Refleksi PSBB Hingga PPKM, Mana yang Lebih Efektif?

554
Photo by Gary Butterfield on Unsplash

Beragam kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 melalui mobilitas masyarakat. Dari mulai pembatasan sosial berskala besar (PSBB), hingga yang terbaru saat ini, yakni pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat. Istilah baru ini menjadi salah satu cara pemerintah untuk menekan angka penyebaran virus yang telah mendiami negara ini selama satu tahun lebih.

Penanganan kasus Covid-19 melalui berbagai kebijakan ini sebagai bentuk upaya meredam lonjakan kasus diberbagai daerah. Awal lonjakan kasus pemerintah merespon dengan  memberlakukan PSBB untuk menekan laju penyebaran virus corona. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang ditandatangani menteri kesehatan kala itu, Terawan Agus Putranto.

Baca juga: Dunia Adalah Teater Kepahlawanan

Berdasarkan Permenkes tersebut, PSBB adalah pembatasan kegiatan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi virus corona. Mekanisme kebijakannya, dimulai dari gubernur, bupati, atau walikota mengusulkan PSBB di daerahnya. Kemudian, menteri yang menetapkan persetujuannya.  Syarat bagi wilayah yang harus melakukan PSBB adalah jumlah kasus dan kematian Covid-19 meningkat signifikan.

Setelah disetujui, pembatasan ini diterapkan di lingkup wilayah tertentu. Bisa provinsi, kabupaten, atau kota.  Pembatasan kegiatan pada PSBB dapat meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja. Selain itu, kegiatan keagamaan juga dibatasi.

“Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lain khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan,” dikutip dari situs Covid19.go.id.

Mengapa PSBB tak lagi berlaku?

Selama ini sangat sedikit studi yang menggambarkan secara empiris dampak dari PSBB dalam mengurangi pergerakan masyarakat dan pengaruhnya pada transmisi virus Covid-19.

Efektivitas PSBB di setiap provinsi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, antara lain (1) besarnya sektor informal; (2) akses terhadap sanitasi yang layak; dan (3) lokasi, apakah di pulau Jawa atau luar Jawa.

Setelah berlalunya PSBB, pemerintah menghadapi tekanan kuat untuk segera membuka perekonomian demi merangsang pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran, dan mencegah peningkatan angka kemiskinan yang ditimbulkan pandemi Covid-19

Sayangnya, ‘normal baru’ dapat membangun rasa aman yang semu karena masyarakat beranggapan bahwa pandemi sudah terkendali. Mengingat jumlah kasus yang terus meningkat, arahan pemerintah Indonesia terkait implementasi ‘normal baru’ masih terlalu dini.

Kebijakan ‘normal baru’ adalah kebijakan top-down yang menggunakan satu pendekatan untuk semua. Pendekatan ini cenderung mengabaikan realitas bahwa masyarakat memiliki kebutuhan dan kerentanan yang beragam semasa pandemic. Pemerintah juga belum mampu mengakomodasi kebutuhan sekitar 60-71%  pekerja informal di Indonesia, misalnya para pedagang kaki lima, pedagang pasar, dan buruh harian.

Secara global, sebagian besar protokol ‘normal baru’ dirancang berdasarkan kebutuhan sektor formal. Indonesia juga menerapkan model serupa. Dalam protokol tersebut, banyak aturan yang tidak dapat diterapkan pada sektor informal, misalkan saja protokol kesehatan di warung-warung kelontong, tempat pembatasan fisik menjadi mustahil. Terakhir, kebijakan ‘normal baru’ masih memihak pada kelas menengah atas.

Protokol kesehatan di era ‘normal baru’ masih berpusat pada beberapa strategi populer seperti pembatasan fisik dan penggunaan alat pelindung diri (APD). Strategi tersebut dinilai menguntungkan masyarakat yang mampu, sedangkan kelompok masyarakat yang bergantung pada pendapatan harian mengalami kesulitan untuk bekerja dari rumah atau menyediakan APD secara mandiri.

Strategi-strategi ini juga cenderung menempatkan individu sebagai pengemban tanggung jawab. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana meningkatkan sistem jaminan kesehatan dan sosial serta bagaimana menciptakan penghidupan yang berkelanjutan dan ketangguhan masyarakat cenderung diabaikan.

Upaya penekanan lonjakan kasus melalui istilah baru

Salah satunya kebijakan membatasi gerak masyarakat. Yang terbaru, pemerintah akan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM darurat di Jawa dan Bali mulai 3 Juli hingga 20 Juli mendatang.

Sempat menuai kritik dari berbagai kalangan masyarakat, karena dianggap tidak efektif. Pasalnya, kenaikan kasus Covid-19 masih terjadi. Pemerintah akhirnya memutuskan mengeluarkan kebijakan baru PPKM pada 11 Januari 2021.

PPKM digunakan pemerintah untuk menggantikan istilah PSBB. Kebijakan dalam PPKM dinilai pemerintah sebagai upaya menangani pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai ini. Kebijakan itu membatasi kegiatan masyarakat pada tingkat yang bersifat mikro. PPKM dilaksanakan per daerah yang mengalami lonjakan tinggi kasus Covid-19. Tingkat penyebaran kasusnya dilihat pada tingkat RW/RT dari jumlah rumah yang terpapar pandemi virus corona.

Kini, pemerintah menyusun PPKM mikro darurat seiring dengan Lonjakan kasus virus corona di Indonesia. Rencananya, pembatasan aktivitasnya diperluas ke zona oranye atau berisiko sedang dari sebelumnya hanya di zona merah saja.

Presiden Jokowi saat konfrensi pers dengan para pemimpin redaksi media nasional di Istana Merdeka, Rabu (17/2/2021). Dia menjelaskan perihal PPKM mikro yang berhasil menekan kurva pandemi.

“Kenapa saya ngomong di awal minggu itu PPKM tidak efektif? Ya karena memang kurvanya tidak ada yang melandai turun. Tetapi yang kedua kelihatan sekali sudah turun. Yang ketiga ini turun lagi,” kata Jokowi.

Terlepas dari PPKM yang sedang dijalani, sosialisasi 3M dan 3T harus tetap dilakukan untuk semakin menyadarkan masyarakat akan pentingnya kesehatan dan menghindari penularan virus Covid-19. Tingganya faktor kesadaran tersebut menjadi tingkat keberhasilan dalam membendung lonjakan kasus yang kita tidak harapkan.

Penulis: Mukhammad Khasan Sumahadi
(Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)