Oleh: Shohib Essir
(Machine Learning Google Indonesia)
Ada satu buku bagus karangan filsuf Jerman terkemuka, Herbert Marcuse. Buku itu berjudul One-dimensional man [1962], yang secara sederhana bisa diterjemahkan ‘manusia satu dimensi’. Walaupun buku tersebut penuh dengan nada gloomy dan negative thinking terhadap situasi dunia zaman itu dan meski buku tersebut mengkritik habis polarisasi ideologi dunia antara Sosialisme vs Kapitalisme, buku itu memberi inspirasi yang menarik. One dimension menurut Marcuse adalah penyeragaman wacana, ide, imajinasi, kultur dan bahkan sistem politik mengikuti cara pandang rezim, kuasa, atau otoritas yang dominan [dominant order]. One dimensional man adalah orang yang berfikir dengan cara yang demikian: seragam ide, seragam imajinasi, seragam kultur; sadar atau tidak sadar.
Saya ingin meminjam istilah ini dan membawanya ke ranah profesional dunia kerja: skill, kepakaran, kecerdasan dan seterusnya. Dalam hal ini, ada orang yang cenderung satu dimensi [one-dimensional man] dan ada juga yang multidimensi [multidimensional man]. Saya seringkali menjumpai manusia yang menjadi antitesis one-dimensional man, manusia dengan dimensi berlipat; manusia unik yang mampu menguasai banyak hal secara bersamaan dan selalu berfikir untuk orang lain [untuk komunitasnya], alih-alih untuk dirinya sendiri. Menariknya, orang – orang semacam ini biasanya punya satu hal serupa: background mereka yang selalu terkait dengan pesantren.
Santri: Multidimensi
Seringkali orang dianggap pakar [expert] jika ia menguasai satu bidang tertentu secara mendalam. Ia menjadi rujukan kepakaran tertentu. Ia adalah otoritas keilmuan. Kepakaran semacam ini sering dibandingkan dengan orang yang cakap mengerjakan atau mengetahui banyak hal. Jack of all trades kalau merujuk pada istilah populernya. Jack of all trades adalah terma yang digunakan untuk orang yang bisa apa saja atau yang mempunyai banyak kemampuan secara bersamaan. Misalnya satu orang yang menguasai ilmu ekonomi makro – mikro dan di saat bersamaan ia mampu berbicara tentang hubungan internasional dan juga cakap mengomentari politik dengan teori political science mutakhir. Meskipun demikian, biasanya keahlian orang yang demikian ini tidaklah syumuli; ia tidak menguasai banyak hal itu secara mendalam semua. Mereka ada hanya pada level bisa saja; bukan level pakar. Mereka memang tahu banyak hal, tapi di level superficial. Padahal, sejatinya, kepakaran adalah soal tabahhur. Ini adalah soal menguasai sesuatu secara sangat mendalam – sedalam samudera.
Orang yang muncul di media [tulis, visual, audio-visual] adalah mereka yang biasanya menguasai satu kepakaran tertentu. Orang yang justru terlalu sering muncul di layar kaca dan mengomentari semua isu atau semua hal yang sedang trending di ruang publik adalah orang yang justru menjadi laughing stock – bahan tertawaan. Orang kebanyakan lebih memilih untuk tidak percaya eksistensi manusia multidimensi. Orang lebih percaya dengan ahli yang menguasai satu kepakaran tertentu.
Dalam pandangan saya, santri adalah hal yang sebaliknya. Santri itu multidimensi; punya banyak kepakaran dan bisa menguasai banyak skill tapi bukanlah sekadar jack of all trades.
Di dunia profesional, ada santri yang ahli tata bahasa Arab [tidak hanya paham nahwu, tapi juga hafal di luar kepala nadzom-nadzom populer secara bertingkat – Jurumiyah, Imrithi dan Alfiyah], lalu di saat yang sama ia juga adalah pakar Linguistik Inggris [yang juga menguasai tes advanced populer semacam IELTS dan TOEFL IBT] dan di saat yang sama dia juga pakar bahasa pemrograman [programming language semisal Python] dan berkarir di bidang NLP [salah satu bidang populer dalam Artificial Intelligence – Kecerdasan Buatan].
