(Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, Alumni Pesantren Tarbiyatul Falah, Kota Blitar)
Melaksanakan kegiatan keagamaan Islam di Indonesia seringkali lekat dengan istilah tradisi. Baik itu perayaan hari besar agama maupun Ramadhan dan Idul Fitri, hampir tidak akan ada yang bertanya, apakah ada aturan yang perlu dipatuhi. Namun, beda cerita ketika kegiatan keagamaan dilaksanakan di negara maju, plus umat Islamnya minoritas.
Kita sebagai insan yang melaksanakannya perlu hati-hati benar menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Ini kisah saya menjalani puasa dan lebaran beberapa kali di Negeri the Hobbit, Selandia Baru.
Medio 2017 lalu, saya didapuk menjadi khotib sholat Ied di Wellington, ibukota Selandia Baru, yang dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia di sana. Kebetulan waktu itu saya sedang menempuh studi magister saya di Victoria Universit of Wellington.
Selama di Welly, sebutan umum Wellington, saya memang tak jarang menunjukkan bahwa dunia pesantren adalah background saya. Tidak ada tujuan apa-apa selain agar saya dapat berbagi dan membantu siapapun yang ingin belajar hal-hal sederhana (ingat ya yang simple saja, kalau yang berat-berat biar kiai saja) misalnya membaca Al-Quran dan konsep-konsep sederhana tentang Islam.
Karena itu juga, jadilah saya didapuk menjadi khotib. Saya pun, dalam khutbah, berbagi hal-hal sederhana yakni bahwa kita diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal, bukan bermusuhan.
Kembali ke persoalan aturan, perayaan Ied di Welly tentu tak seperti di Indonesia. Di tanah air, umumnya kita sudah mafhum dimana kita akan sholat nantinya. Banyak pilihan pula. Di satu kampung, bisa jadi ada dua sampai tiga masjid yang melaksanakan sholat Ied. Sehabis sholat, petasan bebas diletuskan, khususnya di kampung-kampung.
Hampir setiap malam banyak lantunan pembacaan Quran yang tak ada habisnya (kecuali tentu saat pandami Corona). Pagi buta sebelum waktu sahur, kita bisa dengar anak-anak berkeliling kampung untuk membangunkan orang agar tak kebablasan tidurnya lewat musik ala-ala mereka.



Tak ada, atau sedikit yang bahas apakah ada aturan soal kerumuman, aturan soal kebisingan suara, soal privasi, dan soal izin gedung. Semua berjalan saja sebagaimana tradisi berjalan tanpa perlu dipertanyakan.
Perhatikan aturan-aturan
Sejak lama pun saya tak pernah ambil pusing perihal-perihal tersebut. Namun, pernah tinggal di Selandia Baru memberikan pelajaran penting, bahwa ternyata menjalankan kegiatan keagamaan di negara lain ternyata tak seperti itu.
Hampir tiap tahun, pelaksanaan sholat dan perayaan Ied dilaksanakan di tempat berbeda. Tiap tahun pengurus komunitas muslim Indonesia, UMI atau Umat Muslim Indonesia namanya, mendekati beberapa gedung potensial untuk menjadi tempat pelaksaanaan sholat Ied.
Kenapa beberapa? Ya belum tentu yang pertama didekati setuju.
Gedung yang jadi tempat sholat Ied adalah aula sekolah atau aula komunitas. Kenapa tidak di masjid? Di Wellington ada masjid tentunya. Tapi umat muslim Indonesia ingin suasana Ied yang khas Indonesia, jadi ingin menyelenggarakannya sendiri. Ini juga umum dilakukan oleh komunitas dari negara lain, khsusunya yang memiliki banyak umat di daerah atau kota tersebut.
Kecuali kalau hanya sedikit, mereka memilih bergabung dengan komunitas lain atau ke masjid yang pelaksanannya lebih umum atmosfernya.
Selain soal gedung, umat muslim di Wellington juga perlu memperhatikan soal kerumunan. Jika kita di Indonesia terbiasa kongkow-kongkow sehabis sholat, hal ini tak diperbolehkan di negara maju umumnya, dan khususnya di Selandia Baru. Kalau mau berkerumum, ya harus di dalam gedung.
