Oleh: Jamal Jufree Ahmad
(Anggota Redaksi CakNun.com, tinggal di Chicago, Amerika Serikat)
Praktis dua bulan sudah saya tidak sholat jumat. Ini rekor terpanjang dalam sejarah hidup saya semenjak aqil baligh. Akibat Covid-19, yang biasanya jumatan digelar di kampus, kini tidak ada lagi. Semua mahasiswa dipulangkan. Kuliah dari rumah saja. Ibadah juga di rumah.
Para pengurus masjid dan jamaah, mereka semua mematuhi perintah Gubernur Illinois untuk ‘Stay at Home’ sejak 21 Maret. Praktis peribadatan rutin termasuk jumatan ditiadakan sampai pemberitahuan berikutnya, yang entah kapan.
Masjid terdekat dari rumah kami adalah Masjid Al-Faatir. Masjid ini cukup legendaris. Masjid terbesar di “kelurahan” Kenwood, tetangga “desa” Hyde Park, bagian selatan Chicago. Tahun 1983 ia dibangun. Tanahnya adalah sumbangan dari petinju yang “melayang seperti kupu-kupu, tapi menyengat bagai tawon”. Ya, dialah Muhammad Ali.
Kenwood banyak dihuni warga Amerika keturunan Afrika dan secara umum, mereka tinggal di selatan Chicago. Termasuk Michelle Obama, yang lahir dan besar di sana. Yang setelah menikah dengan Barack Obama, mereka membeli rumah di Hyde Park, tidak terlalu jauh dari Masjid Al-Faatir.
Tapi saya baru sekali jumatan di masjid ini. Karena ada yang lebih dekat, yaitu di kampus University of Chicago. Di kampus, jumatan dihelat dalam dua kloter di dua tempat berbeda. Jamnya selalu tetap. Kloter pertama jam 13.00, bertempat di salah satu ruangan rapat di rumah sakit kampus. Kloter kedua di sebuah Chapel di tengah kampus. Kalau di rumah sakit takmirnya adalah karyawan muslim di sana, sedangkan di Chapel diurus organisasi mahasiswa muslim kampus. Di Masjid Al-Faatir jumatan juga tiap jam 13.00.
University of Chicago adalah salah satu universitas kondang di Amerika. Alumninya dari Indonesia yang juga kondang ada tiga: Almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), Buya Syafi’i Ma’arif, dan Bapak Amien Rais. Apakah saya akan ikut jadi alumni kondang juga nantinya? Tentu tidak! Karena yang kuliah di sini hanya istri saya. Haha. Saya hanya katut ngancani saja.



Karena Masjid Al-Faatir didirikan oleh komunitas African-American, maka mayoritas jamaahnya kulit hitam. Hal lain yang membuat saya hanya sekali jumatan di sana selama delapan bulan di sini, adalah karena khutbahnya lama. Satu jam. Kalau di kampus, diskon setengahnya. Karena kalau lama-lama, yang mahasiswa bisa ketinggalan kelas, yang karyawan dimarahi bosnya.
Peserta sholat jumat di kampus lebih heterogen, bahkan sangat jarang yang African-American. Mereka mahasiswa keturunan Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika Utara, dan Asia Tenggara. Banyak juga bule muslim, yang rata-rata muallaf. Tahun ini mahasiswa Indonesia yang kuliah di sini ada sekitar 20 orang dan lebih dari separuhnya muslim.
Heterogenitas muslim ini tidak hanya di universitas, melainkan juga di Chicago. Diperkirakan ada hampir 500.000 muslim di kota ini. Muslim Bosnia termasuk penduduk muslim angkatan pertama pada awal abad 20. Hingga seabad kemudian, muslim Asia Selatan banyak terlihat. Kalau muslim kulit hitam berada di area selatan, imigran muslim Asia dan Timur Tengah banyak tinggal di utara sehingga lebih banyak masjid di sana.
Ada sebuah jalan di utara, namanya Devon Avenue. Jalan panjang yang melintang dari timur ke barat ini disebut juga Chicago’s Little India and Pakistan. Pertokoan, supermarket, dan restoran ala India-Pakistan terkonsentrasi di sana. Mau cari makanan halal sangat banyak. Melintasi jalan ini, sangat terasa nuansa budaya Asia Selatan.
Karena imigran muslim Asia banyak mendiami wilayah utara Chicago, maka masjid-masjid pun lebih banyak di wilayah ini dibanding selatan Chicago. Kalau tidak ada pagebluk Covid-19, Ramadlan kali ini mungkin kami akan banyak safari Ramadlan ke berbagai masjid. Utamanya sih pengin ifthar, mencicipi aneka kuliner dari berbagai budaya muslim dari berbagai negara. Haha.
Untuk mengenalkan lidah kepada rasa masakan yang dihasilkan budaya manusia di seluruh dunia, tidak perlu pergi ke negara asalnya. Cukup keliling Amerika, insya Allah ada. Termasuk yang halal. Mau icip-icip makanan Kurdishtan, di pusat kota Chicago bisa. Penasaran dengan bumbu-bumbu Mediteranian, di dekat rumah ada. Ingin makan ala Timur Tengah, bisa beli di The Halal Guys, yang sudah buka cabang di beberapa Mal di Jakarta itu.
Ingin nasi Biryani juga banyak macamnya. Mau di restoran ala India atau Pakistan, tinggal pilih di Chicago. Ingin tahu bagaimana rasanya kambing panggang Afrika ala Senegal yang ternyata rasanya nggak jauh-jauh amat dengan Sate Klathak di Jogja, tinggal jalan kaki ke barat dari Masjid Al-Faatir. Atau curious dengan panganan Asia Tengah, tidak perlu ke Kazakhstan, Tajikistan, atau Uzbekistan, ternyata di kota ini ada yang jual.
Namun, itu semua bisa didapatkan dengan harus merogoh kocek yang agak dalam. Karena di Google Map, kategori restoran-restoran itu rata-rata ditandai dengan $$ bahkan ada yang $$$. Artinya itu tidak ekonomis. Bagi kami mahasiswa yang hidup dari beasiswa, keliling masjid-masjid untuk buka puasa dengan menu berbagai negara adalah harapan yang realistis. Seperti kala masih kuliah dulu, menjelang magrib rajin ngantri nasi bungkus di Masjid Fathullah Ciputat, dan kadang kalau tidak ketiduran ikut iktikaf 10 malam terakhir demi bungkusan sahur. Meskipun harapan itu sirna tahun ini oleh coronavirus.
Semoga Ramadlan tahun depan impian ini bisa terwujud. Amin.