Oleh: Affix Mareta
Ramadan tahun lalu, teman saya mengirim pesan di grup whatsapp alumni SMA yang isinya, “Tahun ini mau ada buka bersama atau tidak?” Di negara yang rakyatnya sangat mengenal demokrasi ini, jawaban iya dari saya tidak ada esensinya, ketika mayoritas penghuni grup chat lain – yang juga sudah berumah tangga – tidak setuju karena harus menyesuaikan dengan jadwal cuti dan ribet ketika harus meninggalkan anak. Mayoritas penghuni chat meminta buka bersama diundur tahun ramadan tahun depan. Dan mungkin tahun depan juga akan diundur lagi. Masalah buka bersama memang pelik dari tahun ke tahun.
Di tahun-tahun sebelumnya saat mayoritas penghuni grup chat masih lajang saja, ketika sudah diputuskan akan dilakukan buka puasa bersama, masalah lain berdatangan: tempatnya di mana, iuran berapa, rundown acaranya mengganggu waktu salat atau tidak. Lalu ketika sudah berkumpul, masalah masih berlanjut dengan masalah eksistensial masing-masing individu. Ada yang masih kuliah sehingga merasa rendah diri pada yang sudah bekerja, sementara yang bekerja merasa rendah diri pada yang sudah menikah. Setelah berbuka puasa bersama, masalah masih berlanjut, yaitu menentukan warung kopi untuk berkumpul dan kecewa ketika beberapa orang pulang lebih awal. Rasa-rasanya eforia berkumpul bersama teman lama, tidak cukup dirayakan saat buka puasa bersama, kalau bisa kumpul-kumpul sampai pagi, kalau perlu ditambah kopi tubruk biar tambah gayeng.
Rasanya aneh memang, bagi orang yang lama tidak berjumpa, mengapa momen buka puasa bersama lebih gayeng ketimbang kumpul-kumpul di hari biasa, atau silaturahmi di hari lebaran. Lebih aneh lagi, kalau ternyata buka bersama teman kerja di kantor, juga lebih gayeng daripada acara makan bersama sebelum ramadan. Padahal setiap hari ketemu lho, tapi kok makan takjil bersama teman kantor rasanya lebih meriah, daripada makan pizza di hari biasa (sebelum ramadan).
Saya jadi berpikir kalau eforia buka puasa bersama terjadi, bukan karena kumpul-kumpulnya, baik itu kumpul dengan orang yang sudah tidak lama berjumpa atau orang baru-tapi karena sebenarnya orang-orang (islam) tidak mau puasa. Saking beratnya puasa, menahan lapar 12 jam. Kebiasaan ngopi di jam 9 pagi sebelum bekerja, makan siang, dan ngemil sore hari sungguh tidak tergantikan. Rasanya sungguh menderita, hingga acara buka bersama makanannya harus mewah, harus bareng teman atau pasangan, kalau perlu ikut acara buka puasa di masjid biar ramai, pokoknya harus hedon.
***
Dulunya saya berpikir puasa adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Sebab naluri memangsa manusia pada dasarnya tidak berbeda dengan hewan (Sigmund Freud menyebutnya id), tapi dengan puasa, menandakan manusia sedang mengontrol id-nya. Sementara manusia yang tidak bisa mengontrol id-nya pastilah tidak bisa berpuasa.
Namun setelah saya pikir-pikir secara naluriah pun, manusia lebih rakus berkali-kali lipat daripada hewan. Hewan akan berhenti makan ketika kenyang, sementara manusia tidak. Manusia tidak cukup merasa kenyang, karena dengan segala resource yang dipunya, manusia (modern) membuat sesuatu yang artificial untuk dikonsumsi. Itu pun belum cukup, karena terkadang masih harus memangsa manusia lain demi memperebutkan resource untuk sesuatu yang artificial tersebut.
***
Saya juga ikut ambil bagian dari budaya hedon saat buka puasa. Saya semangat ketika ada buka bersama angkatan dan saya jika buka puasa sendiri pun rasanya kurang nikmat kalau takjil tidak ada. Alhasil, sebagai anak kos, di bulan ramadan, pengeluaran justru lebih besar daripada bulan biasa. Saat masih mahasiswa di Yogyakarta, bahkan sering saya ikut pengajian di masjid selepas ashar, supaya diberi takjil gratis, bahkan nasi bungkus gratis, tapi tetap saja pengeluaran membengkak.
Namun tahun ini pengeluaran saya aman. Saya jamin aman. Sebab virus Corona mengakibatkan masyarakat Indonesia berpuasa di rumah. Tidak ada salat tarawih, sahur on the road, dan tentunya buka puasa bersama.
Dan tidak ada buka puasa bersama membuat saya kangen buka puasa bersama. Inilah anehnya saya, ikut-ikutan membuat budaya sendiri, mengkritik budaya itu sendiri, lalu suatu saat kangen, dan ketika kangennya berlarut-larut lama-lama stres. Tahun ini Tuhan mungkin tersenyum melihat tingkah laku saya.