Problem Pendidikan Masyarakat Perdesaan di Tengah Pandemi

1080
Photo by Doug Linstedt on Unsplash

Oleh: Selamet Tuharie
(Founder Kangslamet.com)

Pandemi COVID-19 memang telah menghentikan berbagai kegiatan manusia di berbagai belahan dunia. Mungkin lebih tepatnya bukan menghentikan, tapi menunda sampai waktu yang belum bisa dipastikan. Mulai aktivitas ekonomi kini semakin lesu, juga aktivitas pendidikan yang juga ikut terdampak luar biasa. Namun, apapun kondisinya saat ini, aktivitas pendidikan harus tetap berjalan karena anak-anak memiliki hak untuk terus belajar dan mengasah kemampuan intelektualnya.

Sayangnya, kualitas pendidikan dan ketersediaan sarana pendidikan kita di Indonesia ini belum merata. Ada daerah yang memang sangat lengkap fasilitas pendidikannya, namun lebih banyak juga yang masih belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai, terutama di kawasan-kawasan perdesaan.

Artinya apa? Bahwa sebenarnya perangkat pendidikan kita memang belum siap 100 persen untuk menghadapi kondisi seperti saat ini. Terutama terkait dengan sistem pendidikan kita yang memang belum computerized. Meski, banyak juga sekolah-sekolah unggulan, terutama di kawasan perkotaan yang sudah siap dengan sistem itu, tapi bagaimana dengan di perdesaan? Mungkin ada, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak.

Di kawasan perdesaan, ini menjadi permasalahan tersendiri. Pertama, problem ketersediaan perangkat. Ini menjadi syarat dasar bagi keberlangsan proses belajar online agar aktivitas pembelajaran dapat berjalan dengan efektif. Pembelajaran online, membutuhkan seperangkat alat seperti komputer, laptop maupun smartphone yang digunakan sebagai media pembelajaran. Sayangnya, di kawasan perdesaan, apalagi masyarakat yang hidup dengan keterbatasan ekonomi, barang-barang tersebut tak lagi masuk dalam barang primer, yang tentu sangat berbeda dengan masyarakat perkotaan atau masyarakat perdesaan yang memiliki strata kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Jangankan primer, bisa jadi barang-barang itu hanya sebagian kecil yang memasukkannya ke dalam kebutuhan sekunder, selebihnya mengklasifikasikannya ke sebagai kebutuhan ‘tersier.’ Ini adalah problem mendasar bagi kita. Sementara pembelajaran harus tetap berjalan, namun banyak pelajar yang belum memiliki medianya. Lalu apakah ini akan efektif? Tentu saja efektifitasnya akan sangat diragukan.

Kedua, ketersediaan jaringan di kawasan perdesaan yang masih belum merata. Ini juga jadi problem lain yang tak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran secara daring. Bagi kawasan perdesaan yang sudah menerima jaringan seluler dengan baik, maka sistem pembelajaran daring akan berjalan dengan baik-baik saja, selama perangkat pembelajarannya juga telah tersedia. Namun, ini jadi tantangan besar bagi desa-desa yang mengalami masalah ketersediaan jaringan.

Ketiga, problem ekonomi. Ini jadi PR tersebar kita.  Bahwa proses pembelajaran secara daring membutuhkan biaya tambahan yang mungkin bagi masyarakat perdesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan terasa berat. Bagi masyarakat yang memiliki ekonomi yang layak, tentu tak perlu dipersoalkan. Bahkan mungkin dirumahnya bisa dipasang layanan wifi untuk menunjang pendidikan anaknya, atau malah juga bisa dikursuskan secara online. Namun, jika pada masyarakat miskin perdesaan ini menjadi beban baru lagi bagi perekonomian keluarga.

Di saat seperti sekarang yang mereka tidak ada kepastian penghasilan ekonomi, masih harus dituntut untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, mulai dari perangkat media pendidikan, sampai dengan paket internet untuk anaknya. Maka, pemerintah di daerah masing-masing atau malah pemerintah desa masing-masing harus mengambil inisiatif untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif, namun tidak membebani masyarakat miskin.

Intinya bahwa problem pandemi saat ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan proses pendidikan. Namun di sisi lain, proses pendidikan juga tidak bisa dijadikan alasan untuk menambah beban hidup masyarakat miskin di Indonesia semakin berat.