Di luar sana juga, ada juga segelintir santri yang menjadi manajer perusahaan korporasi multinasional di sektor jasa yang merangkap ahli agama skala nasional dan di saat yang lain ia juga adalah aktivis pembela HAM. Ini bukan skenario fiksi atau cerita rekaan. Manusia yang demikian adalah nyata dan eksis di sekitar kita. Santri multidimensi saya menyebutnya. Dalam soal kecerdasan, kepakaran atau skill, santri itu istimewa dan punya rahasia mengapa hasil akhir atau produk final pesantren itu sedemikian canggih dan mengagumkan. Setidaknya ke-multidimensi-an ini bisa “dibaca” atau disebabkan dari 3 faktor penting.
Pertama, santri itu diajarkan tabahhur berbagai pengetahuan.
Sedari dini, santri selalu dijejali dengan berbagai pengetahuan dengan pendekatan atau metode pesantren. Hal ini berlangsung bertahun-tahun secara gradual dan progresif. Wajar karena salah satu karakter belajar santri adalah longitudinal [طول زمن – dalam waktu yang sangat lama]. Semakin lama, semakin tinggi level ilmu yang dipelajari. Ia harus belajar ilmu alat [tata bahasa di level morfosintaksis – atau nahwu dan sharaf dan juga di level stilistika – balaghah: bayan, badi’, ma’ani], belajar ilmu logika [mantik – logics], belajar akidah [teologi], belajar hukum, kaidah hukum dan teori hukum [fiqih, qawaid fiqh dan usul fiqh], belajar hadis [ulumul hadis, mustolah hadis, tafsir hadis], belajar Alquran dan segenap tafsirnya [ulumul qur’an dan tafsir qur’an].
Mereka pun juga belajar sirah [biografi dan sejarah ulama terkemuka]. Buku-buku rujukan ilmu-ilmu ini pun dipelajari dari yang paling dasar dan berlanjut ke yang paling susah. Di saat yang bersamaan mereka pun diharuskan untuk mengikuti diskusi membahas masalah kekinian [waqi’iyah] yang terjadi di tengah masyarakat. Diskusi ini memantik dan mengasah kemampuan analitis santri di samping juga mengasah level bacaan mereka. Forum ini rutin diselenggarakan dan dinamai bahsul masail. Di sinilah nalar kritis dan kemampuan membaca persoalan yang berkembang di masyarakat diuji. Di forum ini, usia tidaklah penting. Yang penting adalah pengalaman, pengetahuan dan daya penalaran. Ini semacam metode sekolah dengan pendekatan streaming.
Mereka juga diajari bahwa setiap ilmu itu terkait satu sama lain. Tidak ada pengetahuan yang berdiri sendiri per se. Semua ilmu berkaitan erat satu sama lain. Julia Kristeva menyebutnya intertekstualitas, pesantren menyebutnya tabahhur. Fundamen sains atau ilmu pengetahuan memiliki karakteristik yang serupa dan karenanya mendalami sepenuhnya sebuah ilmu itu berharga atau layaknya mendalami semua ilmu pengetahuan yang lain [من تبحر بعلم واحد فقط تبحر بعلوم جميعا – sesiapa yang menguasai secara mendalam satu ilmu pengetahuan niscaya ia menguasai esensi dari semua ilmu pengetahuan].
Maka tidak heran kalau di setiap pengajaran ilmu tertentu [ilmu alat misalnya], guru juga akan membahas ilmu-ilmu lain yang berkaitan dan menyatakan bahwa menguasai ilmu bahasa itu menentukan pemahaman akan ilmu agama yang lain dan santri belajar memahami bagaimana koneksi antar ilmu pengetahuan yang sedemikian canggih ini. Di level ini mereka belajar wacana [discourse] setiap hari.
Kedua, bagi santri, pengetahuan adalah martabat dan harga diri.
Ia adalah qimah [قيمة] sesuatu yang sangat berharga. Harta yang paling berharga adalah pengetahuan [ قيمة المرء ما يعلم]. Pengetahuan ini juga secara umum bisa kita artikan skill, kemampuan dan keahlian. Maka tidak heran kalau mereka rela untuk tidur dengan waktu yang singkat dengan tujuan mendalami ilmu pengetahuan. Justru santri yang terlalu banyak tidur akan dicap negatif dengan julukan abdul qofa [عبد القفا – tukang tidur]. Mereka juga rela untuk mengurangi makan untuk mempertajam kecerdasan – semakin kenyang seorang santri makan semakin kurang tajam pikirannya. Santri yang terlalu banyak makan justru dicap sebagai abdul butun [عبد البطون – hambanya perut].
