Ruang Berbeda Antara Seniman dan Ilmuwan
“In art, nothing worth doing can be done without genius; in science, even a moderate capacity can contribute to supreme achievement” — Bertrand Russell
Sebagai seorang filsuf dan matematikawan terkemuka, penghargaan Bertrand Russell terhadap seni sebagaimana kutipan di atas nampak berlebihan. Meskipun penilaian Russell dalam beberapa hal mungkin ada benarnya, namun penilaian tersebut mengundang sejumlah pertanyaan penting dan, oleh karena itu, patut mendapat beberapa komentar. Apakah seni (art) dan ilmu pengetahuan (science) merupakan dua bidang yang berbeda dan terpisah sama sekali? Apakah seniman (artist) dan ilmuan (scientist) hidup dalam ruang yang berbeda dan tak saling berhubungan?
Para ilmuwan dan seniman umumnya menganggap diri mereka sangat berbeda satu sama lain. Hipotesis “otak kiri (left brain) versus otak kanan (right brain)” memperkuat asumsi ini. Hipotesis ini menyiratkan bahwa para ilmuwan, yang cara kerjanya terutama bersifat logis dan analitis, cenderung menggunakan otak kiri; sementara otak kanan, yang merupakan singgasana intuisi dan imajinasi, lebih berkembang pada seniman. Polarisasi ini telah menimbulkan stereotip umum bahwa ilmuwan cenderung kaku dan kurang artistik, sementara seniman sering dianggap lentur dan kurang rasional.
Georges Braque, seorang seniman-pelukis kubisme asal Perancis, pernah menyatakan: “seni membangkitkan, sementara sains meyakinkan.” Ilmu pengetahuan, yang berusaha mencapai objektivitas dan pengakuan kolektif, mencoba untuk menghilangkan ambiguitas, sementara seni menerima dan bahkan menekankan ambiguitas sebagai hal yang tak terelakkan dalam dunia pengalaman subjektif.
Artikel lain tentang Seniman, lihat Ziryab Sang Maestro Musik Andalusia
Fenomena Seniman dan Ilmuwan Saat Ini
Saat ini, kebanyakan seniman dan ilmuwan cenderung hidup di ruang sosial-ekonomi yang berbeda. Namun fenomena ini tidak selalu terjadi dalam sejarah. Pada zaman kuno, seniman memiliki status sosial-ekonomi seperti ilmuan saat ini. Petunjuk tentang status sosial seniman pada zaman kuno ini terekam, antara lain, dalam Kode Hammurabi (sekitar 1750 SM), salah satu kode hukum tertua yang tertulis dalam sejarah.
Arsitek dan pematung dianggap sama dengan tukang daging dan pekerja logam, yang fungsinya terkait erat dengan praktik ritual. Pengetahuan dan seni—arsitektur, pahatan dan lukisan—berada di bawah wewenang para pendeta. Tugas utama seniman, yang namanya tidak tercatat, adalah menguasai dan mengolah bahan-bahan dengan cara yang ditentukan secara ketat.
Dalam tradisi Yunani Kuno, konsep kreativitas dalam pengertian kontemporer merupakan paradigma asing dan tidak dikenal, karena bagi orang Yunani Kuno, seni (arts) dan kerajinan (crafts) dipahami secara sinonim dan identik. Pada masa itu, kekuatan penggerak bagi ekspresi diri (self-expression) disebut sebagai “teknik” (techne).
Menurut Aristoteles, “Sifat semua teknik adalah memahami asal usul sebuah karya seni, meneliti teknik dan teori di baliknya, menemukan asas-asasnya pada orang yang menciptakannya, dan bukan dalam penciptaan itu sendiri.” Awalnya, “teknik” tidak hanya menunjuk pada metode pembuatan (methods of fabrication); tetapi juga membawa konotasi simbolis dan spiritual. Kecenderungan ini terus berlangsung hingga Abad Pertengahan.
Dampak Perkembangan Industri dan Ekonomi
Namun ketika fajar pencerahan dan gelombang modernitas melambung ke cakrawala sejarah, para ilmuan cenderung mengabaikan seni dan meninggalkannya di tepian. Untuk menjelaskan cara kerja alam semesta, para ilmuwan semakin menyukai konsep mekanis, meninggalkan dimensi emosional pada bidang seni. Semakin banyak ilmu pengetahuan berkembang, semakin banyak seniman memberontak menentangnya. Revolusi Prancis menghancurkan patronase artistik, dipicu oleh penemuan teknis seperti percetakan dan fotografi. Ilustrator, yang hingga saat itu menjadi pencatat penting momen-momen bersejarah, tiba-tiba merasa terancam. Tugasnya digantikan oleh mesin!
Perkembangan ilmiah sangat bergantung pada industri dan ekonomi, dan karenanya sangat terkait dengan kekuasaan. Sejak saat itu, sains memainkan peran sentral dalam masyarakat dan para peneliti akhirnya menjadi profesional bayaran. Sementara itu, karena seniman tidak lagi dibutuhkan untuk mewakili kenyataan, banyak di antara mereka tanpa sadar berupaya membangun kembali hubungan konseptual dengan sains.
Meskipun peran utama mereka sebagai penjaga “hati nurani masyarakat”, beberapa seniman saat ini telah mencapai status sosial para ilmuwan. Imbalan para seniman seringkali tidak dapat diprediksi, sementara para ilmuwan umumnya menerima gaji. Tentu saja, meskipun pasar kadang-kadang mendorong seorang seniman untuk mencapai ketenaran dan kekayaan yang tak terbayangkan, tetapi secara umum jumlahnya sangat sedikit. Namun seniman tetap menikmati hak istimewa yang berharga: “kebebasan relatif dalam penciptaan.”
