Nama Jalaluddin Rumi dalam lintas sejarah Islam khususnya dalam dunia sufisme, memiliki posisi yang sangat istimewa. Selain sebagai salah satu produk sejarah yang telah memberikan sumbangsih penting dalam perkembangan tradisi keberagamaan Islam, ajaran sufisme Jalaluddin Rumi nyatanya telah juga menjadi acuan utama dalam membangun filsafat moral, di mana sisi etika (ethics) sufisme Rumi dengan sisi-sisinya yang mendalam dan ciri-cirinya yang khas, dianggap telah mampu mengubah berbagai dimensi etik, baik dalam keagamaan, sosial, dan kemanusiaan secara universal.
Baca juga: Empat Kriteria Orang yang Bertakwa dalam Al-Qur’an
Namun demikian, tidak mudah memahami Rumi, terlebih jika kita ingin mengidentifikasikannnya ke dalam dunia tasawuf secara ontologis. Selain faktor jenis ‘media’ yang menjadi perantara ajaran-ajaran Rumi berupa seni dan sastra (syair, prosa, anekdot, tarian, musik) yang berserakan dalam tiap karyanya, kesulitan lainnya adalah Rumi sendiri tidak mendisiplinkan ajaran-ajarannya dalam kitab atau risalah yang sistematis. Chittick (1983, 8) menulis:
Rumi never set out to write an organized textbook on Sufism or to give an exhaustive explanation of some or all of its teachings. Some of his contemporaries even objected to his unsystematic and anecdotal style, asking why there was no mention of “metaphysical discussions and sublime mysteries”.
Many great Sufis of his day wrote erudite and systematic treatises on Sufi lore. But unlike them, Rumi did not “describe and define each station and stage by which the mystical ascends to God”. Rumi answer his detractors in a way that expresses clearly his own role as he perceived it.”
Karenanya dalam hal ini, Chittick kemudian melakukan usaha kodifikasi atas karya-karya Rumi dengan landasan tiga dimensi sufisme: Syariat, Tarekat, dan Hakikat. Hal ini ia lakukan untuk mempermudah kita dalam melihat struktur dimensi sufisme Rumi yang sebelumnya berserakan dalam karya-karyanya.
Dengan panduan yang dibuat Chittick ini, selanjutnya kita akan dapat sedikit melihat dengan mudah konsep-konsep sufismenya secara sistematis dan kemudian dapat melihat sisi ethics-nya secara lebih gamblang. Rumi, dengan sisi sufismenya, telah mengoperasionalkan konsep keutamaan moral, tindakan moral, kehendak moral dan suara hati (qalb, fuād, bashīrah, sirr). Tasawuf Rumi merupakan ekspresi pengalaman ruhani tentang cinta kepada Tuhan (maḫabbah ilahi) sebagai puncak kebahagiaan yang tertinggi dan final.
Mari Mengenal Jalaluddin Rumi
Rumi atau Jalaluddin Muhammad lahir pada tahun 604 H/1207 M di kota Balkh, di Wakhsh utara Oxus, Transoxiana. Sekarang Afganistan. Ayahnya Baha’uddin Walad, seorang ahli hukum dan guru Tarekat Kubrawiyyah. Silsilahnya sampai kepada Abu Bakr Siddiq. Ibunya bernama Mu’mine Khatun.
Usia 5 tahun, Rumi pindah ke Samarkand karena kotanya diserang oleh tentara Khawarizm-shah. Antara 1215-1220 keluarga Rumi pergi ke Mekkah, Aleppo, dan Damaskus, dari sini Rumi banyak bertemu guru-guru dan mempelajari puisi dan sastra Arab. Keluarga Rumi juga kerap berpindah tempat sampai terakhir singgah di Laranda saat itu ibunya wafat. Di Laranda, Rumi menikahi Jauhar Khatun. 1226 putra pertamanya lahir: Sultan Walad.
Keluarga Rumi berpindah ke Konya. Di sana ayahnya diangkat menjadi pengajar. 1228 putra kedua Rumi lahir: Ala’Uddin. Pada tahun 1231 M, Baha’uddin Walad wafat. Rumi lalu menggantikan profesi ayahnya. Rumi ditemui Burhanuddin Tirmidzi dan memperkenalkan karya-karya ayahnya dan karya-karya Attar dan Sana’i.
Rumi mulai mengenal Matsnawi: untaian sajak dua baris/bait2 sajak untuk mengungkapkan tema-tema mistik dan didaktik (pengajaran). Yang menjadi unik adalah seperti yang dicatat Schimel, tampaknya Rumi tidak menyadari kehidupan mistik ayahnya itu, karena saking tertutup dan rahasia. Karya Baha’ juga baru terungkap dalam bentuk catatan, komentar-komentar, khotbah, yang berbau mistik. Kitabnya maarif pernah diterjemahkan oleh Fritz Meyer.
