Saya Tidak Siap Divaksin!

1311

Ramai Tagar Divaksin

Laman-laman media sosial kita mulai ramai dengan tagar atau sekadar tulisan “saya siap divaksin”, beberapa warganet bahkan membingkai foto-foto profil mereka –yang entah kapan terakhir diganti—dengan tulisan “siap divaksin”.

Saya menduga, tulisan-tulisan ini adalah bentuk dukungan warganet terhadap kebijakan pemerintah untuk menyuntikkan vaksin kepada masyarakat guna melawan penyebaran virus korona.

Hanya saja, sikap latah menuliskan “saya siap divaksin” justru berujung pada masalah. Tenang, ini bukan masalah hukum, kok. Masalah yang muncul adalah ketidaktepatan dalam hal tata bahasa. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) seri kelima, yang menjadi rujukan untuk kepatutan berbahasa kita, menggolongkan “vaksin” ke dalam kelompok kata benda, bukan kata kerja, karenanya tak bisa dipadukan dengan imbuhan “di-” atau “me-” (menjadi “divaksin” atau “memvaksin”). 

Vaksin, sebagaimana dimaknai oleh KBBI, adalah nama untuk jenis virus yang sudah dilemahkan. Sekali lagi, ia adalah kata benda. Kata “vaksin” setara dengan kata-kata benda lainnya; obat, janda, alis palsu, dst; kata-kata tersebut tak bisa diberi imbuhan apa pun, misalnya menjadi “diobat”, “dijanda”, “dialis palsu”, dst.

Kata yang bisa mendapat imbuhan adalah kata kerja. Mohon diperhatikan, kata kerja bukanlah kata yang menunjukkan pekerjaan. Sebabnya, “menganggur” adalah kata kerja, padahal kata ini tak menunjukkan jenis pekerjaan apa pun. Paling tidak, tak ada orang yang bersekolah tinggi hanya karena ingin mendapat pekerjaan menganggur. 

Kata kerja juga tak selalu menunjukkan aktifitas. Ciri utama kata kerja adalah imbuhan. Jadi, kata kerja adalah kata yang bisa diberi imbuhan. Itu saja. 

Menyoal Imbuhan

Dalam banyak kasus, imbuhan juga berfungsi untuk mengubah kelas suatu kata, dari yang awalnya bukan kata kerja menjadi kata kerja. Bingung, ya? hehe, ya maap.

Gini, deh. Kata “janda” misalnya, ia adalah kata benda. Namun, ketika kata “janda” mendapat imbuhan “me-“ (menjanda), maka ia sudah berubah menjadi kata kerja. 

Masih bingung juga? Aduh, biyung. Ya sudah, perhatikan contoh berikut. Jangan keburu semaput.

  • Alhamdulillah, tetanggaku sekarang sudah jadi janda (kata benda, nih)
  • Tetanggaku tampak semakin bahagia setelah menjanda (nah, yang ini kata kerja)

Udah paham, kan? Udah, dong!

Nah, kalau sudah paham, yuk, kembali membahas kata “vaksin”. Jika kata “divaksin” ternyata tak tepat secara tata bahasa, lalu kata apa, dong, yang tepat? Yak betul! “vaksinasi”! 

Pinter!

Bukan “divaksin”, ya, tapi “divaksinasi”. 

Tertib Aturan Penyerapan

Hal lain yang juga penting untuk menjadi catatan adalah tertib terhadap aturan penggunaan kata serapan. Umumnya, model penyerapan yang dilakukan oleh bahasa Indonesia terhadap bahasa lain adalah serap lengkap, yakni tidak hanya menyerap bentuk kata dasarnya saja, tetapi juga bentuk turunannya.

Contoh, kata “solusi” adalah serapan dari bahasa asing “solution”. Di bahasa asalnya, “solution” tak punya bentuk turunan berupa “solutive”, karenanya ketika diserap oleh bahasa Indonesia, kita tak punya pula kata “solutif”, yang ada adalah “solusional” (solutional). 

Untuk kasus ini, tolong kasih tahu Bu Tejo, ya. Jangan lagi pakai “Jadi orang itu mbok yang solutip!”, diganti saja dengan “solusional”. 

Nah, mari kembali ke kata “vaksin”. Di bahasa asalnya, “vaccine” adalah kata benda, bentuk kata kerjanya adalah “vaccinate”, karenanya tak ada istilah “being vaccined” (Indonesia: divaksin), yang ada adalah “being vaccinated” (Indonesia: divaksinasi).

Karenanya, sekali lagi, kata yang tepat adalah “divaksinasi”, bukan “divaksin”.

Akhiran -i

Ini cerita tambahan, sih, namun penting juga untuk diketahui. Cerita ini tentang kisah akhiran “-i”. khasanah kebahasaan kita ternyata punya satu jenis akhiran yang tak populer, yakni akhiran “-i”. akhiran ini umumnya digunakan untuk merujuk pada kata kerja yang bermakna “dilakukan untuk/oleh orang lain”. Contohnya begini; nikmati, hadapi, syukuri, menyuguhi, meniduri, dst. 

Akhiran ini tak lagi populer karena masyarakat –termasuk mantan-mantan Anda yang kini lebih bahagia bersama yang lain— lebih gemar menggunakan akhiran “-kan”; “menyuguhi” menjadi “menyuguhkan”, “meniduri” menjadi “menidurkan”, dst. Tentu akhiran “-i” memiliki pemaknaan yang berbeda dengan akhiran “-kan”; “meniduri” tak sama dengan “menidurkan”, namun akhiran “-kan” memang tampak lebih digemari.

Untuk alasan ini pula, kata “divaksinasi” lebih tepat digunakan sebab ia bermakna proses yang “dilakukan untuk/oleh orang lain”.

Jadi, apakah Anda siap divaksin? Semoga tidak. Kita hanya siap divaksinasi. 

Yuk, lawan korona sambil tetap mencintai bahasa Indonesia. 

Penulis: Khoirul Anam