Tidak heran pula kalau masa paling aktif di pesantren adalah masa malam hari. Masa malam hari adalah masa di mana sangat sedikit gangguan [disturbance] dan suara yang mengganggu [noise]. Apalagi dalam agama selalu dikatakan bahwa sepertiga malam terakhir ada masa yang sangat istimewa sehingga mereka harus selalu sahrul layali [staying up for good purpose – begadang untuk tujuan yang baik]. Sebagai kebalikannya, siang hari justru adalah masa yang sedikit lebih pasif dan banyak kegiatan intelektual yang sifatnya reseptif: santri mempunyai kelas atau jadwal belajar reguler di mana mereka menerima pengetahuan dari gurunya. Sementara malam hari adalah waktu yang produktif: self-learning, muraja’ah: membaca kembali yang sudah diajarkan dan mengembangkannya dengan mengaitkan ilmu yang diajarkan dengan bacaan dan ilmu lain [extension, expansion, development].
Ketiga, kebermanfaatan.
Selesai lulus dari tempaan pesantren, santri akan selalu berfikir untuk dua hal: kontribusi dan komunitas. Mereka selalu diajarkan bahwa segala hal itu harus dinilai dari asas manfaat. Tidak ada pengetahuan yang bernilai luhur tanpa diterapkan. Bahkan kualitas seseorang dinilai bukan seberapa dalam pengetahuan atau kepakaran yang ia kuasai, tapi seberapa luas nilai manfaat yang ia tebarkan dengan kepakaran itu. Makanya tidak heran kalau banyak santri yang menjadi pakar sering memberikan pelatihan soft dan hard skill secara gratis untuk komunitasnya, selalu mencari cara untuk berbagi dan senang dengan progress yang dialami oleh komunitas.
Satu hal penting lain yang dianut santri adalah prinsip pemerataan kemampuan. Santri yang bisa punya kewajiban moral untuk mengajari yang lain yang belum bisa. Santri yang belum bisa punya kewajiban yang sama untuk belajar dari yang lain yang sudah mampu. Semua hal ini adalah transaksi tanpa payment. Semua tanpa transaksi finansial. Ini sejalan dengan ucapan populer di dunia pesantren كل ما يستطيعه غيرك يجب أن تستطيعه أنت [semua hal yang orang lain bisa, kamu pun harus bisa juga]. Ghirah santri untuk selalu bisa berbagai hal bukanlah ada dan berwujud dari ruang hampa. Ini adalah efek dari prinsip fundamental yang mereka genggam dan percayai.
Ketiga hal di atas menempa dan membentuk santri menjadi final product dari pesantren. Selesai darinya, mereka bisa memasuki ‘kolam’ profesional mana saja yang cocok. Bayangkan, seandainya orang Indonesia seluruhnya berfikir secara multidimensi seperti ini. Semua berlomba menjadi pakar banyak hal dan berlomba untuk berkontribusi tanpa harus mengutamakan ganjaran finansial. The world might be a better place, Indeed.
Santri: Mengembalikan Kepakaran
Tom Nichols dalam the Death of Expertise [2017] meramalkan adanya matinya kepakaran di era internet dan revolusi industri 4.0. Di saat akses informasi yang tak terbatas dan bahkan informasi mendatangi setiap orang hampir setiap detik, kepakaran diprediksi akan mati. Orang akan semakin meragukan orang lain yang menjadi pakar dan lebih memilih untuk mempercayai diri mereka sendiri yang bisa mencari informasi dari jari mereka [from their fingertips] tanpa sempat berfikir siapa yang menciptakan atau menyebarkan informasi tersebut. Bahaya yang muncul seiring dengan absennya kepakaran adalah menangnya hoax atau informasi palsu. Bahaya lain adalah kebenaran bisa di-polling dan di-voting: bahwa benar atau tidaknya suatu hal bisa diukur dari banyaknya orang yang memilih percaya atau dari jumlah orang yang menyebarkannya.
Sudah kita saksikan bersama bagaimana kacaunya masyarakat tanpa otoritas. Masyarakat tanpa kepercayaan dengan otoritas agama justru akan semakin mudah untuk menyalahkan golongan lain yang berbeda. Bukan hanya cap infidel [kafir, kuffar dll] yang dilempar sana sini tapi juga aktivitas destruktif bisa terjadi di tengah-tengah kita. Komunitas yang tidak percaya akan otoritas kesehatan justru rawan menularkan penyakit atau rawan terkena sindrom mematikan.
