Wisuda. Menjelang akhir tahun pelajaran memang moment yang tepat bagi masing-masing lembaga sekolah untuk mengadakan ceremonial kelulusan bagi peserta didiknya yang tamat, mulai dari jenjang paling rendah, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga sekolah menengah.
Beragam istilah pula yang digunakan, ada yang menyebutnya wisuda, penghantaran, pelepasan, purnawiyata, perpisahan, dan sebagainya. Lantas, mengapa ‘Wisuda’ menjadi viral dan banyak diperbincangkan oleh khalayak dan media belakangan ini?
Baca Juga: Tugas Baru Manusia, Menjadi Pawang Kecerdasan Buatan
Menurut KBBI, wisuda merupakan peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Sehingga, momen ini adalah momen sakral yang ditunggu oleh banyak mahasiswa sebagai tanda bahwa ia telah resmi disebut sebagai sarjana. Selain itu, filosofi toga yang berupa baju kebesaran adalah sebagai harapan bagi pemakainya agar setelah lulus bisa menjadi orang yang besar.
Ditambah dengan topi toga yang berbentuk persegi atau segi lima, mengandung arti agar para sarjana bisa berfikir dari berbagai sudut pandang yang berbeda secara rasional. Adapun pemindahan kucir dari kiri ke kanan, sebagai simbol bahwa selama menempuh masa kuliah para mahasiswa cenderung menggunakan otak kiri daripada otak kanan, yakni berkenaan dengan hardskillnya.
Oleh karenanya, setelah lulus para sarjana akan dihadapkan pada situasi lapangan dan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan otak kanannya atau softskill, seperti imajinasi, kreativitas, inovasi, dan sebagainya.
Dewasa ini, wisuda menjadi heboh dan menuai pro kontra wali murid terutama bagi anaknya yang masih lulus jenjang PAUD/TK, SD, SMP, dan SMA. Alasan terkuat wali murid menolak adanya wisuda bagi anak jenjang sekolah yakni dari faktor banyaknya biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk pakaian, riasan, dan keperluan acara. Padahal, dari sejumlah biaya tersebut bisa untuk keperluan pendidikan anak di tingkat lebih lanjut.
Selain itu, kegiatan wisuda pada anak usia sekolah tidak terlalu menambah manfaat dan ilmu. Ditambah lagi, pada sekolah swasta atau sekolah yang siswanya hanya sedikit, tak jarang guru-gurunya juga harus ikut menomboki kekurangan biaya acara. Adapun bagi kalangan yang pro dengan adanya wisuda mengatakan bahwa hal ini penting sebagai kenang-kenangan atas pencapaian putra putrinya.
Lalu, dari berbagai alasan tersebut, ego siapakah yang sedang diperjuangkan? Apakah anak usia dini sudah mengetahui esensi wisuda dan filosofis toga?
Sebagai konklusi, sudah seharusnya pihak sekolah mendiskusikan terlebih dahulu serta bekerjasama dengan komite sekolah dan paguyuban/persatuan wali murid agar bisa mencapai mufakat dan tidak memberatkan. Di samping itu, ceremonial kelulusan hanyalah sebuah optional bukan kewajiban masing-masing lembaga. Ditambah dengan rujukan yang bersumber pada Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah pasal 12 poin (e), komite sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas sekolah secara langsung ataupun tidak. Dalam hal ini, kaidah fiqih juga menegaskan sebagai berikut:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan.”