Kami juga harus memperhatikan kerapian sosial. Ini berkaitan dengan parkir kendaraan. Ini tentu agak berbeda dengan di Indonesia. Seringkali dengan alasan ibadah, kita parkir sembarangan. Di Welly, kalau saja ada salah satu individu yang parkir sembarangan, ini akan jadi preseden buruk bagi seluruh umat.
Karenanya, tak jarang dalam sesi ceramah atau pengumuman, diingatkan bahwa umat Muslim menghindari berkerumun berlebih dan parkir sembarangan.
Tidak ada speaker atau toa dipasang di luar gedung. Semua pengeras suara diletakkan di dalam gedung. Pengurus acara juga memerhatikan agar volume suara tidak terlalu keras sebab jika sampai ada masyarakat yang komplain, ini akan merugikan umat. Sebab, bisa jadi kegiatan Ied selanjutnya tidak diberi izin!
Namun demikian, sholat Ied tetap berjalan lancar dan hikmat sebab umumnya umat Islam Indonesia di Selandia Baru memerhatikan aturan dengan baik.
Penggunaan gedung pun dilakuan dengan hati-hati. Semua peralatan dan sarana kembali ke sedia kala, tak ada sampah yang tersisa seketika kegaitan selesai.
Lalu, tentu menjadi pertanyaan sebenarnya enak mana, jadi orang Islam di Indonesia atau di negara orang? Tentu tak ada jawaban yang baku untuk ini. Namun seharusnya ada pelajaran penting untuk diperhatikan dari dua situasi berbeda tersebut.
Kita di Indonesia perlu melihat kembali kebebasan kita beribadah, khususnya umat Islam. Kita jarang melihat ini dengan kesuka-riaan dan asntusiasme.
Kita harus bersyukur bahwa kita bisa relative bebas beribadah baik itu secara individu maupun berkelompok. Tak perlu izin-izin yang terlampau kompleks untuk menyelenggarakan sholat Ied.
Namun terkadang kita harus sadari bahwa ada beberapa hal yang sebaiknya diperbaiki misalnya untuk tidak berkerumun terlalu lama dan mau tertib.
Misalnya parkir yang tertib dan tak meninggalkan sampah sehabis sholat Ied, yang sepertinya masih jarang dilakukan.
Selain itu, ada baiknya volume suara sound-system ketika dilaksanakan ibadah disesuaikan lagi. Kita tahu, soal pengeras suara ini sempat beberapa kali menjadi polemik di Indonesia.
Bagi yang merasa ada kebisingan, bisa bicara baik-baik dengan pengurus masjid terdekat. Bagi pengurus masjid, bisa melakukan sedikit penyesuaian. Tidak ada urgensi untuk konfrontasi, sebab jika komunikasi terjalin baik, tentunya kesalahpahaman bisa dihindari.
Kembali ke soal ibadah di negeri orang, tentu karena jumlah orang Indoensia yang relatif sedikit, kita tidak punya privilese untuk merayakan Ied ala Jawa, Betawi, Sumatra, atau Sulawesi. Yang dilaksanakan adalah Idul Fitri ala Indonesia dimana tersedia berbagai makanan dari seluruh jenis Idul Fitri tersebut.
Seingat saya dulu ketika Idul Fitri 2017 di Welly, ada rendang, opor, ketupat, sup ikan kuning, dan coto. Lengkap pokoknya. Meski jauh dari keluarga di kampung halaman di tanah air, ternyata ada berkah keragaman di Idul Fitri di negeri orang seperti itu.
Akhirnya, Idul Fitri bukan hanya soal ibadah mahdah. Karena melibatkan banyak orang dan tradisi yang beragam, sudah seharusnya kita memerhatikan manajemennya agar lebih baik pelaksanannya. Perlu diperhatikan bahwa beberapa hal seperti soal kerumuman dan ketertiban masih terus perlu diperbaiki lagi.
Namun, melihat Idul Fitri di negara lain memberi gambaran bahwa kita perlu banyak bersyukur bahwa kehangatan bersama keluarga saat lebaran di Indonesia tak ada tandingannya. (*)