Oleh: Khairi Fuady
(Founder Pusat Dakwah Al-Mahabbah)
Ramadan kali ini berbeda drastis dari tahun-tahun sebelumnya, karena dunia tengah berada pada masa-masa sulit pandemi. Tak ada lagi hingar bingar marhaban ya ramadan yang terdengar dari toa-toa masjid, tarawih berjamaah, pasar ramadhan, tadarus bersama, dan aneka agenda reliji yang kerap sepaket dengan aktifitas buka bersama.
Ramadan kali ini keadaan mengharuskan kita untuk mengalihkan semua aktivitas ibadah ramadhan untuk hanya di rumah saja. Pray at home. Sebab selama persebaran wabah ini belum bisa dihentikan penyebarannya, social dan physical distancing adalah keniscayaan. Dan ini bagian dari SUNNAH. Kenapa sunnah?
14 abad silam, Rasul sudah mengingatkan, bahwa jika di suatu wilayah tertimpa wabah, jangan lah kita masuk ke wilayah tersebut. Dan jika kita kadung berada di wilayah itu, maka jangan keluar demi menghindarkan persebaran yang lebih luas. Ini wanti wanti dari Nabi. Di Al-Qur’an pun Allah berfirman “Walaa tulquu bi aydiikum ilat tahlukah”, jangan menceburkan dirimu ke dalam kerusakan atau kebinasaan. Artinya, menghindari wabah adalah menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan mengindahkan anjuran pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang maslahah, juga bagian dari pada melaksanakan firman Allah “Yaa Ayyuhalladziina aamanuu athii’ullaaha wa athii’urrasuula wa ulil amri minkum”. Wahai orang beriman, taatilah Allah dan Rasulmu, dan pemimpin di antara kaummu.
Lebih progresif lagi, selain aturan pemerintah, para ulama sebagai pemimpin agama juga mengeluarkan fatwa yang relatif seragam ihwal pandemi ini. Dari Ulama Saudi Arabia, lembaga Ifta Mesir, Universitas Al-Azhar, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpendapat senada bahwa kita semua hendaknya mengikuti protokol kesehatan di negara masing-masing. Artinya, ikhtiar kerja kerja ilmiah yang dilakukan oleh para pemuka agama tersebut hendaknya kita ikuti dengan mengindahkan anjuran untuk sementara beribadah di rumah, baik itu ibadah shalat lima waktu, tarawih, tadarus, hingga buka puasa dan santap sahur. Dan agama memang mengajarkan alternarif-alternatif untuk mempermudah pemeluknya. Kata Nabi “Yassiruu walaa tu’assiruu”, permudah dan jangan dipersulit.
Alhasil, mari memaknai agama sebagai produk langit yang diperuntukkan untuk kemaslahatan penduduk bumi. Dalam situasi yang extra-ordinary seperti sekarang ini, penyesuaian-penyesuaian produk hukum keagamaan adalah hal yang amat penting dalam memaknai suatu situasi yang dalam Agama kerap disebut dengan Situasi Darurat/Emergency Situation. Dalam klausul kaidah fikih, “Adh dharuuraatu tubiihul mahzhuuraat”.
Terakhir, Marhaban ya Ramadhan. Di bulan ini lah Allah menurunkan kasih sayang berlipat lipat, ampunan berlipat lipat, dan mengobral sisi Maha Pengampun-Nya dengan membebaskan kita para pendosa dari siksa Api Neraka. Para ulama kerap menyitir ungkapan populer, bahwa ramadhan itu “Awwaluhu rahmah, wa awsaathuhu maghfirah, wa aakhiruhu ‘itqun minannaar”. Semoga dengan berkat datangnya bulan suci ini, berjalan seiring juga dengan diangkatnya wabah Covid ini dari muka bumi.
Aaamiin Allaahumma Aaamiiin.