Praktik Keseharian Jepang dan Syarat Salat dalam Kitab Fathul Mu’in

870
Photo by Sorasak on Unsplash

Oleh: Syakir NF
(Santri Milenial)

Berkunjung ke Negeri Matahari Terbit mengembalikan pikiran saya ke kitab yang pernah saya kaji saban malam kepada seorang kiai, yaitu kitab Fathul Muin karya ulama besar asal India, Syekh Zainuddin al-Malibari. Meski belum sempat khatam dan baru sampai penjelasan perihal shalat, akan tetapi saya melihat teks kitab itu dalam praktiknya pada diri negara yang sempat tiga tahun menjajah Bumi Pertiwi.

Setelah sekitar tujuh jam perjalanan udara tanpa henti, akhirnya saya dan rekan-rekan peserta dari Indonesia tiba juga di Bandaran Internasional Haneda pada Selasa (19/2/2019). Di pintu kedatangan, panitia sudah menanti sembari memegang kertas bertuliskan Indonesia. Kami pun langsung menghampirinya. Tanpa ba bi bu, kami langsung diajak menuju tempat menunggu bus. Bukan bus charter, kami menaiki bus umum.

Di jadwal, bus tersebut berangkat pukul 10.15 waktu setempat. Sengaja saya terus melihat jam menjelang waktu keberangkatan. Tepat pukul 10.14, sopir menutup seluruh pintu dengan satu sentuhan tombol. Benar apa yang diceritakan orang-orang, bahwa Jepang sangat menghargai waktu. Pukul 10.15 tepat, tidak kurang dan tidak lebih, bus melaju dari Bandara Haneda menuju Shin Urayasu, lokasi hotel yang bakal menjadi tempat kami menginap.

Saban keberangkatan setiap pagi dari hotel menuju tempat acara juga demikian. Bahkan, ada satu kelompok diperingatkan oleh panitia pendampingnya, jika terlambat menaiki bus harus menyusul dengan menggunakan taksi dengan biaya pribadi, “You will hop in the taxi by yourself if you come late,” katanya.

Hal ini sebetulnya sudah saya pelajari saat mengaji kitab Fathul Muin, bahwa shalat itu sudah berwaktu, tidak boleh terlambat, ataupun terlalu cepat sebelum waktunya. Syarat utama dalam shalat selain harus Muslim, juga harus mengetahui dan meyakini tibanya waktu shalat. Jika tanpanya, tentu shalat tidak akan sah. Artinya, kita harus melaksanakan shalat tepat pada waktunya.

Hal demikian mestinya tidak saja diterapkan dalam shalat, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana Jepang menerapkannya. Bahkan, saat saya berada di sana, terdapat berita seorang menteri didesak mengundurkan diri karena terlambat tiga menit menghadiri rapat kerja dengan pihak parlemen.

Dokumentasi Pribadi

Kunjungan saya ke negara tersebut dalam rangka Konferensi Pelajar Asia Tenggara, Timor Leste, dan Jepang (Jenesys Conference 2018) pada 19-25 Februari 2019 mewakili Indonesia, khususnya kampus tempat belajar, yakni Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Selama kegiatan di sana, penginapan dan makan dijamin oleh pihak penyelenggara.

Setiap makan, seluruh peserta diwajibkan untuk mencuci tangan. Agar tidak ada yang tidak cuci tangan, panitia pun berdiri di pintu masuk dengan menyiapkan sanitasi tangan (hand sanitizer). Jadi, setiap masuk ke rumah makan, semua peserta pasti menengadahkan tangan untuk mendapatkan gel pembersih tangan dari kuman-kuman dan bakteri jahat.

Hampir di setiap wastafel juga terdapat gambar cara mencuci tangan yang baik, yakni keseluruhan tangan harus tersiram air. Karenanya, jari tangan harus dapat menyela-nyelai jari tangan lainnya sehingga air dapat masuk dengan baik.

Hal tersebut sebetulnya saya baca secara tekstual dalam kitab Fathul Muin, bahwa sunnah dalam wudu adalah menyela-nyelai jari, tahlil al-ashabi’, agar air dapat mengalir lancar, membawa serta bakteri jahat di tangan. Hal itu menjadi bagian dari syarat shalat, yakni bersuci dari hadas kecil. Ketika mencuci tangan kiri, maka jari tangan kanan masuk menyela-nyelainya, mengalirkan air melewatinya. Pun sebaliknya.

Kitab tersebut juga menjelaskan mengenai menyelai-nyelai jari-jari kaki, yakni dengan menggunakan kelingking tangan. Misalnya, saat menyela-nyelai jari kaki kanan, kelingking kaki kiri dimanfaatkan untuk hal tersebut. Pun sebaliknya, jika kaki kiri, maka kelingking tangan kanan digunakan untuk menyela-nyelainya.