Bersama Burhanuddin, Rumi pergi ke Aleppo dan Damaskus (Madrasah Halawiyah) kemudian berguru kepada banyak tokoh, salah satunya Ibnu Arabi. Pada tahun 1244 M, Rumi bertemu dengan Syamsuddin at-Tabrizi, sosok yang sangat berpengaruh dalam hidup dan karya-karya Rumi. Sejak saat itu, pengaruh at-Tabrizi kepada Rumi sangat kuat sampai-sampai Rumi mengajaknya untuk tinggal bersama di rumahnya.
Suatu waktu At-Tabrizi meninggalkan Rumi. At-tabrizi pergi ke Damaskus. Peristiwa ini adalah titik paling kritis dari Rumi sekaligus juga menjadi titik awal di mana Rumi mulai menciptakan syair-syair dan karya lainnya. Pada saat ini, ia mulai menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, bernyanyi, berputar-putar selama berjam-jam. Dia sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi. Dia menulis beberapa surat dan pesan kepada Syams yang ada di Damaskus, dia mengutus anaknya, Sultan Walad untuk meminta Syams kembali ke Konya. Konon katanya at-Tabrizi dibunuh. Sejak ditinggal at-Tazbiri, Rumi menghentikan dakwahnya dan menjalani laku sufi dan terus melahirkan syair-syair.
Bersama muridnya, Husamuddin, Rumi mengembangkan Tarekat Maulawi (whirling dervish). Pada tahun 1273 M, Rumi wafat, Tarekat dilanjutkan oleh Husamuddin kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Sultan Walad.
Karya-karya Jalaluddin Rumi
Chittick dalam The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi, menuliskan paling tidak ada 5 karya besar dari Rumi, yakni:
- Diwan Syamsit-tabrizi (Kumpulan Syair 4 baris) berisi 40 ribu syair
- Matsnawi (Untaian sajak 2 baris) Berisi 25 ribu syair, ditulis atas permintaan muridnya.
- Fihi Ma Fihi (Di dalamnya adalah apa yang di dalamnya) Hampir sama dengan Matsnawi. Ajaran sufi dengan analogi dan perbandingan-perbandingan. Ditulis menjelang akhir hayat Rumi.
- Majlis Sab’ah (Tujuh Pertemuan) Kumpulan khotbah
- Makatib (Surat-surat) Berisi 145 dokumen surat yang ditujukan untuk pangeran dan bangsawan Konya.
Diwan berisi pujian-pujian untuk figur-figur tertentu, dan lebih banyak didominasi dengan figur: Salahuddin Zarkub (murid Burhanddin Tirmidzi), Husanuddin (muridnya), dan At-Tabrizi (gurunya). Diwan merupakan representasi dari pengalaman-pengalaman atau maqam-maqam spiritual kondisi mistikal, kemabukan, ekstase, cinta kepada Tuhan yang mendalam dari seorang Rumi.
Matsnawi terdiri atas 6 buku sajak. Jenis sajaknya panjang-panjang, Matsnawi ditulis atas permintaan muridnya, Husamuddin. Husamuddin merasa bahwa waktu itu mereka hanya dapat dan lebih sering membaca karya-karya dari Attar dan Sana’i. Mereka lalu menginginkan gurunya menulis sebuah catatan yang akan bisa mereka baca sebagai pengulangan dari pelajaran yang telah diberikan oleh gurunya tersebut. Keinginan itu disampaikan dan Rumi lalu mengiyakan, Rumi mulai menulis kemudian tulisannya itu dibacakan ulang, begitu seterusnya sampai Rumi wafat.
Selain syair-sayair, Matsnawi juga berisikan anekdok-anekdot, kisah-kisah yang berasal dari Al-Qur’an, dan dari humor keseharian yang disuguhkan dalam dimensi dan interpretasi sufistik. Lebih jauh, Matsnawi merupakan representasi dari rasa spiritual yang tenang dalam memaparkan berbagai dimensi kehidupan dan latihan-latihan rohani atau praktik-praktik sufisme.
Fihi ma Fihi hampir memiiki kesamaan dengan Matsnawi, baik corak maupun isi. Fi hi ma fihi berisi ajaran-ajaran yang disusun secara didaktis. Dan yang terakhir yaitu Manakib, yaitu kumpulan surat-surat Rumi yang kebanyakan ia kirimkan kepada para penguasa dan pangeran. Surat-surat tersebut juga berisi ajaran-ajaran spiritual Rumi yang ia sampaikan kepada si penerima surat. Bersambung…
Penulis: Hijrah Ahmad
(Kopitalis akut, koki di Emirbooks)