Oleh :Yudi Septiawan
(Dosen ISB Atma Luhur Bangka Belitung)
Momen perayaan Idul Fitri, atau yang lebih santer dengan istilah “Lebaran”, adalah momen yang sangat dinanti oleh setiap umat muslim di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali umat muslim di Indonesia. Momen lebaran adalah saat dimana kita bisa berkumpul bersama keluarga, bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga, hingga bernostalgia dengan teman lama. Momen lebaran seolah menjadi penawar rindu bagi para perantau. Momen lebaran juga sangat erat dengan tradisi sosial orang Indonesia yakni mudik (mulih dilik) yang artinya ‘pulang sebentar’.
Namun, lebaran tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Wabah Corona sedang memangsa warga yang jumawa dan tidak mau stay di rumah. Imbauan pemerintah pusat sudah semestinya ditaati agar negeri ini bisa pulih dan bangkit kembali.
Terlepas dari wabah mematikan saat ini, esensi lebaran sepertinya tidak pernah sirna sama sekali dalam tatanan masyarakat kita. Lebaran tetaplah lebaran. “Baju baru, sepatu baru, Alhamdulillah, dipakai di hari raya, ”. Senandung lagi yang begitu populer di telinga kita terus mengaum ketika lebaran tiba. Tidak sah rasanya kalau lebaran tanpa pakain baru. Selain pakaian baru dan sepatu baru, momen lebaran tentunya menjadi saat yang dinanti bagi anak-anak. Ya, mereka akan mendapat banyak ‘kucuran dana’ dari saudara dan tetangga. Momen lebaran amat erat dengan tradisi bagi-bagi duit (bahasa kerennya THR/Tunjangan Hari Raya).
Kita semua tentu punya cara dan tradisi tersendiri ketika merayakan lebaran. Apalagi jika merayakan lebaran di kampung halaman tercinta. Nah, penulis ingin membagikan sedikit cerita tentang keunikan lebaran di kampung halaman penulis, yakni Bangka Belitung. Mungkin ada beberapa dari sahabat setia Mading yang pernah merasakan lebaran di Bangka Belitung, atau ada dari sahabat setia Mading yang merupakan warga asli Bangka Belitung dan tidak berkesempatan mudik tahun ini? Semoga cerita singkat ini bisa melepas kerinduan akan kampung halaman.
Nganggung Dulang (Sepintu Sedulang)
Tradisi Nganggung ini merupakan tradisi yang sangat kental bagi seluruh masyarakat Melayu Bangka Belitung. Tidak sah lebaran kalau tidak ada acara Nganggung di Masjid, balai desa, atau mushola. Setiap dusun, kampung, dan kota pasti mengadakan tradisi ini sehabis salat Ied. Jadi kalau habis solat ied lapar melanda, datang saja ke masjid, makanan pasti melimpah ruah.
Sebagai informasi bahwa ‘nganggung’ artinya yaitu menggotong/membawa. Konteks disini yaitu membawa makanan lengkap di atas dulang dengan tudung saji berwarna merah dan bermotif. Sedangkan ‘sepintu’ artinya satu pintu, dan ‘sedulang’ artinya satu dulang. Jadi, secara utuh, makna dari Nganggung Sepintu Sedulang ialah tradisi makan bersama antar warga yang diadakan di masjid/langgar/balai desa/mushola dengan sajian makanan khas lengkap di atas dulang dan ditutup dengan tudung saji.
Nah, orang-orang yang mengikuti acara nganggung dulang, biasanya akan mengangkat dulang ke atas bahu kanan mereka. Kemudian berjalan beriringan memasuki surau atau balai desa. Setelah itu, dulang diletakkan dengan berjajar memanjang. Warga yang datang akan duduk saling berhadapan. Sebelum memulai acara, biasanya diisi oleh sambutan kepala kampung, dilanjutkan doa bersama, baru kemudian bersantap. Kurang lebih seperti itulah gambaran singkat Nganggung Sepintu Sedulang. Bagi masyarakat Melayu Bangka Belitung, tradisi ini sering dilaksanakan setiap peringatan hari-hari besar seperti lebaran, Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Malam Nisfu Sya’ban, atau penyambutan tamu kehormatan.
Secara filosofis, tradisi Nganggung Dulang merupakan wujud semangat gotong-royong antarwarga. Selain makan bersama, melalui tradisi ini setiap warga bisa saling berinteraksi dan bertukar pikiran. Lebih dalam lagi, tradisi ini juga bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi sesama warga, supaya tercipta kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Wah, sangat Pancasila sekali!
Sebagai putra daerah, penulis tentunya patut bangga karena warisan dan tradisi budaya lokal ini tetap terpelihara hingga kini. Penulis berharap bahwa tradisi ini tetap bisa dipertahankan seiring derasnya arus perkembangan zaman. Apakah tradisi ini akan sirna dua puluh tahun lagi? Semoga saja tidak, karena budaya dan tradisi akan tetap terjaga apabila masyarakatnya tetap setia dan menjunjung tinggi kearifan lokal daerah asalnya. Semoga, teman-teman sahabat setia Mading suatu saat bisa merasakan langsung tradisi Nganggung Dulang di Bumi Serumpun Sebalai ini, baik ketika momen lebaran, atau momen-momen lainnya. Selamat lebaran.