Pengaruh Budaya Patriarki Dalam Kekerasan Berpacaran

1610
berpacaran
Photo by Milan Popovic on Unsplash

Data dari Simfoni PPA tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar atau teman. Kebanyakan yang menjadi korban kekerasan adalah perempuan yang usianya di atas 15 tahun.

Ini dibuktikan dengan data dari  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) diketahui sebanyak 33,4% perempuan usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual selama hidupnya, dengan jumlah kekerasan fisik sebanyak 18,1% dan kekerasan seksual 24,2%.

Tingginya kasus kekerasan ini menjadi perhatian yang besar bagi masyarakat, apalagi minimnya edukasi seksual di Indonesia. Karena, edukasi ini masih dianggap ‘tabu’ oleh sebagian masyarakat, dan masih adanya pemahaman  patriarki dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel terkait Kekerasan, lihat Santri dan Isu Kekerasan Berbasis Gender Online.

Bentuk-bentuk Kekerasan pada Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan wujud dari kekuasaan kaum laki-laki yang terbentuk karena adanya historis budaya patriarki yang mengakibatkan diskriminasi dan dominasi terhadap perempuan. Kekerasan dalam berpacaran (violence dating) juga menjadi salah satu mekanisme kelompok sosial yang krusial dimana menempatkan perempuan sebagai posisi subordinasi terhadap laki-laki.

Menurut KemenPPPA, bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dalam pacaran dibagi menjadi  lima kekerasan utama, diantaranya:

  1. Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik yang lain.
  2. Kekerasan emosional atau psikologis seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan lainnya.
  3. Kekerasan ekonomi seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan.
  4. Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman.
  5. Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.

Banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang terjerat dalam bentuk kekerasan pembatasan aktivitas, karena dianggap sebagai hal yang wajar sekaligus bentuk rasa peduli dan rasa sayang dari pasangan.

Kekerasan Dipengaruhi Budaya Patriarki

Saya melihat jika kekuasaan kaum laki-laki tidak hanya dipengaruhi oleh faktor budaya patriarki saja, melainkan adanya keyakinan dalam sudut agama yang tertanam kuat di dalam masyarakat secara turun-menurun.

Salah satu contohnya adalah ungkapan “Hawa  diciptakan dari tulang rusuk Adam” akibat dari pemahaman ini adalah bahwa laki-laki pantas mengatur kehidupan perempuan. Padahal pada hakikatnya hak perempuan dan laki-laki itu setara tidak ada ketimpangan.

Menurut saya, mayoritas penyebab kasus kekerasan dalam berpacaran adalah  diakibatkan oleh budaya patriarki yang begitu melekat di kehidupan masyarakat. Lalu, adanya keinginan pada  pihak laki-laki untuk menguasai ataupun mengontrol pasangannya dalam hubungan berpacaran.

Hal ini bisa terjadi karena laki-laki menganggap dirinya superior dan patut untuk menguasai perempuan. Persepsi tersebut berhubungan dengan stereotipe dan bias gender. Maka dari itu, kebanyakan pelaku kekerasan adalah laki-laki dan korban kekerasan adalah perempuan.

Bias gender juga menimbulkan kerugian bagi perempuan, dimana hak konstitusional dari perempuan terampas-jaminan rasa aman, bebas dari kekerasan, dan diskriminasi. Selain itu, dampak sosial  menyebabkan korban tidak mau bicara terhadap permasalahannya.

Apabila ada kasus kekerasan dan pelecehan seksual masyarakat Indonesia masih saja menyalahkan korban (victim blaming).  Ini bukanlah hal baru dalam setiap kasus pelecehan dan kekerasan seksual dan tentunya semakin memperburuk keadaan korbannya.

Dampak Kekerasan dalam Berpacaran

Dampak dari kekerasan dalam berpacaran sangat serius, kita perlu mewaspadai kasus kekerasan ini agar tidak menimbulkan banyak korban lagi. Kekerasan dalam pacaran menimbulkan dampak baik fisik maupun psikis.

Dampak fisik bisa berupa memar, lebam, patah tulang, kehamilan yang tak dikehendaki oleh korban. Sedangkan luka psikis yang dialami korban seperti, depresi, berkurangnya motivasi, kebingungan, kesulitan berkonsentrasi, rendahnya kepercayaan diri, perasaan gagal atau tidak berarti, keputusasaan, menyalahkan diri sendiri dan menghancurkan diri sendiri.

Maka dari itu, mulai saat ini kita harus berhenti untuk menyalahkan korban. Karena, sudah cukup berat penderitaan yang dialami korban, kita sebagai masyarakat seharusnya tidak membebani lagi penderitaannya  dengan menyalahkannya. Bukankah sebagai manusia kita wajib menolong satu sama lain? Setidaknya, dengan kita mendengarkan permasalahan korban, beban yang dideritanya akan berkurang.

Menurut saya, untuk memutus rantai kekerasan seksual seharusnya pemerintah cepat mengesahkan RUU-PKS. Pengesahan RUU ini sangat penting mengingat tingginya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan yang setiap harinya bertambah. Data dari Komnas Perempuan pada tahun 2012-2013, tercatat setiap dua jam, terdapat tiga perempuan yang mengalami kekerasan seksual di Indonesia.

Maka dari itu, pengesahan RUU-PKS sangat penting untuk kasus-kasus kekerasan seksual. Selain itu, pemerintah dan masyarakat hendaknya berpartisipasi dan bekerja sama dalam membetuk suatu gerakan atau organisasi yang intensif untuk menyelesaikan dan mensosialisasikan tentang kekerasan dalam berpacaran, guna meningkatkan pengetahuan remaja mengenai kekerasan dalam berpacaran sehingga dapat menekan angka kekerasan selama ini agar korban-korban kekerasan tidak terjadi lagi.

Penulis: Shifany Maulida Hijjah
(Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)