Subak di Bali: Mati Segan, Hidup Tak Mau

1169
Source: toursandtravel.app
Oleh: Wayan Pariawan

Sistem subak di Bali dibangun tahun 1071 — sekitar 400 tahun setelah sistem pertanian dikembangkan. Pengaruh raja-raja di Bali sangat signifikan, di antaranya, dengan memberikan subsidi bebas pajak jika petani tegalan mau beralih ke sistem sawah beririgasi. Raja memberikan izin kepada petani untuk mengempang sungai kalau ingin membuat sawah. Selain menghasilkan produksi pertanian, subak juga mampu menghasilkan artefak sawah yang indah bertingkat-tingkat, yang disesuaikan dengan kontur lahan yang ada di kawasan itu. Aktivitas itu tidak saja bermanfaat untuk mencegah erosi dan manahan kesuburan tanah, tetapi juga bermanfaat untuk menampilkan pemandangan alam yang sangat indah dan magis.

Eksistensi subak sangat tergantung pada keberadaan sawah dan air. Kondisi sawah dan air di Bali amat mengerikan kini. Air semakin kritis, lahan sawah terkonversi (beralih-fungsi) secara sporadis. Tiap tahun, lebih dari 750 hektar lahan sawah berubah fungsi ke nonpertanian. Kini sawah di Bali hanya tinggal sekitar 83.000 hektar. Jika alih-fungsi ini tak terbendung, sawah pasti habis di Bali. Jika sawah habis, subak pun musnah. Jika ini terjadi, peradaban di Bali berubah atau mengalami transformasi.

Subak merupakan wadah sinergi antara sistem kebudayaan dan sistem teknologi, yang selanjutnya melahirkan sistem peradaban. Itu sebabnya, jika sistem subak lenyap di Bali, transfomasi peradaban pun tak terelakan. Pertanyaannya sekarang, dampak apa yang bakal muncul jika hal itu terjadi? Mungkin saja eksistensi Bali sebagai destinasi pariwisata akan musnah juga. Keberadaan subak di Bali sudah mengalami pengikisan dan kemunduran. Bahkan kesadaran masyarakat akan pentingnya subak sebagai aset budaya mulai luntur seiring makin kompleksnya problematika pertanian di Bali. Subak sudah mulai mengikis dan bahkan mulai menghilang di pulau dewata ini.

Hal ini bukan sebuah isapan jempol belaka. Kita sudah mulai melihat indikatornya. Pertama, sawah makin sempit dan masyarakat sudah sangat mengkhawatirkan kondisi ini. Kalau masyarakat lokal sudah prihatin, jangan harap orang asing dapat menerima keadaan ini. Ekologi dasar dari kegiatan pariwisata mengamanatkan agar masyarakat lokal yang lebih dulu mencintai dan memproteksi aset yang dimiliki, dan wisatawan asing akan ikut datang untuk melihatnya.

Keadaan sektor pertanian dan subak di Bali kini tak ubahnya pohon sirih yang mililit di atas batu kering. Hidup segan, mati pun tak mau. Begitulah analogi sektor pertanian dan subak di Bali. Orang mau bertani hanya karena tak ada pekerjaan lain di sekitarnya. Kalau ada, mereka pun tak segan-segan meninggalkan sektor pertanian yang tidak menguntungkan. Petani juga bekerja asal-asalan saja sehingga produksi terus menurun. Petani sudah tak menginginkan anak-anaknya jadi petani; dan sikap hedonisme pun merambah kuat seirama dengan glamor pariwisata dan arus global yang dahsyat.

Sinergi dan Awig-Awig

Jika ada sinergi dari pemerintah provinsi dan desa pekraman, maka hal ini bisa diatasi. Sinergi yang diharapkan adalah adanya kerjasama dan kepedulian yang khusus dari pemerintah provinsi dan pihak desa adat. Pemerintah bisa mengeluarkan sebuah peraturan daerah yang memungkinkan lahan hijau dan persawahan yang ada di Bali tidak bisa dialihfungsikan. Apabila hal ini bisa dilaksanaka, sawah dan subak di Bali akan terus eksis.

Kita semua menyadari bahwa masyarakat Bali sangat menjunjung tinggi awig-awig. Dengan mengetahui hal tersebut, sudah semestinya pemerintah daerah mampu memaksimalkan peran awig-awig dalam masyarakat untuk meminimalisir terjadinya alih fungsi lahan.

Namun demikian, hal ini sepertinya sulit terlaksana. Mengingat kebijakan pemerintah daerah yang masih melihat sebelah mata terhadap sektor pertanian. Kecenderungan pemerintah daerah hanya akan melirik sektor pertanian, jika sektor pariwisata mulai mengalami masalah atau dalam keadaan krisis. Pemerintah daerah juga masih terkesan setengah-setengah untuk meningkatkan dan mengembangkan sektor pertanian.

