Praktik Healing Ala Sufi untuk Bersihkan Batin dari Toxic

688

Kamu sedang galau, stres, batin terasa sesak, atau pusing karena beban pikiran yang berat? Tampaknya kamu butuh “healing” sebagai ‘obat’ bagi batin akibat terkena toxic yang biasa menghinggapi diri manusia, seperti sifat dengki, iri, sombong, merasa inferior/superior, rakus, pendendam, dan lain sebagainya.

Banyak macam healing yang biasa dilakukan sebagian orang, seperti menyendiri, jalan-jalan, berwisata, berburu kuliner, nonton film di bioskop, dan lain-lain. Selain itu, ada healing yang masih jarang dikenal orang umum, yaitu Healing ala Sufi.

Menurut Teten J. Hayat dalam buku Sufi Healing Dzikir Jahr: Bebas Trauma Ala Sufi (2021: 119-122), Sufi Healing merupakan cara Sufi untuk membersihkan kotoran batin dan merilis memori negatif dari ruang hati bawah sadar mereka. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Sufi adalah istilah orang yang belajar tasawuf atau spiritualitas dalam Islam.

Dalam konteks ini, alat Sufi Healing-nya adalah dzikir jahr, yaitu dzikir dengan suara yang ditradisikan di dalam Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Pada dasarnya, dzikir jahr merupakan amalan khusus bagi pengikut TQN. Akan tetapi, bagi orang yang bukan pengikut TQN, masih tetap bisa mengambil inspirasi dari dzikir tarekat ini di dalam upaya healing.

Memulai Sufi Healing

Teten J. Hayat menjelaskan, setelah persiapan awal, baik fisik maupun psikis, maka Healing dimulai dari kita masuk ke ruang yang nyaman dan bebas gangguan. Lalu kita duduk di atas sejadah, memperhatikan adab-adab sebelum berdzikir.

Setelah itu kita lalu memejamkan mata, kemudian kita pun memulai healing pada batin kita dengan kalimat dzikir La ilaha illa Allah. Dibaca sebanyak-banyaknya.

Inilah prinsip terpenting di dalam Sufi Healing. Bagi pengikut TQN khususnya, dzikir jahr minimal diamalkan di angka 165, dan tidak dilarang untuk diamalkan lebih banyak lagi.

Agar dzikirnya tidak moody, sebagai akibat dari batin bodoh yang belum terlatih, maka tidak dilarang juga untuk menggunakan timer sebagai pembatas waktu, apakah hitungan tasbih atau alarm handphone.

Selama proses berdzikir, sebaiknya jangan berpikir, sebagaimana pesan sufistik Pangersa Abah Anom, “Bila berdzikir, jangan berpikir.”

Mengaktifkan logika, merenung, menghayati, mengundang memori dosa masa lalu, dari berpikir apapun, dalam upaya merasakan dzikir itu sangat terlarang di dalam proses healing. Karena dengan berpikir, berarti kita ikut campur pada kerja dzikir, sehingga dzikir pun tidak bisa berkerja secara otomatis dan digital pada batin kita.

Selain itu, dengan berpikir itu tanda batin kita menolak untuk dibersihkan secara penuh oleh dzikir. Dzikir berupaya membersihkan batin, sementara kita berpikir, maka itu berarti kita menolak untuk dibersihkan.

Ego intelek kita masih kuat. Maka, terjadilah pertempuran antara dzikir yang hendak membersihkan dengan ego yang menolak dibersihkan. Inilah nanti yang menyebabkan seorang yang berdzikir mengalami psikosomatik.

Bagi yang tidak mengerti, kadang dia sengaja mengundang memori dosa masa lalu, menghayati makna kalimat dzikir, dan sebagainya. Hal ini dianggapnya sebagai cara untuk merasakan dzikir.

Bila tujuan seseorang untuk merenung, maka dzikir bisa menjadi alatnya. Akan tetapi, bila tujuan healing, maka tujuan Anda ingin membersihkan batin, aktivitas berpikir apapun, sangat terlarang. Hal ini karena berpikir akan menghambat kerja healing, bahkan, justru berpikir malahan bisa menambah-nambah sampah batin.

Demikian di antara praktik healing ala Sufi untuk membersihkan batin sebagaimana ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya. (Zidni)