Pemerintah dan WHO pun dibuat linglung oleh mereka. Ketidakpercayaan akan institusi pendidikan dalam jangka panjang akan menimbulkan kerusakan yang masif dan mengerikan. Santri ada di posisi yang menarik menyangkut persoalan otoritas atau kepakaran ini. Posisinya berbeda dan karenanya memberikan cara pandang alternatif.
Pertama, santri mempercayai kepakaran atau otoritas dan mengusahakannya. Otoritas adalah hal yang absolut dalam dunia santri. Tidak mungkin seorang santri belajar dari guru yang sanad keilmuannya tidak jelas. Memilih seorang guru adalah memilih otoritas dan sejatinya memilih jalan kebenaran. Dengan demikian langkah pertama [memilih otoritas pengetahuan] adalah juga sama dengan langkah final.
Sanad keilmuan seorang guru harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan kalau pengetahuan yang ia ajarkan ke ribuan santri punya silsilah sampai kepada madinatul ilmi, sang kota ilmu pengetahuan yang mendapat wahyu – Muhammad SAW. Tidak heran kalau santri akan sam’an wa thoatan ke guru yang sudah dipilihnya. Ia juga akan mengabdikan puluhan tahun hidupnya untuk gurunya. setelah selesai dengan pendidikan pesantren, ia akan menyebarkan ajaran gurunya dan menjaga nama baiknya.
Kedua, santri “membagi” kepakaran dengan mengajarkannya. setelah selesai dengan pendidikan pesantren, ia akan menyebarkan ajaran gurunya untuk kebermanfaatan banyak orang. Ia mengajari sebanyak mungkin orang dengan kepakaran dan sanad ilmu yang diperolehnya untuk masyarakat. Ia tidak akan mengklaim dan posesif dengan kepakaran yang dikuasainya itu. Ia tidak merasa eksklusif dengan kepakaran itu dan mengasingkan diri dari lingkungannya. Ia tidak akan berdiri dan menginap di menara gading dan membuat jarak dengan sekitarnya. Ia dan kepakarannya hadir di tengah yang membutuhkannya.
Ketiga, dalam era kontemporer ini, kepakaran adalah privilege dan karenanya ia bernilai tinggi. Kepakaran adalah komoditas berharga mahal dan bisa membuat orang cepat kaya. Bagi santri, sudut pandangnya jelas berbeda. Menjadi ahli berarti mempunyai kewajiban untuk menyebarkannya kepada orang lain. Kepakaran berarti kewajiban. Kepakaran berarti melekatanya tugas moral dalam diri. Dan demikian padanan materi untuk harga kepakaran adalah persoalan lain yang kurang terlalu penting untuk dihiraukan.
Dengan sudut pandang kepakaran yang seperti ini, santri mempunyai posisi yang strategis. Di saat dunia sedang berpaling dari kepakaran yang hanya dimiliki segelintir orang tertentu, dan di saat kepakaran itu berjarak dengan masyarakat awam, santri adalah pintu masuk dunia untuk percaya kembali kepada kepakaran dan segala hal baik yang menyertainya. Kepakaran itu penting dan diperlukan dan santri harus menjadi agen mengobati sinisme kepakaran.
Akhir kata
Santri dengan segenap kepakaran yang menyertainya harus ikut serta dalam persaingan global revolusi industri 4.0. Cara pandang santri akan kepakaran dan mentalitas keilmuan yang dimilikinya diperlukan untuk mewarnai kehidupan profesional yang semakin tanpa sekat [borderless] ini.
Seiring dengan terbukanya berbagai kesempatan untuk semua orang, baik di level pemerintahan [negara] maupun korporasi di level nasional dan multinasional, dan seiring dengan mudahnya akses ke platform self-development seperti Coursera dst, sudah selayaknya santri ikut ambil bagian dalam bidang dan platform seperti ini. Menjadi “multidimensional man” adalah sebuah keharusan dan karenanya mari menjadi pribadi yang multidimensi!
Shohib Essir, MALGR
Santri Mambaul Ulum yang pernah nyantri pascasarjana di Australian National University dan sekarang berkontribusi di Google Indonesia.