Refleksi Maulid; Meneladani Sikap Toleransi Rasulullah SAW

1157
toleransi
Sumber Gambar beritasatu.com

Dalam kondisi masyarakat yang beragam yang terdiri dari beragam suku, bahasa dan agama di negara kita, sudah seharusnya sikap menghargai satu sama lain dijunjung dengan sangat tinggi. Sikap demikian biasa kita sebut toleransi.

Artikel lain tentang Maulid, simak Maulid Nabis di Tengah Pandemi Covid-19

Toleransi Kian Terkikis

Dengan konteks negara kita yang majemuk, sikap ini sangat perlu untuk kita junjung bersama dalam rangka menjaga persatuan. Namun sayang, akibat banyaknya isu negatif dan hoax yang tersebar dengan mudah, sikap toleransi itu semakin berkurang dan terkikis.

Bukan hanya di media sosial saja, kasus intoleransi juga sempat terjadi di mana-mana, yang terakhir terjadi di Jogja dan Surabaya, di mana ada suatu masyarakat dengan dalih mayoritas, melarang orang yang berbeda agama untuk menancapkan simbol keagamaan di pemakamannya. kejadian lain juga dan masih di Jogja, perusakan makam salib dilakukan oleh seorang lebih oknum yang dicurigai.

Di Surabaya terjadi kasus ujaran kebencian dan hoaks, serta kasus diskriminasi ras bahkan berujung aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di jalan Kalasan Surabaya.

Padahal, Nabi Muhammad SAW dalam sejarah tercatat sangat menghargai keberagaman baik antar suku maupun agama.

Seperti dalam buku Islam Moderat dan Isu-Isu Kontemporer karya Ayang Utriza Yakin, langkah nabi yang pertama kali dilakukan ketika sampai di Madinah adalah mempersatukan masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda, baik agama maupun etnis, selain mempersatukan kaum Muhajirin dengan Anshar.

Setelah itu, Nabi mengadakan perjanjian atas dasar kesatuan dan kebebasan Bergama dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan “Piagam Madinah” (al-shahifah Madinah atau al-Misaq al-Madinah).

Piagam Madinah sebagai Simbol Toleransi

Di dalam piagam madinah ini terkandung nilai-nilai persamaan, kebebasan beragama, hak asasi manusia, musyawarah dan demokrasi. Salah satu pasal dalam piagam madinah, yaitu pasal 25,  mengenai kebebasan beragama yang berbunyi “Kaum Yahudi dari Banu ‘Auf adalah salah satu umat dengan mukminin.

Bagi Kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka.” Dengan jelas, pasal ini menunjukkan komitmen persatuan dan sikap toleransi antar pemeluk agama.

Itu artinya, nabi mengajarkan kepada kita sikap toleransi dengan menghargai dan menjamin keamanan dan ketentraman proses peribadahan umat agama lain tanpa pelarangan dan batasan tertentu selagi tidak mengganggu kepentingan umum.

Nabi Muhammad SAW Menghormati Perjuangan Umat Kristen

Jauh setelah peristiwa itu, pada tahun 7 H/628 M, Nabi Muhammad SAW menjamin kebebasan beragama untuk Gereja St. Catherine yang terletak di kaki Gunung Musa (Jabal Musa) yang dibangun sekitar abad ke-4 M.

Nama gereja tersebut diambil dari seorang biarawati yang bernama Catrherine yang meninggal dihukum mati setelah menolak ajakan masuk ke agama Yahudi. Nama tersebut diabadikan sebagai simbol perjuangan umat Kristen waktu itu.

Dan, ketika kekuatan politik umat islam dapat menguasai Mesir, maka umat Kristen mendapat jaminan kebebasan dan perlindungan dari Rasulullah SAW dengan memberikan piagam perjanjian kepada komunitas Kristen St. Catherine.

Piagam perjanjian tersebut meliputi semua hak asasi manusia seperti perlindungan umat Kristen, kebebasan beribadah, kebebasan menentukan hakim sendiri dan mengatur harta benda milik pribadi masing-masing.

Tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan sikap agama Yahudi yang sebelumnya memberangus keberadaan Umat gereja tersebut hingga memakan korban jiwa.

Mari saling Menghargai dan Menghormati

Dengan ini, sudah seharusnya sikap kita sebagai umat Islam menjunjung sikap toleransi dengan saling menghargai dan melindungi hak-hak orang yang berbeda pemahaman dan berbeda keyakinan dengan berhenti mencaci maki dan saling mengujar kebencian. Alangkah sempitnya dunia ini jika hidup tidak diisi dengan sikap saling menghargai dan menghormati.

Tulisan ini Pernah dimuat di bincangsyariah.com
Penulis: Ahmad Saerozi