bila sudah ada yg punya, tinggal pinjam saja tho. Mengapa demikian, sebab saya akan kehilangan uang saku yg dibatasi perhari nya.

Kemudian, pada saat menjadi pengurus OSIS, saya bersama teman–teman mulai mengelola mading sekolah. Kami mengisi mading dengan berlangganan Koran. Menggunting setiap informasi yang pantas di pajang dan mendekorasinya supaya sedap dipandang. Tentunya saya akan melahap habis lebih dahulu setiap koran sebelum saya pajang. Sampai masa itu, saya masih keukeuh untuk tidak mau membeli koran, sebab koran akan hadir setiap minggu ditanggung kas OSIS, tanpa perlu mengorbankan uang saku.

Masa-masa Putih Abu-abu

Di jenjang putih abu-abu, saya mulai membaca novel. Tentunya novel itu bukan milik pribadi. Novel pertama yang saya selesaikan saat itu, Bumi Cinta karya Habiburrahman. Entah milik siapa, saya sudah lupa pada siapa sempat meminjamnya. Pada periode ini saya sangat jarang membaca. Saya lebih suka bermain bola di waktu istirahat sekolah dan hilir mudik keluar pondok mengikuti setiap pertandingan sepakbola. Saat itu saya seorang yang pelit menyisihkan uang untuk membeli buku. Masih memegang pemikiran kolot,  dengan tidak mau membeli buku sama sekali, meski [adahal uang jajan sudah dikelola secara mandiri.

Masih di masa abu–abu, suatu waktu saya sempat berebut buku pelajaran dengan teman sekelas. Maklum, di sekolah kami, jangankan buku bacaan, buku pelajaran saja masih sangat terbatas. Ketika itu saya berhasil mendapat buku tersebut, sementara teman saya yang kehilangan bukunya, hanya bisa menggerutu. Kronologi kejadiannya saya sudah lupa. Sangat disayangkan menjadi saya ini, umur masih belia tapi sudah banyak lupa. Tapi tak apa, hidup semakin menantang saat semakin banyak perlawanan. Melawan kemalasan, ketidaktahuan dan lupa itu sendiri.

Saya tidak merasa bersalah dan berdosa atas perlakuan pada teman saya yang kehilangan bukunya setelah proses perebutan itu. Pikiran saya sangat kolot seperti sebelumnya.

Saya merasa itu adalah hak saya dari sekolah, tanpa peduli bagaimana saya mendapat buku tersebut. Tidak pernah berfikir solusi lain. Seperti meminjam buku itu di paruh waktu atau memfotokopi buku tersebut. Saya masih sangat setia pada prinsip pribadi, tidak mau membeli buku. Walaupun, padahal, itu sangat dibutuhkan untuk mengikuti pelajaran.

Belajar Menjadi Pembaca yang Baik

Putih abu-abu, sebagaimana lazimnya pergaulan anak muda, saya mulai dekat dengan seorang gadis. Dia manis, cantik dan pembaca buku yang baik. Seperti apa pembaca yang baik itu?

Ya, Sepertinya! Dia memiliki koleksi buku yang disukainya atau setidaknya dia lebih mau menyisihkan uang saku untuk hobi nya sendiri. Sementara saya, hanya bisa meminjam, meminjam dan meminjam lagi buku oang lain.

Saya bertransaksi pinjam-meminjam buku dengannya, sampai pada akhirnya, dia memberi hadiah sebuah buku untuk dibaca. Bukunya novel remaja biasa. Tapi keputusannya memberikan buku, merupakan teguran besar bagi saya.

Seolah-olah saya mendapat Ilham, atau mendapat kepekaan tingkat tinggi, bahwa sikapnya itu menegur saya untuk berani mandiri terhadap kebutuhan. Untuk mengawali diri saya mulai membeli buku tanpa harus meminjam dan meminjam lagi. Pada saat itu juga, saya futuh. Prinsip yang dipegang sekian lama gugur seketika. Saya berterimakasih dan berhutang besar padanya.

Semenjak kejadian itu, saya mulai memiliki ketertarikan lebih pada buku. Tentu dengan ghirah yg baru, ghirah untuk tidak meminjam, dan mau bermodal untuk setiap lembar pengetahuan. Sampai saat ini, saya dengannya sepakat untuk membentuk perpustakaan bersama.

Kejadian itu seakan titik balik perubahan. Seolah didukung oleh keadaan pula. Di kelas, saya bertemu dengan guru yang luar biasa. Beliau menekankan dan memaksa kami untuk membaca. Kami diminta untuk meyisihkan waktu, setidaknya, satu jam setiap harinya untuk melahap setiap lembaran buku. Bebas buku apapun. Kemudian untuk mengetahui bukti, beliau akan meminta kami untuk bercerita dari setiap apa yang kami baca.

Di bangku perguruan tinggi, saya sangat terlambat dari teman-teman sebaya yang sudah menghabiskan banyak buku. Mereka memulai lebih awal dengan prinsip yg baik. Bacaan saya jauh tertinggal. Beberapa buku terbaik yang pernah saya baca di waktu SMA mereka selesaikan semasa SMP.

Pada akhirnya, saya merasakan bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan. Bukan lagi untuk mengisi waktu senggang saja. Buku sudah menjadi makanan pokok. Dia menjadi wadah pengetahuan yang paling bersahabat.

Betapa banyak pengetahuan dan ilmu kita dapat dari setiap lembarnya, betepa merdekanya kepala kita yang berhasil memecahkan tempurung ketidaktahuan. Tapi buku bukan Tuhan, dia tak akan memberi apapun tanpa kita membacanya.

Tulisan ini Pernah dimuat di Buntu Literasi
Penulis: Ali Nur Alizen