Kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia memang pada dasarnya memudahkan aktivitas manusia itu sendiri. Sebagaimana saat ini teknologi informasi sangat masif berkembang dalam berbagai sektor, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, agama, hiburan, olahraga, dan lain sebagainya.
Perkembangan teknologi tersebut kini dikenal dengan sebutan revolusi industri 4.0. Hadirnya era baru ini berkaitan dengan beberapa kata kunci, yaitu data, digitalisasi, dan kecerdasan. Tentu saja, perkembangan ini mau tidak mau akan berdampak besar terutama pada karakter masyarakat.
Dalam konteks ini, pakar pendidikan asal Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Otib Satibi Hidayat dalam bukunya berjudul Pendidikan Karakter Anak Sesuai Pembelajaran Abad ke-21 (2020: 62-65) menerangkan bahwa revolusi industri berpengaruh terhadap tata nilai di masyarakat.
Hal itu karena revolusi industri 4.0 memiliki ciri-ciri ada 4, yaitu digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, dan lain sebagainya. Revolusi ini juga dikenal dengan fenomena disruptive innovation. Keempat indikator dalam revolusi industri tersebut tidak bisa dipisahkan dengan revolusi digital yang ada dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Otib Satibi Hidayat mencontohkan, ketika dulu sebelum majunya dunia digital, manusia melakukan transaksi ekonomi secara langsung bertatap muka antara penjual dan pembeli, di mana dalam proses bertransaksi itu ada pendidikan karakter diantaranya tentang tepat waktu, tepat ukuran, tepat perjanjian, saling setia pada ikrar dan persetujuan tertulis, tapi saat ini di era revolusi digital secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap perubahan tata nilai di masyarakat.
Revolusi Digital dan Anak-Anak
Ia juga mencontohkan perubahan tata nilai yang terjadi pada masa revolusi digital adalah manusia cenderung tidak memerlukan lagi hidup bersama, dalam pengertian anak zaman sekarang khususnya anak-anak sebagai generasi milenial lebih asyik main sendiri dengan gadgetnya, kemudian juga ada game online, walaupun dalam satu ruangan sering kali anak-anak itu tidak lagi bertegur sapa, mereka terhipnotis, dan fokus dengan apa yang ada didepan matanya berupa gadget dan game online. Ini tentunya berbahaya sekali kaitannya dengan pendidikan moral.
Aktivitas pokok anak seharusnya bermain, bermain yang dimaksudkan di sini bukan bermain anak-anak menggunakan game online yang hanya melibatkan aspek visual, anak asyik main sendiri. Tetapi, bermain yang paling edukatif dan produktif adalah ketika melibatkan sesama teman, karena ketika melibatkan orang lain secara langsung dalam bermain.
Menurut Otib Satibi Hidayat, model cara bermain anak demikian terdapat penanaman moral yang bagus diantaranya bagaimana anak ditantang untuk mampu beradaptasi dengan sesama temannya yang berbeda karakter, beda perilaku, beda budaya dan berbeda jenis, beda latar belakang. Kemudian anak juga bisa belajar sosialisasi, anak juga belajar menyelaraskan, ketika ada permainan anak itu akan diuji dan belajar apakah ia bisa bermain dengan taat aturan dan fair play.
Manfaat selanjutnya yang bisa didapatkan dari kegiatan bermain bersama teman adalah anak bisa belajar berkomunikasi, komunikasi yang dimaksudkan di sini adalah komunikasi yang dilakukan 2 arah. Karena komunikasi 2 arah itu lebih bagus untuk anak-anak jika dibandingkan dengan komunikasi 1 arah.
Ketika anak melakukan komunikasi 2 arah, anak akan belajar bagaimana memahami maksud dari orang lain, ia pun belajar mengungkapkan keinginan kepada orang lain supaya orang lain memahami maksudnya. Itu semua memerlukan sebuah proses komunikasi yang person to person.
Selanjutnya anak juga akan belajar bagaimana ia harus mengendalikan emosi saat bermain dan bersabar apabila belum mendapatkan giliran bermain. Ini tentunya merupakan pendidikan yang luar biasa dan bagus sekali dalam kaitannya dengan peluang untuk mengembangkan moral di abad ke-21.
Revolusi Digital dan Guru
Oleh sebab itu, Otib Satibi Hidayat mendorong para guru sebaiknya menerima dan memanfaatkan kemajuan teknologi dalam revolusi digital berupa permainan-permainan yang bisa ditonton, tetapi jangan membiarkan anak hanya menonton. Guru harus mampu mempraktikkan dan membuat anak terlibat secara aktif dalam proses permainan tersebut secara langsung.
Kemudian guru juga harus mampu menstimulasi anak agar mampu bersosialisasi, berkomunikasi, mengendalikan emosi dan lain sebagainya. Sehingga revolusi digital tetap kita adopsi tetapi peluang untuk pengembangan moral di tengah tantangan abad ke-21 harus tetap berjalan.
Selain itu, dalam pemikiran Otib Satibi Hidayat juga menyoroti bahwa perkembangan revolusi digital memang sangat kemudahan dalam dibutuhkan untuk membantu beraktivitas. Tetapi pada saat anak sudah tidak lagi memiliki kemauan untuk menghadapi tantangan, menghadapi sebuah proses untuk kematangan dirinya, adversity quotient atau ketahanmalangan / kehandalan struggle for life, bagaimana anak punya semangat berjuang untuk hidup.
Anak-anak di abad revolusi industri ini cenderung tidak siap tanding dan tidak siap saing, karena terbiasa diberikan kemudahan, dan diberikan pelayanan yang berlebihan dalam hidupnya. Sebagaimana ada filosofi dari artifisial intelligent (kecerdasan tiruan) di mana anak-anak dengan sangat mudah mengakses, tetapi moral dan mentalnya tidak dikembangkan secara proporsional, ini tentunya sangat berbahaya.
Berdasarkan argumentasi Otib Satibi Hidayat, dapat kita simpulkan bahwa guru perlu dengan konsisten menangkap peluang yang ada dalam tantangan abad ke-21 itu untuk pengembangan moral. Diantaranya betapa pun semua di dunia digital ini serba mudah, serba gampang, tetapi anak tetap harus dilatih untuk mandiri, dilatih untuk tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan orang lain.
Di samping itu, perlu dilatih pula untuk mempunyai kemauan bekerja sendiri, dan bersabar dalam menghadapi proses untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Semua itu akan berdampak pada kecerdasan, kehandalan, dan ketangguhan bagi seseorang anak dalam menghadapi dinamika kehidupan yang semakin kompleks. (MZN)