Nyala Obor di Nusantara Menyambut Lailatul Qadar

794
Photo by ‏🌸🙌 فی عین الله on Unsplash
Photo by ‏🌸🙌 فی عین الله on Unsplash

Oleh: Raudatul Ulum

(Penikmat Kopi dan Berkeliling Nusantara) 

Nusantara dikenal memiliki keragaman budaya, termasuk di dalamnya tradisi keagamaan yang berkembang sejak kedatangan agama besar, terutama masifnya Islam di berbagai penjuru dari sabang sampai merauke. Islam memberikan pengaruh sangat kuat, menyatu dengan lingkungan budaya dan menyiptakan banyak sekali tradisi keagamaan.

Agama Islam memberikan pengaruh yang kuat terhadap tumbuh kembangnya pola hidup keagamaan, setidaknya ramah terhadap kearifan lokal. Aspek ritual dari agama merefleksi pada pernak pernik kegiatan sosial rutin, entah itu harian, bulanan atau tahunan, atau kala waktu tertentu misalnya seribu hari, mewarna di berbagai tempat.

Memasuki masa datangnya malam malam ganjil di sepuluh hari ramadhan, masyarakat nusantara memiliki ragam kegiatan untuk menyiapkan diri, tidak hanya pada ibadah namun juga penyemarakan lingkungan melalui alat penerang dari yang tradisional sampai dengan lampu masa kini. Secara tradisional lampu penerang berbentuk obor, pelita atau damar, secara fungsional di samping sebagai suluh dari gelapnya suasana kampung, juga sekaligus sebagai penanda waktu menjelang datangnya Lailatul Qadar.

Di Aceh, satu desa bernama Gosong Telaga memiliki tradisi lampu menara sayak, yaitu batok kelapa yang dilubangi dan disi minyak tanah. Lampu atau obor dinyalakan kemudian diletakkan di depan rumah, serta pada beberapa tempat dibuat secara bersusun seperti menara. Jumlahnya selalu ganjil sebagai simbol dari datangnya malam kemuliaan di tanggal ganjil sejak tanggal 21 sampai 29 ramadhan.

Selanjutnya, terdapat istilah mengintai malam Lailatul Qadar pada sebagian masyarakat Sumatera Barat dengan membuat lampu dari bambu yang dilubangi sebanyak 27, lubang ganjil menjadi simbol kemungkinan datangnya malam mulia di tanggal yang dimaksud. Terangnya rumah dan lingkungan diharapkan dapat menyambut datangnya malaikat untuk memberi keberkahan serta lambang ilmu pengetahuan. Sama seperti tradisi di Sumatera Barat, masyarakat Kepulauan Riau juga memuliakan malam ganjil memuncak di tanggal 27 ramadhan (Nujuh Likur), mereka datang saling mengunjungi dan mendoakan kemuliaan pada momen Lailatul Qadar.

Kebiasaan membuat lampu juga terjadi di Kepulauan Riau, dalam hal ini Kabupaten Lingga menghidupkan ramadhan dengan membuat lampu cangkok. Lampu cangkok sendiri sejenis pelita yang dibuat banyak dan bisa disusun sedemikian rupa bentuk sesuai dengan cita rasa penyusunnya, dalam acara yang besar biasanya berbentuk gapura atau kubah mesjid. Filosofinya formasi cangkok mencitrakan spiritualitas, atas ketaatan atau ketundukan sebagai hamba.

Festival Tanglong cukup lama bertahan dan sedapat mungkin dilaksanakan oleh masyarakat Banjarmasin. Seperti umumnya suku Banjar di Kalimantan Selatan, mereka membuat Tanglong pada sepuluh hari akhir ramadhan. Tanglong adalah sejenis lampu lampion dibuat dalam berbagai bentuk kemudian diarak oleh warga keliling kota atau desa. Di tempat lain, satu desa di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, yaitu Buluh Kahakan pada momen yang sama membuat lampu minyak berbahan bambu yang disusun baris sepanjang jalan desa.

Tradisi tersebut dikenal sebagai Batatarangan, menerangi jalan desa dan rumah, dimaksudkan sebagai penanda masuknya Lailatul Qadar. Semua masyarakat desa diajak untuk masuk dalam momen keberkahan atas kemuliaan malam seribu bulan.

