Oleh: Gus Aunullah Alhabib,LC
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sahabat mading.id yang muliaa, banyak dari kita kadang-kadang kurang hati-hati dalam memahami Al-Quran. Tidak semua orang mampu mengambil intisari dari pada Al-Quran maupun Hadits.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau meinggalkan dunia, meninggalkan kurang lebih dua belas ribu (12.000) sahabat. Di antara dua belas ribu (12.000) sahabat, ada dua ribu yang banyak mengetahui tentang ilmu Agama.
Tidak semua sahabat berani untuk menyimpulkan atau menafsirkan dari pada Al-Quran dan Hadits. Ini adalah etika yang mulia dari seorang sahabat-sahabat yang harus kita warisi. Begitu juga ulama-ulama dahulu, melakukan hal-hal semacam itu.
Hal ini cocok sekali dengan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan bahwa al-ulama warosatul anbiya — العلماء ورثة الا نبياء – bahwa ulama’ adalah pewaris para Nabi.
Kadang-kadang kita kurang bisa mencerna Hadits ini dengan baik. Saya berikan gambaran saja secara mudah. Misalnya ada seseorang yang ditinggal meninggal dunia oleh orang tuanya, dia diwarisi satu hektare kebun kelapa sawit. Yang mewarisi adalah orang tuanya, dan yang diwarisi adalah anaknya. Otomatis apapun, entah itu rantingnya, daunnya, kelapa sawitnya, tanahnya dan lain sebagainya, siapapun yang mengambil, siapapun yang akan membuat manfaat dari apa yang ada di dalam kebun kelapa sawit itu, harus izin pewarisnya, harus melalui pewarisnya.
Ini adalah etika, ini adalah akhlak. Ketika anda mengambil apapun yang ada di kebun kelapa sawit tadi, tidak melalui pewarisnya anda akan salah. Begitu juga ketika anda (dan) kita memahami Al-Quran tidak melalui Ulama’. Ini akan menjadikan berakibat sesuatu yang fatal.
Sahabat mading.id yang dimuliakan oleh Allah, etika-etika semacam ini yang harus kita jaga. Saya katakan satu hal, misalnya anda menemukan ayat dalam Al-Quran:
أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
لَا تَقْرَبُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنتُمْ سُكَٰرَىٰ
Jangan kalian mendekati shalat, ketika kalian dalam keadaan mabuk.
Anda tidak tau sama sekali tafsir dari pada ayat ini, bagaimana Ulama’ mengambil intisari dari pada ayat ini, anda tidak paham. Anda hanya membaca Al-Quran terjemah, yang anda beli 30 ribu di pasar atau di toko buku. Kemudian anda menyimpulkan ayat itu, kemudian anda pidato mengatakan ayat itu dengan tafsir anda.
Misalnya, kalau begitu boleh kita mabuk setelah Isya’, nanti habis shubuh kan sudah sadar. Ini fatal karena anda tidak tau bahwa ayat itu kandungan hukumnya sudah di-nash (dihapus) atau sudah ditangguhkan dengan ayat sesudahnya.
Karena ayat tentang khamr ini turun empat kali. Mulai dari yang pertama sampai ayat yang terakhir.
Nah ini hanya sebagian contoh bahwa kita tidak mudah berbicara dengan Al-Quran dan Hadits dengan isi kepala kita sendiri.
Maqom kita atau tempat kita adalah belajar dengan Ulama’. Ini sesuatu yang penting dan itu diancam dalam sebuah Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa “man qoola fi al-Quran bi ro’yih, fa ashoba faqod akhtho’a”. Barang siapa mengatakan, manafsirkan Al-Quran dengan akal pribadinya, walaupun (tafsiran itu) benar, (perbuatan itu) tetap salah. Karena ada fase-fase yang harus dilewati.
Bagaimana Al-Quran menafsirkan dengan Al-Qurannya sendiri. Seperti lailatul mubarokah ditafsirkan dengan inna anzalnahu fi lailatul qadri. Bahwa Al-Quran turun di lailatul mubarokah. Lailatul Mubarokah yang bagaimana? Iya lailatul qadar. Dan lain sebagainya.
Kemudian ada fase-fase yang lain melalui Hadits Nabi, Qoul Sahabat, setelah itu baru kita menafsirkan dengan ikhtiyat (hati-hati) dan ulama’ dalam berikhtiyat seperti As-Suyuti mengatakan seorang ulama ketika menafsirkan harus kira-kira menguasai lima belas (15) jenis keilmuan. Maka berhati-hatilah dalam memahami Al-Quran. Cari guru yang terbaik, ulama’-ulama’ yang bersanad dan menyambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sekian, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.