Realita Sandwich Generation, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu

608
Realita Sandwich Generation, Pekerjaan Bukan Satu-satunya Identitasmu
Photo by Jason Goodman on Unsplash

Sejak kecil, kita sering kali “diplotkan” menjalani realita kehidupan dengan goals-goals tertentu pada setiap periode: Lulus sekolah, kuliah, mempunyai pekerjaan, menikah, punya anak, meningkatkan jenjang karier, punya rumah dan harta benda lainnya, lalu pensiun dengan adem ayem setelah mengantongi dana cukup untuk hari tua.

Karena kebanyakan masyarakat kita serempak menegakkan life goals macam ini, siapa pun yang keluar dari standar itu berpotensi jadi rendah diri karena ketinggalan dari teman-teman sebayanya atau dihakimi, baik oleh keluarga sendiri maupun orang disekitarnya.

Salah satu yang cukup mengusik dan bikin orang galau adalah pekerjaan. Tak dipungkiri, pekerjaan di perusahaan dengan jabatan dan gaji tertentu, seperti manajer di perusahaan minyak, pegawai negeri swasta, atau pengacara ternama jadi idaman banyak orang. Ini karena masyarakat memandang pekerjaan-pekerjaan macam itu bergengsi dan bisa menjamin hidup seseorang dalam jangka panjang.

Baca juga: Resolusi Tahun Baru; Momentum Aktualisasi Diri

Kita suka akan kepastian dan cenderung menghindari perubahan. Pasalnya, kita akan diminta beradaptasi lagi dan kondisi itu biasanya tidak mengenakkan. Belum lagi kita jadi galau dan minder saat berhadapan dengan kenalan yang nodong dengan pertanyaan, “Kamu kerja di mana sekarang?”.

Berapa banyak yang dengan pede menjawab, “Kerja serabutan” atau “Nganggur nih”? Bahkan mungkin sebagian perempuan yang sudah meraih gelar sarjana dan di atasnya masih malu mengaku, “Jadi ibu rumah tangga ‘aja’.”

Bagaimana Anggapan “Kita adalah Pekerjaan Kita” Tumbuh?

Dalam jurnalnya yang berjudul “Work, Identity and Self: How We Are Formed by the Work We Do” (1998), Al Gini mengutip sejumlah pandangan orang tentang identitas didefinisikan oleh pekerjaan, yang kemudian diyakini dan dilanggengkan banyak orang hingga kini. Contohnya, Etika Kerja Protestan yang mengutamakan kerja dalam pembentukan keberhargaan hidup seseorang.

Paus Yohanes Paulus II dalam On Human Work (1981) juga menyatakan, “Pekerjaan adalah hal baik bagi manusia. Baik untuk kemanusiaannya karena lewat pekerjaan, manusia tidak hanya mengubah alam, mengadaptasinya untuk memenuhi kebutuhan dia, tetapi ia juga meraih pemenuhan diri dan merasa ‘jadi lebih manusia.’ ”

Sementara, novelis Elia Kazan mengatakan, karier dan identitas kita tidak terpisahkan, justru keduanya sebanding. Ia memandang, orang-orang adalah apa yang mereka kerjakan dan hal itu memengaruhi setiap aspek dirinya, apa pun keadaannya.

Di samping itu, sebagian orang benar-benar menemukan pekerjaan yang menjadi ladang aktualisasi dirinya. Mereka menemukan makna dari pekerjaan yang dijalaninya dan kondisi ini menciptakan rasa puas tersendiri yang sulit untuk dilepaskan setelah bertahun-tahun mengalaminya.

Ditambah lagi, dalam perjalanannya mereka dapat memperoleh pengakuan masyarakat terkait status dan kesejahteraannya. Tidak heran bila orang begitu berusaha mempertahankan identitas dirinya yang terkait dengan pekerjaan.

Dalam The New York Times, penulis buku Ask a Manager (2018), Alison Green berujar, sebagian orang punya cita-cita tertentu dan begitu meraihnya, mereka menganggap kariernya itu satu-satunya dorongan untuk hidup maju.

“Ketika kamu menyukai pekerjaanmu, sangat mudah bagimu untuk melekatkan identitasmu pada pekerjaan. Gagasan bahwa kamu adalah seseorang yang sangat mahir dalam pekerjaanmu adalah hal yang sangat kuat,” kata Green.

Apa Jadinya Kalau Identitas Didefinisikan oleh Pekerjaan Saja?

