Oleh: Nafisatul Wakhidah
(Pelajar Indonesia di Jerman)
Ramadan tahun ini bertepatan dengan Ramadan kelima saya di Jerman. Bulan suci yang jatuh pada bulan Mei penanggalan masehi ini bertepatan pula dengan jatuhnya musim Semi di Eropa. Itu berarti waktu sholat Shubuh-nya dimulai sekitar pukul 3.30 pagi dan Maghrib pada sekitar 21.00 petang. Jadi kurang lebih puasa disini berlangsung sekitar 17 jam lebih 30 menit. Sedang waktu Isya baru tiba pukul 11 malam.
Ramadan tahun ini menurut saya lebih `ringan` dari tahun-tahun sebelumnya, karena pada 2016 lalu misalnya, Muslim yang tinggal di Jerman benar-benar menjalankan puasa di puncak musim Panas yang berarti siang hari sangat panjang dan malam hari yang sangat sebentar.
Riuh suara adzan bersahut-sahutan tentu menjadi memori yang teramat dirindukan. Apalagi suara kentongan gugah-gugah sahur yang masih marak dilakukan di desa saya. Makanan ringan, minuman khas yang diminum pasca sholat Tarawih usai, menyiapkan takjil untuk yang tadarus malam, takjil untuk adik-adik TPA, (girik) pembagian tugas bergilir setiap keluarga yang bertanggung jawab membawa makanan, termasuk jajanan khas ngabuburit, telah terlewatkan setidaknya 4 tahun terakhir.
Namun, saya masih beruntung karena memiliki beberapa teman sesama perantau dari Indonesia yang tempat tinggalnya berada di tetangga kota. Sehingga masih bisa masak bersama makanan khas tanah air, masih bisa iftar bersama dan sholat tarawih bersama.
Masyarakat Jerman dan Puasa
Kemungkinan ada lebih dari 2750 buah Masjid yang tersebar di Negara Jerman ini. Sementara itu Muslim di Jerman menurut data terbaru yang saya temukan berjumlah sekitar 17 juta jiwa. Namun kebanyakan sumber yang lain masih memakai data tahun 2015 yakni sekitar 5 jutaan dari 83 juta total warga yang ada di Jerman. Hipotesis saya umat Islam bertambah pesat karena Jerman menampung jutaan migran dari negara berkonflik yang mencari perlindungan suaka pada lima tahun terakhir di negeri ini.
Lalu bagaimana respon masyarakat Jerman dengan momen bulan suci ini? Pertanyaan ini menjadi sangat menarik karena setiap orang pasti akan menemukan pengalaman yang berbeda-beda. Pada tahun lalu misalnya, di Bulan Ramadlan banyak digelar acara buka bersama bahkan hingga 2000 orang pesertanya di berbagai kota. Salah satu sisi positifnya ialah agar integrasi antara masyarakat Jerman dan umat Islam berjalan lebih baik lagi. Pun di alun-alun kota München, tahun lalu sampai diperdengarkan adzan ketika waktu iftar tiba.
Sedang pengalaman saya sendiri, ada momen dimana orang Jerman sangat menghargai ibadah kita hingga mereka memberikan makanan untuk buka puasa, ada pula yang menganggap bahwa puasa yang mengharuskan tidak makan dan tidak minum akan sangat mengganggu kesehatan manusia. Tapi toleransi disini sangat dijamin oleh Hukum, sehingga tidak ada masalah yang berarti untuk tetap bisa menjalankan ibadah puasa secara penuh.
Coronakrise
Tahun ini cukup spesial dan tahun yang tidak mudah bagi mayoritas penduduk Bumi. Karena seluruh dunia sedang menghadapi cobaan yang sama: Krisis karena virus SARS CoV 2 dan COVID 19. Krisis kesehatan yang berdampak pada krisis ekonomi global dan sendi kehidupan lainnya. Sejak pertengahan Maret lalu, umat Islam sudah dilarang sholat berjamaah di Masjid, guna meminimalisir jatuhnya korban karena virus ini.
Namun ada izin khusus yang memperbolehkan Adzan dikumandangkan dengan pengeras suara. Hal teramat langka yang muncul sebagai bentuk solidaritas akan krisis corona yang sedang menimpa. Tidak ada lagi jamaah sholat jumat apalagi Tarawih. Dampak ekonomi yang terasa ialah banyak membuat masjid terancam bangkrut. Sebab mayoritas masjid di Jerman ini merupakan bangunan sewaan yang dikelola oleh komunitas Muslim setempat. Dan biasanya pada bulan Ramadlan ini pula banyak orang yang berdonasi secara langsung. Namun karena situasi pandemi sekarang membuat proses sedekah tersebut jauh berkurang.
Ramadan ini tentunya adalah momen yang tak akan terlupakan dalam hidup saya. Karena kebetulan saya sedang ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah RS di Negara bagian Baden-Württemberg pada situasi krisis karena virus ini. Malangnya, saya juga sempat didiagnosa positif terpapar virus tersebut, yang mengharuskan saya menjalani karantina selama tiga pekan.
Alhamdulillah satu pekan sebelum bulan suci dini dimulai saya sudah mendapatkan kabar dua kali negatif dari Tes Swab PCR. Maka, syukur tiada kira masih dipertemukan bulan yang teramat mulia ini. Semoga pembaca dimanapun berada dikaruniai kesehatan dan semangat tiada batas dalam menjalani hari-hari meskipun dalam situasi yang tidak biasa ini. Termasuk pula semoga bisa cepat beradaptasi dengan new normal pada beberapa bulan atau bahkan tahun kedepan.