Pengembangan Sistem Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren

2316
Pesantren
Sumber Foto Hadila.co.id

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang didirikan sebagai wujud proses perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pondok pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) karena lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren ini sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha.

Baca juga: Praktik Keseharian Jepang dan Syarat Salat dalam Kitab Fathul Mu’in.

Perkembangan dan Sistem Pembelajaran Pondok Pesantren

Lembaga ini muncul pada abad ke-13 dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad ke-18 (Rahim, 2001: 6). Melalui lembaga pesantren ini, Islam meneruskan pola-pola kelembagaan pendidikan tradisional yang sudah ada sekaligus melakukan proses islamisasi secara bertahap. Realitas historis ini sama sekali tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia (Madjid, 1997: 3).

Seperti halnya lembaga pendidikan pada umumnya, pondok pesantren juga memiliki elemen-elemen yang menjadi sebuah keniscayaan bagi berlangsungnya sebuah proses pembelajaran. Elemen utama yang harus dimiliki oleh sebuah pondok pesantren adalah:

  1. Pondok (asrama)
  2. Masjid
  3. Santri
  4. Kyai
  5. Pengajian kitab-kitab Islam klasik yang dikenal dengan kitab kuning.

Dengan demikian, jika memperhatikan elemen-elemen di atas, hal ini berarti apabila ada lembaga pengajian yang telah berkembang dan memiliki minimal lima elemen tersebut, lembaga pengajian tersebut akan berubah statusnya menjadi pondok pesantren. Kelima elemen tersebut saling bersinergi mengikuti sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan sebelumnya. (Dhofier, 1985: 44)

Sistem pembelajaran di pondok pesantren hampir sama dengan lembaga pendidikan umum lainnya, perbedaannya hanya terletak pada alokasi waktu. Jika lembaga pendidikan pada umumnya belajar mengikuti jam pelajaran dari jam 07.00 – 12.00 (kelas pagi) atau dari jam 12.30 – 17.30 (kelas sore), waktu belajar di pondok pesantren adalah setelah selesai shalat shubuh (kira-kira jam 05.00) dan berakhir setelah pengajian isya (kira-kira jam 22.00).

Hal ini dilakukan karena para santri tinggal 24 jam di pondok (asrama) yang telah disediakan oleh pihak pengelola pondok pesantren sehingga para ustadz (guru) dapat lebih leluasa untuk mengawasi seluruh proses pendidikan santri. Perbedaan lainnya adalah pada sistem pembelajaran, jika pada lembaga pendidikan umum proses pembelajaran mengacu pada buku teks yang disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional, maka pondok pesantren selain mengacu pada buku teks tersebut juga menggunakan kitab-kitab klasik Islam sebagai sumber rujukan. Kitab klasik tersebut kemudian dikenal dengan nama kitab kuning.

Istilah Kitab Kuning dalam Pesantren

Kitab kuning sendiri secara sederhana diartikan sebagai buku-buku berhasa Arab yang dipergunakan di lingkungan pondok pesantren. (Bruinessen, 1995: 131). Namun lebih dari itu, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi agama Islam sebagai produk pemikiran para ulama pada masa lampau (salaf) yang ditulis dengan Bahasa Arab dan menggunakan format khas pra-modern sebelum abad ke-17 M.

Kitab kuning identik dengan pondok pesantren salaf karena hampir semua pondok pesantren salaf menggunakan kitab kuning tersebut. Sedangkan pondok pesantren modern sebagian besar sudah banyak menggunakan literatur-literatur kontemporer yang penyajiannya sudah dikemas secara lebih menarik.

Tulisan ini berusaha menyoroti sistem pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren sekaligus memberikan perspektif metodologis melalui pemanfaatan multimedia Maktabah Syamilah dalam proses pembelajaran kitab kuning.

SISTEM PEMBELAJARAN KITAB KUNING DI PONDOK PESANTREN

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadîmah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-‘ashriyah).

Perbedaan antara kitab yang pertama dan kitab yang kedua tersebut salah satunya ditandai oleh cara penulisannya yang tidak mengenal tanda pemberhentian (waqaf), tanda baca (punctuation) dan kesan bahasanya yang berat, klasik dan tanpa syakl (harakat) seperti halnya bacaan dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, sebagian kelompok menyebut kitab kuning sebagai kitab gundul yang berarti kitab tanpa harakat.

Spesifikasi kitab kuning sendiri secara umum terletak pada formatnya (layout), yang terdiri dari dua bagian: matan (teks asli) dan syarh (komentar, yaitu teks penjelasan atas matan). Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri. Sementara syarh, karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan dengan matan, diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab kuning.

Ciri khas lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Kitab kuning biasanya hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiyai.

Metode Bandongan atau Wetonan

Salah satu hal yang membedakan kitab kuning dari buku bacaan biasa adalah metode mempelajarinya. Metode utama yang berkembang di lingkungan pondok pesantren adalah metode bandongan atau seringkali disebut wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok santri secara kolektif akan mendengarkan seorang ustadz yang membaca, menerjemahkan, menjelaskan dan mengulas kitab kuning.

Setiap santri menyimak dan memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangannya) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Catatan-catatan tentang arti dan makna yang disampaikan oleh ustadz (guru) ditulis di dalam buku tulis yang berbeda. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut dengan halaqah yang artinya lingkaran santri atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.

Adakalanya pondok pesantren juga menggunakan metode sorogan tetapi hanya diberikan kepada santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan individual. Dalam metode sorogan, santri membacakan kitab kuning di hadapan kyai yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu-sharf). Dalam prakteknya, metode sorogan menjadi bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional karena sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi yang tinggi dari seorang santri (Dhofier, 1985: 28-29).

Dalam perkembangannya, metode belajar siswa dalam mempelajari kitab kuning seperti yang telah dipaparkan di atas mulai mengalami pergeseran paradigma. Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi partisipatoris) dan halaqah (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat kyai atau para pengasuh pesantren, antara lain untuk membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning

Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Kitab Kuning

Penggunaan kitab kuning berikut kedua metode pembelajarannya tersebut mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain:

  1. Penggunaan kitab kuning konvensional tidak memerlukan keahlian khusus dalam membacanya.
  2. Penyimpanan kitab kuning konvensional juga tidak memerlukan ruangan yang besar karena bisa disimpan di lemari buku biasa
  3. Tidak memerlukan perawatan yang khusus seperti benda-benda elektronik
  4. Tidak memerlukan biaya yang besar karena harga kitab kuning konvensional terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah
  5. Tidak memerlukan biaya tambahan karena penggunaannya tidak memerlukan tenaga listrik.

Sedangkan kelemahannya antara lain:

  1. Penggunaan kitab kuning konvensional dipandang kurang efektif karena para pengguna – dalam hal ini guru dan siswa – harus membuka halaman kitab lembar demi lembar.
  2. Kitab kuning yang dicetak tidak sempurna dimungkinkan akan tercecer, hilang atau jatuh.
  3. Tidak efisien karena siswa harus membeli semua kitab-kitab yang diperlukan sesuai dengan materi yang mereka pelajari.
  4. Informasi yang disajikan tidak komprehensif karena satu kitab hanya memuat satu disiplin ilmu saja.

Terlepas dari unsur kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya, kitab kuning tetap mempunyai peran yang signifikan terhadap perkembangan pondok pesantren karena hampir seluruh pondok pesantren – terutama pondok pesantren salaf (tradisional) – menggunakan kitab kuning sebagai salah satu literatur dalam proses pembelajaran.

Bersambung…

Penulis: Eva Fitrianti,MA.