Kita tentu sering bertemu dengan toxic people di lingkungan sosial kita, yakni orang-orang yang tampak baik dan kadang culun, tapi sebenarnya beracun. Menjadi hal yang mudah untuk menghindar dari toxic people, apabila pelakunya adalah orang di luar keluarga kita.
Lalu bagaimana jika toxic people tersebut adalah bagian dari hidup kita? Orang tua, mertua atau saudara?
Toxic People dan Dilema yang Akan Dihadapi
Sebagian orang menyarankan untuk tidak usah tinggal dengan mereka, kalau belum punya rumah, ya ngontrak, lah! Tapi sayangnya itu juga bukan solusi yang mudah untuk dilakukan, terutama jika kamu adalah anak tunggal, korban broken home dan kamu hidup bersama seorang ibu yang toxic.
Iya, ibu yang katanya di bawah telapak kakinya Tuhan letakkan surga tapi nyatanya justru menjadi neraka dalam hidupmu. Karenanya, tetap tinggal bersama ibu yang seperti itu adalah pilihan yang sangat sulit, sebab setiap hari kamu harus mau menelan racun.
Jika kamu memilih untuk menjauh dari ibu, orang lain akan mudah mencap kamu sebagai anak yang menterlantarkan orang tua satu-satunya. Ada istilah Jawa berbunyi, “Wong tua iku Gusti Allah kang katon” (orang tua adalah Tuhan yang tampak). Ngeri, bukan?
Jika semua orang tua (termasuk orang tua toxic) dianggap perwujudan dari Tuhan, maka Tuhan yang mana yang tega membentak, memaki, memukul, menghina dan melakukan semua perlakuan buruk yang menyisakan trauma psikis kepada anaknya?
Banyak Akibat yang Akan Timbul
Ajaran semacam ini membuat pikiran kita kadang terbelenggu dan tidak berani mengoreksi kesalahan orang tua, yang terjadi akhirnya hanya memendam emosi buruk, amarah yang terus menumpuk dalam alam bawah sadar.
Di situlah racun menjalari mental hingga rusak, banyak akibat yang timbul. Depresi, kekhawatiran berlebihan, mood swing, merasa rendah diri, dendam, fisik sakit-sakitan dan lain sebagainya.
Artikel terkait Keluarga, lihat 5 Manfaat Traveling Bersama Keluarga.
Belum lagi ketika kamu adalah perempuan dengan anak balita lebih dari satu, yang rawan sekali dihampiri oleh rasa kelelahan berlebihan.
Raga yang lelah, seringkali membuat pikiran juga lelah dan mudah sekali tersulut amarahnya. Kalau sudah begitu, tantangan terbesarmu adalah memutus mata rantai racun yang selama ini sudah terserap dan tersimpan rapat dalam alam bawah sadar. Karena saat “badai” itu datang, yang kamu lakukan adalah di luar kontrol.
Arusnya begitu kuat untuk dilawan, yang terjadi adalah memukul, membentak, melakukan kekerasan verbal, kekerasan fisik, atau meng-copy-paste perlakuan buruk yang pernah kamu terima kepada anak-anakmu, atau bahkan pada level tertentu, orang bisa mengamuk sejadi jadinya.
Selalu Ada Solusi dibalik Masalah
Sialnya, di negara kita ini masih banyak anggapan bahwa orang dengan gangguan mental adalah orang gila. Sehingga banyak orang yang menderita gangguan mental takut bersuara, enggan mencari pertolongan.
Apa orang dengan gangguan mental itu karena kurang iman? tidak. Apa orang seperti itu disebut kurang pandai bersyukur? belum tentu. Lalu apa yg harus dilakukan apabila sudah terlanjur sakit karena “racun” dari orang terdekatmu? Ambillah napas sedalam yang kamu mampu, lepaskan.
Seketika akan terasa sedikit rileks, lalu menjauhlah dadi sumber racun dan anak-anak. Menangis jika memang diperlukan, ketika timbul pikiran untuk menyakiti diri sendiri, tepislah sebisa mungkin. Lampiaskan dengan meremas kain, atau menggigit kain sekuat kamu bisa.
Carilah bantuan ahli, psikiater, psikolog atau siapapun yang bisa membuat pikiran tenang. Memang tidak semudah mengetik atau membaca artikel ini, untuk sembuh dari luka itu. Entah harus hitungan bulan atau tahun, atau bahkan harus mengandalkan obat. Tapi tetaplah kuat, demi orang-orang yang kita cintai.
Meningkatkan Spiritualitas
Demi anak-anak kita, agar menjadi generasi yang sehat jiwa dan raganya. Jangan takut “berbicara”, jangan takut dicap umbar aib, jangan takut dicap lemah iman atau tak pandai bersyukur. Ceritakan masalah yang kamu hadapi, mintalah obat jika memang dibutuhkan.
Perlahan, belajar memaafkan masa lalu, sebab sesakit dan sepahit apapun itu, semua sudah berlalu, dan kamu sudah melaluinya dengan hebat. Sisanya, kamu berhak dicintai dan menjadi sosok yang penuh cinta bagi orang-orang di sekelilingmu. Dekatkan diri dengan Tuhan, apapun agamamu.
Mendekatkan diri dengan Tuhan bisa membuat jiwa kita lebih tenang. Yang terakhir, lakukan hal-hal yang kamu senangi, trust me, it works! Ingat, ya, diri kita berharga, berhak dicintai serta terbebas dari energi buruk yang tidak bermanfaat.
Salam cinta dari saya yang masih berjuang menyembuhkan mental saya sendiri.
Penulis: Bekti setiyaningsih
(Ibu dari Dua Anak Laki-Laki Hebat)