Spiritualisme Pancasila dan Internalisasi Tasawuf

639
spiritualisme Pancasila dan Internalisasi Tasawuf
Photo by Visual Karsa on Unsplash

Tahun ini, 76 tahun telah berlalu sejak Pancasila dilahirkan pada 1 Juni 1945 dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Meski demikian, nilai-nilai Pancasila sejatinya merupakan refleksi dari jati diri bangsa Indonesia yang mengakar semenjak pra kemerdekaan.

Adalah Mpu Prapanca melalui karya tulisnya yakni Nagarakartagama, yang memuat unsur-unsur Pancasila meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, tata pemerintahan, dan keadilan sosial.

Meski pada hakikatnya Pancasila merupakan ideologi dasar negara, namun ia juga berfungsi sebagai pandangan hidup (way of life), perjanjian luhur yang mempersatukan bangsa Indonesia, serta mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka sudah sepatutnya sebagai anak bangsa untuk selalu menjunjung tinggi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Badai Menerpa Pancasila

Meski sudah 76 tahun, hingga kini Pancasila acap kali diterpa badai yang berpotensi memecah belah bangsa. Yang paling serius ialah pandangan sekelompok orang yang menganggap Pancasila tidak sesuai dengan agama Islam, bahkan pandangannya memicu hasrat untuk melengserkan Pancasila dari kursi ideologi negara. Entah karena kedangkalan pemahaman terhadap Pancasila dan Islam, atau karena cara pandang (paradigma) yang berbeda.

Baca juga: Pentingnya Menjaga Identitas Nasional

Pancasila dan Islam akhir-akhir ini dibenturkan oleh sekelompok orang, seolah keduanya sama sekali bertolak belakang. Konsep Khilafah atau NKRI bersyariah ditawarkan sebagai ideologi yang cocok bagi umat muslim di Indonesia menggantikan Pancasila yang dianggap tidak sejalan dengan Islam. Pembenturan ini mengindikasikan pemahaman bahwa Islam tidak dapat berdialog dengan aneka pemikiran, ideologi, atau ragam budaya.

Paradigma di atas sesungguhnya menggambarkan pemahaman Islam dalam arti sempit. Sementara, Azyumardi Azra menyebutkan bahwa Pancasila sebagai landasan negara sangat bersahabat dengan agama-agama yang ada di Indonesia termasuk Islam. Sebab, Pancasila merepresentasikan nilai-nilai yang dikandung oleh agama.

Internalisasi Tasawuf dalam Muatan Pancasila

Pokok ajaran Islam berdasarkan hadits nabi menyebutkan 3 pilar utama, yakni Iman, Islam, dan Ihsan. Pilar yang ketiga dianggap menjadi akar yang menumbuhkan ajaran tasawuf dalam Islam. Tasawuf tidak hanya menyoal kesalehan spiritual dalam pusaran hubungan manusia dan Tuhan melalui praktik ibadah. Tetapi tasawuf juga menjadi sumber pendidikan moral yang inheren dengan pembentukan karakter pancasilais.

Ketuhanan yang Maha Esa, sila pertama ini mengimplikasikan bahwa setiap warga negara Indonesia harus meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sila ini sesungguhnya mengantarkan kepada internalisasi hubungan seorang hamba dengan Tuhan, khususnya apa yang disebut dengan muroqobah dalam pendidikan tasawuf, yakni sikap merasa selalu diawasi oleh Allah SWT.

Melalui pemahaman sila pertama dalam konteks pendidikan tasawuf ini, akan mengantarkan seorang warga negara untuk dapat mengontrol dirinya agar senantiasa mendekatkan diri dengan Allah SWT, menghindarkan diri dari perbuatan tercela, dan membersihkan jiwa dari kotoran hati. Atau dalam istilah lain disebut sebagai proses takhalli, yakni penyucian jiwa dari segala penyakit yang dapat membuat hati menjadi gelap gulita.

Baca juga: Pancasila Sebagai Kalimatun Sawaa’

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila kedua mengandung nilai pentingnya menjaga harmonitas hubungan sesama anak bangsa melalui sikap kemanusiaan saling menghormati, menyayangi, tolong-menolong, dan saling mencintai.

Menariknya, sila kedua mengajarkan bahwa hubungan kemanusiaan harus didasarkan pada sikap adil dan beradab. Hal ini mengingatkan kita pada sebuah petuah Syekh Abdul Qodir al-Jailani yang menyebutkan:

إِيَّاكُمْ أَنْ تُحِبُّوْا أَحَدًا أَوْ تَكْرَهُوْهُ إِلَّا بَعْدَ عُرْضِ أَفْعَالِهِ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ كَيْلَا تُحِبُّوْهُ بِالْهَوَى وَتَبْغَضُوْهُ بِالْهَوَى

”Janganlah kamu mencintai atau membenci sesuatu, kecuali setelah kamu takar perbuatannya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Agar kecintaan atau kebencianmu itu bukan semata karena mengikuti hawa nafsu”

Persatuan Indonesia, sila ketiga selaras dengan prinsip hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air merupakan bagian dari iman. Kecintaan terhadap tanah air seharusnya dimaknai sebagai aktualisasi diri sebagai khalifah fil ardh yang ditugasi untuk menjaga tanah air, memanfaatkan kekayaan alam dengan baik dan benar untuk masyarakat luas, serta mensyukuri segala nikmat yang Allah karuniakan.

Sila ketiga sejatinya juga merupakan internalisasi dari ajaran untuk menjaga hubungan dengan sesama (ukhuwah). Menjaga persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa selaras dengan apa yang Allah firmankan dalam al-Qur’an.

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS al-Hujurat [49]: 10-11)

Sila keempat yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan memuat tiga ajaran akhlak tasawuf. Pertama ialah sikap itsar, yakni mengutamakan kepentingan orang lain atau kepentingan umum dibanding kepentingan sendiri.

Kedua sikap qana’ah, yakni menerima apa yang telah disepakati bersama. Ketiga adalah sikap tawakal, yakni menyerahkan segala putusan kepada Allah SWT setelah melakukan usaha semaksimal mungkin.

Sila kedua, ketiga, keempat merupakan sebuah internalisasi dari proses tahalli, atau proses memperindah diri dengan membangun karakter yang baik setelah prosesi membersihkan diri dari bebragai kotoran hati.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sila kelima merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang hamba yang telah menempuh proses takhalli dan tahalli. Artinya, setiap manusia akan memancarkan sikap adil dan menebar kebaikan kepada siapa saja.

Sebab yang menjadi titik fokus baginya bukanlah objek sekitar, melainkan penyambungan diri dengan Allah SWT sebagai Tuhan seluruh alam. Ini menunjukkan bahwa sila kelima merupakan manifestasi dari proses tajalli seorang hamba, atau ketersambungan diri dengan dimensi Tuhan.

Internalisasi tasawuf dalam muatan pancasila sesungguhnya menjadi bukti bahwa meski Indonesia bukan negara agama, tetapi memiliki ideologi yang bernafaskan agama. Religiusitas keislaman telah merasuk ke dalam jiwa Pancasila yang dibuktikan melalui akhlak-akhlak tasawuf di dalam muatannya.

Kesimpulannya, Pancasila sakti bukan hanya karena ia dipertahankan oleh seluruh anak bangsa, tetapi Pancasila sakti juga karena memang ia memuat berbagai pelajaran, pandangan hidup, tujuan, dan tuntunan kehidupan yang “sakti”.

Penulis: Rizki Fathul Huda, M.A
(Awardee Beasiswa Doktoral UIN Jakarta – PMLD Kemenag)