Sudah hampir dua tahun siswa di Indonesia terpaksa belajar di rumah, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim meminta pembelajaran tatap muka (PTM) kembali dilaksanakan di daerah dengan Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1, 2, 3, bisa melaksanakan PTM.
Kebijakan ini berdasarkan analisis dari berbagai penelitian sebelumnya, misalnya menjelasakan bagaimana belajar dari rumah yang timpang dan tidak efektif membuat banyak pelajar kehilangan kemampuan membaca setara dengan 6 bulan proses pembelajaran serta berpotensi menghapus bonus demografi dan mengurangi pendapatan anak di masa depan.
Artinya, dari sini kita mendapat tugas darurat yang utamanya harus dilakukan oleh sekolah dan guru saat kembali menjalankan pembelajaran tatap muka, yakni memulihkan hasil belajar siswa.
Risiko Menjalankan PTM Tanpa Memulihkan Hasil Belajar.
Akibat efektivitas belajar dirumah yang berbeda-beda terutama antara murid kaya dan miskin kemampuan siswa akan menjadi jauh lebih beragam dibandingkan dengan sebelum pandemi. Ini mempengaruhi kemampuan murid dalam mengikuti pembelajaran saat kembali masuk tatap muka sekolah.
Pada dasarnya siswa yang selama pandemi kesulitan menguasai materi ajar dijenjang sebelumnya, misalnya, akan kesulitan memahami berbagai materi ajar baru dengan syarat pemahaman materi pada level dibawahnya.
Baca juga: Upgrading Profesionalitas Guru Madrasah Sebagai Murobbi
Padahal, riset sebelumnya dari penelitian SMERU menemukan bahwa pada tahun 2014, hanya sekitar 35% siswa kelas 12 yang mampu menjawab pertanyaan matematika untuk kelas 5 – tujuh level di bawah jenjang mereka. Hal ini kemungkinan menjadi makin parah selama pandemi.
Tanpa upaya khusus dari sekolah untuk menyikapi kesenjangan ini, penurunan kemampuan siswa dan ketimpangan hasil belajar akan semakin memburuk seiring dengan naiknya jenjang pendidikan siswa.
Sekolah dan guru perlu melakukan tiga langkah darurat dari hasil riset yang bisa digunakan sekolah dan guru untuk memulihkan hasil belajar siswa saat kembali tatap muka disekolah.
Petama, Segara ukur kembali kemampuan siswa
Saat siswa kembali tatap muka di sekolah, lembaga pendidikan perlu segera melakukan asesmen diagnostik. Apa itu asesemen diagnostik? Ini perupakan pemetaan kemampuan belajar siswa yang berbeda-beda- terutama pada minggu-minggu pertama ketika sekolah dibuka kembali.
Asesmen diagnostik ini dapat berwujud beberapa soal yang menguji materi penting yang telah dipelajari atau seharusnya sudah dipahami siswa, agar mereka dapat memahami materi yang akan diajarkan selanjutnya. Kemudian dari hasil asesmen ini guru dapat menggunakanya untuk melakukan pendampingan dan memberi antuan lebih lanjut kepada siswa yang membutuhkan.
Dinas pendidikan California di Amerika Serikat, misalnya, mendorong sekolah di daerah tersebut untuk menerapkan sejumlah asesmen diagnostik via komputer. Rangkaian asesmen ini mengukur apa saja kekurangan akademik setiap siswa dibidang matematika, bahasa, dan sains, dan merekomendasikan materi apa yang harus dipelajari berikutnya.
Kedua, kelompokan siswa berdasarkan capaian mereka
Informasi yang diperoleh dari hasil asesmen diagnostik juga dapat digunakan guru untuk merancang pengajaran dengan pendekatan yang dibedakan (differentiated teaching).
Di sini, siswa dengan kemampuan yang sama terlebih dahulu dikelompokan ke dalam beberapa kelompok kecil. Strategi pembelajaran kemudia disesuaikan dengan tingkat pembelajaran siswa di setiap kelompok.
Misalnya, kelompok yang berisi siswa dengan nilai asesmen di atas rata-rata kelas dapat diberi pengajaran normal.
Sementara itu, kelompok dengan siswa bernilai di bawah rata-rata yang kemungkinan mengalami ketertinggalan selama pandemi perku diberi upaya lebih melalui pengajaran kembali materi-materi yang belum dipahami untuk mengejar ketertinggalanya.
Di luar praktik pengelompokkan ini, pada jam sekolah biasa, siswa pada kelompok bawah tetap dapat mengikuti pembelajaran bersama dengan siswa kelompok lainnya dan berkontribusi sesuai kemampuanya.
Studi di Kenya menemukan bahwa, pengajaran dalam kelompok-kelompok yang dibagi berdasarkan kekampuan awal siswa, mampu meningkatkan capaian matematika dan bahasa mereka secera signifikan.
Ketiga, Pantau Terus Perkembangan Tiap Kelompok Siswa
Selama pengajaran berjalan, guru sebaiknya melakukan pengukuran dan evaluasi berkala terhadap siswa sepanjang tahun ajaran untuk memantau perkembangan mereka. Jika siswa menunjukan kemajuan belajar yang signifikan, siswa dapat lanjut mempelajari materi baru atau dipindahkan ke kelompok belajar yang lebih tinggi.
Untuk memperlancar proses ini, guru juga sebaiknya fokus pada mendorong kemajuan hasil belajar siswa dari satu titik waktu ke titik waktu lainnya (atau seiring disebut asesmen informatif).
Kurikulum atau bahan ajar pun perlu disederhanakan supaya guru dapat fokus memantau pemulihan kemampuan siswa tersebut. Misalnya, untuk sementara, guru dapat diminta fokus saja pada pemulihan keterampilan dasar seperti literasi dan numerasi, serta materi-materi lain yang belum dikuasai siswa sesuai hasil asesmen diagnostik.
Apabila ini tidak dilakukan, alih-alih menutup ketertinggalan belajr siswa, guru akan kembali terjebak praktik biasa yakni menguji siswa untuk sekedar berlomba-lomba mencapai target kurikulum.
Guru Perlu Dukungan Penuh Sekolah untuk Pulihkan Hasil Belajar Siswa
Rangkaian praktik langkah darurat diatas ternyata telah terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar terutama bagi anak berkemampuan rendah dampak dari pembelajar daring. Studi yang dilakukan di India dan Afrika menunjukan bahwa praktik tida langkah tersebut – yang dalam riset disebut sebagai Teaching at the Right Level atau TaRL (Mengajar di Level Yang Tepat) – berdampak positif pada upaya siswa kemampuan rendah untuk lebih cepat mengejar keteringgalannya.
Meskipun demikan, praktik TaRL di dua negara tersebut menunjukan bahwa upaya memulihkan hasil belajar siswa membutuhkan beberapa persiapan – tidak cukup hanya dengan memberi pelatihan pada guru.
Pada intinya guru memerlukan bantuan untuk memahami cara menggunakan hasil asesmen dalam merancang pembelajaran dan penduan yang jelas bagaimana memantau perkembangan siswa antar kelompok. Namun, yang paling penting adalah dukungan penuh dari sekolah untuk fokus melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan siswa, bukan pada pencapaiaan target kurikulum.
Penulis: Mukhammad Khasan Sumahadi
(Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)