Adapun masyarakat di pulau pulau Maluku mengenal istilah Ocoran atau Ronda Obor[1], dikenal juga di berbagai penjuru kepulauan tersebut istilah malam tujuh likur (27 ramadhan). Di mana, pada saat menjelang malam ke dua puluh tujuh ini, tradisi unik terjadi di beberapa tempat, misalnya di Desa Lha Kabupaten Seram Bagian Barat masyarakat membuat ketupat, populer dengan Tupat Jiwa. Kenapa ada jiwa, kemungkinan berkenaan dengan sumbangan ketupat yang disesuaikan dengan jumlah penduduk desa, sehingga pengadaan ketupat tersebut dapat menjadi sensus desa.

Sedangkan di Seram Bagian Timur diketahui juga memeiliki tradisi Katupa Aer (ketupat air). Sejumlah ketupat yang dikumpulkan dari hampir seluruh warga desa nanti akan dibagikan ke beberapa pihak, mulai dari penghulu mesjid, orang i’tikaf sampai dengan fakir miskin. Lain lagi di daerah Tulehu, masyakarat membakar damar, atau lampu obor yang dibuat dari tempurung kelapa diletakkan di depan rumah penduduk dan jalan ke arah mesjid. Makna simbolisnya adalah terangnya cahaya berpendar ke seluruh desa terutama jalan ke rumah ibadah demi mengharapkan kelancaran peribadatan untuk mendapatkan kemuliaan Lailatul Qadar.

Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, suku Kei memiliki karakteristik yang juga unik dalam banyak bentuk. Penganut Islam di Kepulauan Kei sangat lekat dengan tradisi lokal, sebagai anggota suku meskipun berbeda agama, diikat dalam Larvul Ngabal yang mengatur hidup bersama dalam satu aturan adat.

Namun dalam halnya menjelang malam malam ganjil di sepuluh hari terakhir ramadhan, pemeluk Islam di Kota Tual dan Kei Kecil menyalakan Damar Matan Laay (Lampu mata besar), diletakkan di depan rumah dan di kuburan. Biasanya hanya di malam ganjil (21,23,25,27) terang lampu yang terbuat dari bambu sebagai simbol dari pancaran cahaya kebenaran, simbol kemuliaan Lailatul Qadar yang membawa keberkahan bagi rumah dan penghuninya serta mereka yang telah meninggal.

Tradisi menyambut datangnya Lailatul Qadar tentu saja juga terjadi di masyarakat Jawa, istilah Selikuran dan Maleman dikenal mulai dari Cirebon, Yogyakarta, Solo sampai dengan Banyuwangi, begitu juga di Madura. Berbagai istilah lokal juga dimiiliki pada masing masing tempat, namun beberapa irisan penting terhadap fakta dengan tradisi keagamaan di luar Jawa yang di atas, yaitu istilah likur, penyalaan obor dan bersedakah makanan melalui simpul kegiatan ibadah malam.

Kata likur sendiri dikenal secara domestik dalam bahasa Melayu dan Jawa, Madura, umumnya mengenal likur sebagai hitungan antara 20-30, pada bulan ramadhan akhirnya menyatu ke dalam isitlah selikur, tujuh likur.  Irisan simbolik tersebut cukup unik dan masif terjadi di berbagai tempat, dengan kata lain istilah dan pola menyampaikan simpul pemahaman bahwa sebaran Islam di Nusantara memiliki kesamaan satu dengan yang lain, baik itu aspek kemasan dan model dakwah di awal kedatangannya, ataupun makna atas ritus sosial yang dilakukan secara turun temurun.

Aspek penanda melalui istilah likur dan penyalaan obor memberi pesan tentang penyesuaian keislaman pada berbagai kultur tersebut disengaja sebagai strategi, juga memiliki indikasi akan kendali penyebaran Islam yang sama, dengan mengangkat tujuan penyakralan turunnya Alquran dan keutamaan Lailatul Qadar menyatu dalam jiwa nusantara.

Wallahu a’lam.

[1] Dikutip dari tulisan Hasbollah Toisutta, Rektor IAIN Ambon, beritabeta.com/opini/lailatul-qadr-dalam-kearifan-lokal-orang-maluku/. Diunduh tanggal 19 Mei 2020, pukul 21.30.