Timbulnya Gejala Universal
Kecenderungan untuk memisahkan seni dan sains dalam dunia modern pada dasarnya bukan merupakan gejala universal. Banyak seniman tertarik pada sains dan merupakan ilmuwan dalam bidang seni. Sebaliknya, banyak pula ilmuan yang tertarik pada seni dan memiliki bakat yang mumpuni dalam bidang seni. Namun sebagian besar hanya berfokus pada satu domain saja, sementara minat mereka terhadap yang lain bersifat sekunder. Kendala waktu dan hambatan teknis menjelaskan pilihan seperti itu. Selain itu, seseorang tidak dapat meremehkan perbedaan antara minat dan bakat nyata—minat saja tidak berarti menghasilkan kinerja yang signifikan.
Sebagian besar pencipta benar-benar berkomitmen terhadap tugas mereka. Apapun sifat keterampilan mereka, mereka yang berhasil menerapkan visi inovatif tentang dunia seringkali menikmati karir yang sangat produktif. Terlepas dari komitmen mereka terhadap bidang pilihan mereka, seniman seperti Leonardo da Vinci dan Albrecht Dürer juga merupakan ilmuwan yang berbakat (gifted scientists). Sebaliknya, ilmuwan seperti Nikolaus Copernicus dan Louis Pasteur adalah seniman berbakat (talented artists). Hubungan semacam itu hampir tidak terbatas pada seni visual. Jumlah matematikawan musisi bahkan lebih mencolok, seperti Leonhard Euler, Albert Schweitzer and Albert Einstein.
Seni dan sains pada dasarnya sama-sama mengembangkan konsep inovatif, seringkali menggunakan subjek yang sama untuk tujuan yang sama. Melahirkan ide dan bentuk adalah apa yang membuat seorang menjadi seniman atau ilmuwan. Meneliti kosmos, memeriksa alam atau mempelajari otak, adalah eksplorasi yang umum bagi keduanya. Mengikuti jalan paralel, seni dan sains dalam banyak hal saling berhubungan. Lukisan kubis, dalam beberapa hal, dapat dikatakan mengantisipasi teori relativitas. Dalam arsitektur dan seni pertunjukan, sains dan teknologi seringkali bekerja sebagai katalisator.
Seni dan Sains, Keren Mana?
Mana yang terdepan dan lebih keren, seni atau sains, adalah pertanyaan yang tidak relevan. Paul Valéry, seorang penulis Prancis, menyatakan: “Sains dan seni adalah nama-nama kasar, yang berada dalam oposisi kasar. Sesungguhnya, keduanya tak terpisahkan… Saya tidak dapat dengan jelas melihat perbedaan antara keduanya… saya hanya berurusan dengan karya-karya yang mencerminkan pemikiran.”
Dalam kajian filsafat, seni termasuk ke dalam bidang kajian estetika, sementara ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan logika. Kata “estetika” menunjuk sebuah cabang filsafat yang berkaitan dengan “ilmu keindahan”, sementara kata “logika” merujuk pada cabang filsafat yang berkaitan dengan “ilmu penalaran”. Estetika lebih bertautan dengan “keindahan” (beauty), sementara logika lebih bertalian dengan “ketertiban” (discipline).
Meskipun kedua bidang ini nampak berbeda, keindahan dan ketertiban penting bagi para seniman dan ilmuwan—yang terakhir ini kadang mengakui bahwa penalaran logis kadang-kadang terlalu tinggi dan menyebut imajinasi sebagai bagian integral dari proses kreatif mereka. Teori ilmiah mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk dikembangkan, dan selama jangka waktu itu, pertimbangan estetika memainkan peran utama.
Kepuasan Dalam Perenungan Estetika
Banyak ilmuwan menemukan kepuasan terbesar mereka dalam perenungan estetika dan menggambarkan penelitian mereka sebagai pencarian keindahan. Karya-karya seperti Physics Aristoteles atau Optics Newton memiliki daya pikat yang kuat pertama-tama dan terutama karena keanggunan logikanya. Beberapa seniman paling terkenal, di sisi lain, seringkali menempatkan disiplin dan metode di atas pertimbangan estetika.
J.S. Bach, seorang komposer brilian, menganggap dirinya sebagai pengrajin (craftsman) dan dilaporkan berkata: “Saya harus bekerja sangat keras; Siapapun yang bekerja keras akan memperoleh hasil luar biasa.” Keindahan tampaknya bukan satu-satunya tujuan musiknya, yang seringkali dianggap sebagai “matematika ilahi” (divine mathematics). Pendekatan Igor Stravinsky terhadap musik juga sangat seksama dan terstruktur. Dia menggambarkan pemusik sebagai “seorang pengrajin yang bahan-bahan nada (pitch) dan ritme (rhythm) dalam dirinya sendiri tidak memiliki ekspresi lebih besar daripada balok tukang kayu atau batu tukang permata.”
Menurut ahli kimia Belanda, Jacob van t’Hoff, pemenang pertama Hadiah Nobel dalam bidang Kimia: “Para ilmuwan paling inovatif hampir selalu merupakan seniman, pemusik atau penyair.” Kreativitas mungkin memang bergantung pada kemampuan untuk mengintegrasikan bentuk-bentuk tradisional yang tidak sesuai pengalaman. Tapi ini tidak selalu terjadi: Charles Darwin dan Paul Cézanne, untuk mengutip dua contoh saja, bukan tokoh yang termasuk ke dalam kategori polivalen. Salah satu contoh pemikir polivalen par excellence adalah Albert Einstein.
Penulis: Rahmat Hidayatullah
(Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)