Sementara itu, kalangan legislatif, LSM, dan elite politik lainnya tampaknya enggan menyentuh dan mengurus sektor pertanian (dan subak). Hal ini tentu saja sangat manusiawi, karena kini politik telah kembali menjadi panglima pemikiran masyarakat. Dengan demikian arus pikir masyarakat, semuanya sibuk mengurus politik, dan dari politiklah mereka mencari hidup. Suasana ini tercermin dalam kampanye pemilu yang baru berlalu. Nyaris tak ada jurkam parpol yang secara intens membela sektor pertanian dan sistem subak di Bali. Hal ini berarti bahwa nyaris semua parpol tak ada misi untuk membangun sektor pertanian kita, yang memiliki implikasi terhadap perkuatan subak, keberlanjutan pariwisata, dan budaya Bali.

Kedua, mahalnya pajak bumi dan bangunan yang harus dipikul oleh masyarakat. Beban pajak yang dipikul oleh petani selama ini dirasakan sangat membebani petani yang notabene masyarakat kalangan menengah ke bawah. Jangankan memperoleh keuntungan dari hasil pertanian, masyarakat kita malah harus terbelit utang untuk membayar pajak bumi dan bangunan. Jangan salahkan jika masyarakat kita menjual lahan pertaniannya kepada investor atau pengembang. Mereka beramai-ramai menjual dan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi perumahan atau pusat perbelanjaan dan hiburan. Semua ini mereka lakukan dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih layak.

Perda Perpajakan

Bali sebagai salah satu tujuan pariwisata utama di Indonesia seharusnya memiliki berbagai peraturan daerah yang mendukung dan melindungi asset-aset serta kebudayaan yang mendukungnya. Salah satu perda yang perlu diperhitungkan adalah perda mengenai perpajakan. Hal ini sangat penting mengingat subak sebagai salah satu unsur kebudayaan di Bali eksistensinya dewasa ini semakin terancam. Ancaman tersebut bukan isapan jempol belaka, sebab masyarakat kita masih berpikiran untuk menjual lahan pertaniannya karena pajak yang tinggi.

Perda perpajakan yang ada, mesti mampu mengakomodir berbagai keluhan dan penderitaan petani di Bali. Perda tersebut harus mengatur besaran biaya yang dikenakan kepada petani. Jika hal ini dilakukan, diharapkan ada kemudahan dan keringanan bagi petani untuk membayar pajak. Karena selama ini petani berpikir bahwa pajak yang besar akan mencekik leher petani kita yang hidup pas-pasan.

Perda perpajakan yang diharapkan oleh masyarakat sepertinya bakal sulit terbentuk. Ini mengingat semakin kompleksnya permasalahan yang muncul di Bali. Pihak legeslatif dan eksekutif cenderung lebih bersemangat membahas permasalahan pengembangan pariwisata serta investor yang datang, sehingga penanganan terhadap masalah pertanian sulit dilakukan.

Ketiga, eksistensi subak sangat tergantung dari ketersediaan air dan sawah, serta aktivitas di sektor pertanian. Kalau sektor pertanian tersisihkan, tidak ada masyarakat yang ingin bertani (atau bertani secara acak-acakan), dan tidak ada komitmen yang nyata dari pemerintah yang tercermin dalam anggaran APBN dan APBD, maka eksistensi subak di Bali akan terancam.

Keempat, eksistensi subak sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategisnya. Lingkungan strategisnya kini sudah sangat berubah. Lingkungan sosialnya bukan lagi lingkungan masyarakat agraris, namun masyarakat industri dan jasa. Lingkungan pola pikirnya bukan lagi pola pikir yang menginginkan harmoni dan kebersamaan, namun pola pikir yang mengedepankan efisiensi dan produktivitas. Lingkungan artefak/kebendaannya tak ingin lagi mengembangkan sektor pertanian sebagai ujung tombak pembangunan, namun telah digeser ke sektor lain.

Oleh karena lingkungan strategisnya sudah sangat berubah, dan sistem subak di Bali tidak dipersiapkan atau tidak diberdayakan untuk menghadapi pengaruh lingkungannya yang baru, maka kini sistem subak di Bali (dan juga sistem pertaniannya) sudah dalam keadaan mati suri. Atau, meskipun telah dipersiapkan sebuah keputusan politik untuk memberdayakan subak, dalam praktiknya pihak pemerintah tidak pernah melaksanakan dengan optimal.

Kalau pada suatu saat nanti subak di Bali hilang seirama dengan hilangnya sektor pertanian, maka ini adalah kehilangan aset budaya yang besar bagi dunia dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu irigasi. Bali tak lagi memiliki aset budaya yang mampu menarik minat wisatawan untuk datang dan menikmati keindahan Pulau Dewata ini.