Oleh: Dadan Rizwan Fauzi, M.Pd.
(Founder Forum Intelektual Muda Nahdliyyin FIMNA)
Menjelang hari raya idul fitri, kita selalu menyaksikan bagaimana orang-orang bergerak untuk pulang ke kampung halaman (mudik). Pada momen ini, setiap orang yang mudik biasanya membawa kabar bahagia kepada keluarganya. Cerita tentang kesuksesan studi, kenaikan pangkat jabatan, kesuksesan bisnis, ataupun cerita tentang seorang jomblo yang telah menemukan tambatan hatinya. Semua hal itu terbalut indah dalam suasana “Lebaran”.
Akan tetapi, ada nuansa berbeda pada momen lebaran kali ini. Wabah Covid-19 yang masih belum menunjukan tanda-tanda berakhir, memaksa kita menerima kenyataan untuk “puasa mudik”. Silaturahmi dan mudik yang menjadi ciri Idul Fitri, kini harus kita tempuh dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Hal demikian dilakukan, sebagai upaya menahan transmisi penularan Covid-19.
Untuk mengatasi persebaran Covid-19, pemerintah telah menerbitkan PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Sekala Besar (PSBB). Prakteknya, masyarakat dihimbau untuk belajar, beribadah, dan bekerja dari rumah (work from home). Bahkan lembaga keagamaan (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa yang menganjurkan ibadah di rumah dan tidak ke masjid sementara waktu, termasuk dalam pelaksanaan Idul Fitri .
Meski demikian, adanya PSBB bukan berarti harus menunda lebaran. Karena sesungguhnya pada momen Idul Fitri, setiap muslim sedang menjalani teologi “ilaihi roji’un”. Pada saatnya nanti, setiap orang pasti mudik ke kampung halaman abadi (mudik spritual) untuk kembali ke hadapan Allah sang maha pemilik segalanya. Bekal terbaik untuk mudik hakiki ini adalah taqwa, sebagaimana tujuan berpuasa yakni “la’alakum tattaqun”.
Dalam surat Ali Imran ayat 133-135, dijelaskan bahwa taqwa dimaknai sebagi sikap “rela menginfakkan harta dalam kedaan susah dan senang, mengendalikan amarah, memaafkan orang lain, sering berbuat baik, cepat meminta maaf bila berbuat salah dan tidak mengulanginya lagi”. Dengan kata lain, taqwa erat kaitannya dengan relasi-sosial, etika, dan integritas ketauhidan.
Fondasi Menuju Fitrah Manusia
Supaya puncak ketaqwaan itu dapat terlaksana, ada empat fondasi yang harus kita laksanakan. Pertama, mengesakan Allah (tauhid). Menurut ajaran Islam, manusia terlahir ke dunia sebagai makhluk yang beriman kepada Allah. Keimanan ini adalah fitrah Allah yang ditetapkan untuk manusia sehingga selamat dan teguh di jalan hidup yang lurus. Hal ini sudah diikrarkan manusia sejak masih dalam alam arwah sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Al-quran surat Al-A’raf ayat 172.
Dengan demikian, manusia dituntut untuk menyembah hanya kepada Allah, dzat yang Maha Esa dalam segala totalitas, sifat, dan perbutan-Nya. Perakteknya, ketauhidan ini harus tercermin melalui keyakinan dalam hati, penegasan lewat lisan, dan diwujudkan dalam perbuatan. Dengan tauhid yang murni, setiap manusia akan memiliki sifat pengabdian yang tulus, optimis, dan teguh pendirian dalam menjalankan kebenaran.
Kedua, menjaga hubungan dengan Allah (hablun minallah). Sebagai mahluk ciptaan Allah, terdapat dua pola hubungan antara manusia dengan Allah, yaitu pola yang didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah dan sebagai hamba (abdullah). Kedua pola ini harus dijalani secara seimbang, lurus dan teguh, sehingga membawa manusia kepada kedudukan dan fungsi kemanusiaan yang sempurna.
Menurut konsep tasawuf, ibadah didorong oleh salah satu dari tiga “rasa”: yakni takut (khauf), harap (raja’) dan cinta (hubb). Ibadah yang didorong oleh rasa takut (khauf) dan rasa harap (raja’) memiliki derajat yang rendah, karena pengabdiannya masih bersifat pamrih, yaitu karena takut mendapatkan siksa neraka maupun berharap mendapatkan surga yang keduanya sama-sama makhluk Allah. Sedangkan ibadah karena rasa cinta (hubb) menempati derajat paling tinggi, sebab pengabdian yang dilakukan benar-benar karena cinta kepada Allah SWT,
Ketiga, menjaga hubungan baik sesama manusia (hablun minanas). Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah. Prinsip ini akan menghilangkan sifat feodalisme dan melahirkan masyarakat yang egalitarian untuk mengembangkan diri dalam kesalehan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Wolkinson dan Pickett (2010), bahwa egalitarianisme merupakan spirit kemajuan yang meniscayakan adanya kompetisi yang sehat di antara sesama warga negara.
Dalam suasana pandemi Covid-19, keshalehan sosial kita benar-benar sedang diuji. Penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang menyurutkan kehidupan sosial dan ekonomi, memantik kesadaran manusia sebagai makhluk sosial. Pada konteks ini, setiap muslim hendaknya mampu bertindak sistematis, profesional, dan empati dengan berlandaskan pada ukhuwah (persaudaraan dan kebersaman). Baik ukhuwah Islamiyah (sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (sebangsa), maupun ukhuwah basyariyah (sesama manusia).
Keempat, hablun minal alam. Alam semesta adalah ciptaan Allah SWT. Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Sebagaimana firman Allah dalam Al-quran surat Hud ayat 61 “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya“.
Dari penjelasan ayat tersebut, Allah memerintahkan kita sebagai khalifatul ardhi (pemimpin di bumi) agar memakmurkan bumi. Memakmurkan dalam arti memelihara, menyelamatkan, dan mengelolanya dengan baik dan benar, sehingga menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagian lahir batin bagi segenap umat manusia. Jangan sampai kita mengeksploitasi bumi dan isinya untuk kepentingan sesaat, karena hal itu akan mendatangkan kemadharatan bagi kehidupan kita.
Dengan demikian, semoga Idul Fitri benar-benar menjadi momentum yang sesuai dengan artinya, yakni kembali pada kondisi fitrah manusia. Pemaknaan Idul Fitri seperti itulah yang akan membawa manusia menuju apa yang sering diucapkan sebagai minal ‘aidzin wal fa‘idzin, yakni orang-orang yang kembali menemukan nurani, jati diri, dan kehangatan illahi. Mereka meraih ketenangan rohani, kebahagiaan keluarga, dan kedamaian dengan sesama.