Lirik lagu yang dinyanyikan perempuan itu, memiliki kepedihan mendalam tentang perpisahan sepasang kekasih. Ia mendapatkan lirik itu dengan percuma saat acara tujuh belasan. Seorang penyair membaca puisi – sebagai pertunjukan tambahan karena ustaz terlambat hadir – membawa gitar listrik yang telah mati. Gitar listrik itu seperti baru ditembak revolver hingga bagian badannya pecah.
Dari lusuh pakaiannya dan jalannya yang sempoyongan karena terlalu sering begadang, orang-orang sudah dapat mengira penyair itu tidak mungkin memiliki uang memperbaiki gitarnya. Jika sehari setelah malam pembacaaan itu si penyair ditemukan meninggal karena hatinya rusak, orang-orang sudah tidak heran.
Perjalanan Perih Seorang Penyair
Penyair itu menghuni kos 765. Pemiliknya, membiarkan si penyair menempatinya dengan syarat ikut merawat kos yang terdiri dari 8 kamar terutama menyikat toilet setiap pagi. Siangnya ia mengamen dan uangnya ia belikan air mineral beserta seikat nasi kucing. Ia mendapat suplai air putih dari kran toilet dan terkadang ia terlalu lama berada dalam toilet untuk menulis tiga bait sajak.
Sajak-sajak itulah sebenarnya bara api yang membuatnya hidup, bukan tuak maupun sekepal nasi. Orang-orang mengira ia diusir dari rumahnya, tapi hanya sahabat dekatnya – petugas terminal dan kernet bus yang mengetahui ia disuruh orang tuanya pergi untuk menemui jalan hidupnya sendiri, sebagai penyair.
“Jangan injakkan kakimu di rumah sebelum kau kembali sebagai penyair hebat.” Itulah kata-kata terakhir ayahnya yang saat itu mengidap asma akut di usianya yang uzur. Ayahnya pedagang daging sapi di pasar, dan ialah tulang punggung keluarga karena penyair itu anak satu-satunya dan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa.
Penyair itu bisa saja meninggalkan jejak kepenyairannya dan membantu orang tuanya andaikan ayahnya mengijinkan. Tapi ia benar-benar pergi dari rumah, dan tak pernah kembali lagi. Tak tahu ayah dan ibunya telah meninggal lima tahun setelah ia pergi.
Artikel terkait musik. Baca Musik Arab – Islam Menjelajah di Eropa (Part 2)
Sajak tentang Perpisahan Anak dengan Orang Tuanya
Pekerjaannya sehari-hari adalah menulis sajak dan lagu. Sajak-sajak yang tak pernah ditampilkan di koran-koran karena terlalu kontemporer. Sajak-sajak dan lagu yang ditolak media internet karena pembaca di zaman ini tidak menyukai abstraksi sebuah puisi namun kalimat-kalimat denotatif dalam esai dan artikel. Hanya di acara tujuh belasan itulah sajaknya memperoleh panggung. Sehari sebelum kematiannya.
Dan penonton menafsirkan sajak-sajak itu sebagai perpisahan sepasang kekasih dari diksi-diksi yang memberi kesan di akhir kalimat seperti, “senja”, “hidup” dan “cinta”. Tidak ada yang mengerti dalamnya sajak tentang perpisahan anak dengan orang tuanya, tentang berbagai usaha yang terbuang sia-sia, selain anak perempuan yang duduk di baris paling belakang.
Karyamu akan Melegenda
Seorang anak yang memiliki ketertarikan di dunia musik, lewat sebuah piano pemberian orang tuanya. Kedua orang tuanya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan dan neneknyalah satu-satunya kerabatnya di dunia.
Ia memainkan piano sebelum tidur dan mengingat sajak-sajak penyair itu. Bahkan mencatatnya di bukunya. Jika saat dewasa Ia menemukan buku itu lagi di rumah neneknya, ketika lari dari tuntutan label rekaman agar membuat single lagu. Itu hanya kebetulan belaka.
Kau tak akan tahu akan menjadi seperti apa atau karyamu akan jadi melegenda. Prosesnya mirip saat kau lapar dan mengambil snack di lemari sebuah minimarket secara acak.
Penulis: Affix Mareta