Sekilas tidak ada yang salah dengan melekatkan erat identitas diri dengan pekerjaan kita. Namun, profesor Psikologi di Wilfrid Laurier University, Ontario, Anne Wilson mengatakan dalam BBC, mereka yang membiarkan pekerjaannya “menelan” identitasnya dapat mengalami kondisi psikologis yang dinamakan “enmeshment”. Istilah ini merujuk pada situasi ketika batasan antara kerja dan kehidupan personal menjadi buram.

Enmeshment bisa terlihat misalnya saat seseorang terus memikirkan soal kerja di situasi-situasi luar kantor atau selalu membicarakan masalah pekerjaan pada berbagai kesempatan. Wilson menyatakan, hal ini membuat kita mengabaikan ruang untuk hobi dan kesenangan sendiri. Akibatnya, kita menjadi susah terkoneksi dengan orang-orang yang ada di luar lingkungan kerja.

Saat kamu mengalami enmeshment dan pekerjaan sangat berperan mendefinisikan dirimu, nilai-nilai yang kamu pegang juga bisa terdampak.

“Kalau kamu mengikat keberhargaan dirimu dengan karier, kesuksesan dan kegagalan yang kamu alami akan langsung mempengaruhi keberhargaan dirimu,” kata Wilson.

Ketika seseorang kehilangan pekerjaan atau jabatannya dan sudah kadung membiarkan identitas didefinisikan oleh pekerjaan dia, ada potensi ia mengalami depresi karena merasa kebermaknaan hidupnya hilang. Dalam The Economic Times India dikatakan, jika pekerjaanmu bergaji tinggi, kamu mungkin jadi punya standar hidup tinggi.

Bila pekerjaanmu memberi kuasa besar, kamu bisa kecanduan status sosial tinggi. Ketika kamu kehilangan pekerjaanmu, kamu bisa saja kesulitan atau bahkan tak mampu menerima keadaaan hilangnya status lamamu itu.

Mengubah Persepsi

Gimana kalau kita mandang pekerjaan kita sebagai aksesoris selagi kita ngejalanin hidup?”

Sebagian dari kita mungkin tidak setuju dengan perkataan kawan saya ini. Namun, saya bisa menangkap maksudnya: Aspek hidup kita itu jauh lebih luas dari kehidupan kerja kita saja. Ada orang-orang di luar sana yang tetap bekerja di kantornya sekarang hanya untuk mencari nafkah, selebihnya ia mencari kesenangan dari kegiatan lain di luar kantor.

Entah itu bermusik, menjadi relawan, menjelajahi berbagai kota atau negara, atau lainnya. Itu semua hal-hal ideal, yang sesuai passionyang hanya bisa dijalankan kalau kebutuhan perut terpenuhi dulu.

Memang ada yang beranggapan, lebih baik bekerja sesuai dengan passion saja supaya tak jadi “kutu loncat”. Namun, realitasnya tentu tidak semudah ujaran itu. Berapa banyak lapangan kerja sesuai passion kita yang ditawarkan, dan apakah pekerjaan sesuai passion itu bisa mencukupi kebutuhan diri dan orang tua serta anak-anak bagi sandwich generation?

Karenanya, ujaran kawan saya itu bisa saya pahami dan mungkin dapat jadi alternatif cara berpikir kita. Barangkali kita bekerja sebagai admin media sosial, customer service, atau bahkan direktur di suatu bank. Namun, itu semua tidak serta merta mendefinisikan diri kita karena pekerjaan bisa jadi hanya sarana untuk bertahan hidup, bukan aktualisasi diri yang memang benar-benar dikejar.

Selain itu, yang juga penting untuk direfleksikan supaya kita bisa menggeser persepsi bahwa kita adalah pekerjaan yang kita punya saja: Apakah kita benar-benar nyaman dan bahagia dengan profesi atau jabatan yang kita pegang sekarang?

Jika tidak, bukankah pekerjaan yang kita lakukan sekarang hanya jadi topeng belaka hanya supaya kita diterima orang lain? Sebenarnya, memakai topeng sepanjang waktu itu meletihkan, disadari atau tidak.

Jika pada suatu titik kita merasa identitas didefinisikan oleh pekerjaan kita saja, tidak ada salahnya mengevaluasi lagi pandangan kita itu. Pun tidak keliru bila suatu hari kita mau identitas kita itu berubah, selama kita merasa bahagia dengan pilihan kita.

Yang terpenting, apa pun yang kita pilih dan kita anggap sebagai identitas sekarang ini, kita perlu menyadari bahwa hal itu sifatnya cair, tidak harus diterima dan diterapkan selamanya secara mutlak.

Penulis: Mukhammad Khasan Sumahadi
(Mahasiswa UIN Walisongo Semarang)