Pengabdian Santri Untuk Negeri 360 Hari – Part 1

799
Photo by Risna Monika on wikimedia

Rabu, 17 Juli 2019. Pertualangan dan pengabdian untuk daerah kecil ini siap dilaksanakan. Tak ada yang menyangka jika seorang santri biasa yang beberapa hari lalu melaksanakan ikatan sakral dengan santriwati bidikan banyak santri putra di Pesantren kami harus berpisah sementara demi mencapai impian masing-masing. Yang sebelumnya tak pernah ada harapan untuk pergi merantau untuk sebuah pengabdian tetapi sekarang akhirnya takdir Ilahi berkata berbeda. Jika diceritakan dengan flashback apa yang terjadi dihari-hari kemarin sangatlah panjang. Tapi inilah impian yang memang sejak dulu kami inginkan, mengabdi untuk anak-anak bangsa dari sisi yang berbeda. Hanya lafadh Bismillahirrohmanirrohim yang bisa diucapkan dalam memulai perjuangan dan pengabdian kali ini.

Baca juga: Jangan Terlena Popularitas

Kemarin hari selasa setelah tiba di Provinsi Sulawesi Tenggara, kami diterima baik di kanwil kemenag di Kendari. Setelah diberi pengarahan oleh bapak Kabid Pendis, sayalah yang pertama berangkat dari total ketiga teman saya yang bertugas di Sultra ini. Karena perjalanan yang harus menyeberang pulau jadi kami harus kejar jadwal kapal fery. Perjalanan memang masih menyenangkan tanpa beban dengan menikmati pemandangan alam disini. Setelah sampai diseberang pulau, ternyata kami harus lanjut menaiki mobil sewaan menuju daerah di ujung lagi dengan melewati daerah pesisir.

Petualangan ke Plosok NegeriĀ 

Air mata tak bisa dibendung ketika saya telah tiba ditempat tujuan. Setelah saya duduk disuguhi teh panas dan makanan khas daerah situ saya menuju kamar kecil untuk menangis sekencang-kencangnya. Ini mungkin hal yang tak akan terlupakan seumur hidup. Melihat rumah-rumah panggung di pinggir laut sungguh keadaan yang sungguh berbeda dengan perspektif saya sebelumnya. Apa aku akan kuat hidup disini selama setahun?

Dipagi ini saya berangkat menuju sekolah tempat tugas. Saya diantar oleh salah 1 pegawai kanwil untuk pemasrahan. Sekolahannya memang berada sedikit ditengah kebun/hutan, tapi sekolahannya bagus sekali tidak seperti dibayanganku sebelumnya dengan sekolah tembok kayu yang lapuk ala laskar pelangi. Setelah saya pelajari ternyata sekolahan ini bangunan kerjasama antara Indonesia dan Australia. Saya diterima sangat baik sekali oleh pak KS dan kawan guru-guru lain.

Ternyata disini banyak juga guru yang baru datang. Ada 8 guru CPNS yang baru senin kemarin masuk. Saya sedikit-sedikit mengenal teman-teman guru dan masyarakat disini. Setiap pagi dan sore saya jalan mengelilingi kampung ini. Ya desa Tekonea nama tempat tinggal dan tempat sekolah tugas kami.

Baca juga: Menjadi Fresh Graduate Yang Bersahaja di Tengah Pandemi

Setelah komunikasi dengan banyak masyarakat disini saya banyak belajar tentang pulau ini. Pulau Wawonii namanya atau kabupaten Konawe Kepulauan. Sebenarnya kabupaten ini beberapa tahun lalu masih menjadi satu dengan Kabupaten Konawe yang letaknya di daratan sana. Tapi karena memang untuk mengurus administrasi negara seperti kependudukan harus menyeberang pulau belum lagi membuang waktu dan uang yang banyak, maka sekarang berdiri sendiri menjadi sebuah kabupaten. Ya meski sekarang memang dalam tahap pembangunan, tapi sedikit demi sedikit pulau ini semakin berkembang.

Maka dari itu inginnya masyarakat kabupaten diubah menjadi kabupaten Wawonii, tapi karena memang ada beberapa hal yang mengganjal jadi sampai detik ini namanya tetap Kabupaten Konawe Kepulauan. Saya tinggal disegelumit desa pesisir yang dikelilingi hutan ini sudah dimekarkan menjadi 4 desa yaitu Desa Tekonea, Desa Butuea, Desa Wakadawu dan Desa Saburano. Jika semua desa ini digabung maka disebut dengan Tekonea Raya. Dengan melihat desa diujung dan di pulau yang berdiameter 114 km ini saya berpikir jika didisini terjadi tsunami, apakah kami semua disini akan baik-baik saja? Allahu a’lam bissowwab.

Desa Di Tengah Hutan

Kampung yang cukup padat rumah dan penduduk ini ada lebih dari 1000 orang yang hidup disini. Dengan desa yang dikelilingi hutan dan dibatasi langsung dengan laut lepas Banda, masyarakat berpencaharian sebagian besar adalah petani kebun dan nelayan. Siang di hutan dan malam di laut, begitulah kehidupan warga disini. Bahkan anak-anaknya pun juga ikut membantu orang tuanya untuk banting tulang.

Tapi sayangnya tak semua anak disini baik. Ya pastilah, namanya juga hidup. Kalau pelangi hanya mempunyai 1 warna pasti tidak akan indah, sama dengan sifat manusia, jika semua baik pasti neraka tidak akan laku, hhee. Bahkan anak yang nakal disini perilakunya tidak jauh dengan anak kota. Memang jaman milenial sekarang sudah melanda dimana-mana termasuk desa kecil nan jauh ini.

Teringat pertama datang melihat jalanan yang cukup sulit dilalui. Ya memang disini tak ada sinyal internet, tapi ternyata anak-anak sungguh pintar mengoperasikan HP. HP sekelas android seperti dedaunan yang berterbangan. Dimana-mana anak sudah memainkannya. Yang lebih parah anak-anak sudah mengenal perilaku-perilaku yang tidak pantas dilihat melalui gadget mereka.

Ternyata internet mereka akses di desa agak jauh sana sekitar 18 km dari sini, tapi yang namanya keinginan hawa nafsu, jarak bukanlah halangan. Bahkan pernah ada isu di sekolah tempat saya tugas di bulan puasa kemarin telah terjadi pesta seks 16 pasangan, info dari petugas Puskesmas setempat pada hari rabu tanggal 24 Juli 2019. Wowww, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Tapi memang dilihat dari wajah-wajah mereka kata guru-guru juga terlihat pucat tidak seperti wajah umumnya sesuai dengan umurnya. Bersambung…

Penulis: Ahmad Jakal
(Alumni Program Bina Kawasan 3T Kemenag RI)