Jargon yang Masih Ambigu
Sekilas memang tidak ada yang salah dari jargon “Kembali kepada Alquran dan Sunah” yang belakangan banyak muncul dari sejumlah kalangan. Tetapi, seperti apakah bentuk dan polanya? Apakah yang dimaksud adalah pembacaan secara literal dan tekstual terhadap ayat atau hadis-hadis itu? Ataukah pemaknaan liberal yang menitikberatkan pada rasionalitas? Atau seperti apa?
Dalam titik ini, ternyata realisasi jargon itu tidaklah sederhana seperti yang dikira. Pembacaan yang berat sebelah entah secara literal atau liberal justru akan berdampak pada “pereduksian” teks itu sendiri dan dalam level tertentu malah memburamkan substansi syariat Islam yang agung.
Di sinilah letak urgensi dan pentingnya alat atau peranti pendukung upaya eksplorasi terhadap teks, seperti ilmu ushul fikih. Sebab, teks tidak selamanya bersifat umum (‘aam), terkadang ada pembatasnya (khash), ada lafal-lafal yang muthlaq atau muqayyad, dan begitu seterusnya.
Moderasi dan Karya Ulama
Apa yang dilakukan Abu Hamid al-Ghazali dalam mahakaryanya di bidang ushul fikih, al-Mustashfa, bisa dilihat sebagai sebuah upaya luar biasa dalam mendudukkan teks secara proporsional. Moderasi al-Ghazali begitu kentara dalam karyanya itu.
Kitab yang berjudul al-Mustashfa fi Ilm al-Ushul ini bukti kepiawaian al-Ghazali dalam pembacaan secara integral dalil-dalil syar’i, baik Alquran, hadis, ijmak, atau qiyas. Pola penulisan yang sangat sistematis dan logis ini tak terlepas dari latar belakang al-Ghazali yang juga pakar di bidang filsafat.
Al-Ghazali sukses memasukkan ilmu logika dalam tradisi pemikiran Islam tanpa harus mengerdilkan tatanan teks dan syariat. Keberhasilan yang disebut-sebut belum pernah dicapai oleh pemikir sebelumnya.
Imam as-Syafi’i dikenal dengan sikap antipatinya terhadap ilmu logika sebagai produk Yunani. Dari kalangan teolog, nama al-Baqilani yang beraliran Asy’ari juga demikian, tak begitu antusias dengan produk pemikiran Yunani tersebut.
Karya yang Saling Menginspirasi
Capaian al-Ghazali ini menginspirasi para ulama pada periode berikutnya dalam meletakkan ilmu logika sebagai bagian dari khazanah intelektual Islam. Ibn al-Hajib menggunakan ilmu logika dalam kitabnya Muntaha al-Wushul wa al-Amal, begitu juga al-Qarafi di kitab Syarh Tanqih al-Fushul.
Tak terkecuali Ibnu Quddamah yang bermazhab Hanbali. Ibnu Quddamah memakai paradigma ilmu logika dalam karyanya Raudlat an-Nadhir wa Jannat al-Munadhir. Keberhasilan al-Ghazali ini kian mengkristal ketika penguasaan ilmu logika dikategorikan ke dalam salah satu syarat bolehnya berijtihad. Langkah ini juga diamini al-Razi dan al-Qarafi.
Artikel terkait Agama dan di Era Modern, lihat Religion in Modern Era: Can We Understand Our Faith.
Metode yang menurut al-Ghazali paling tepat dan sesuai dengan prinsip agama yang agung adalah metode yang menggabungkan dua aspek sekaligus, yakni teks dan rasionalitas, alias tidak berat sebelah. Sikap semacam ini berada di tengah-tengah dua kubu yang berseberangan, yaitu kaum literalis dan liberalis. Inilah mengapa kitab al-Mustashfa didaulat sebagai revolusi kitab ushul fikih ketika itu sekaligus pendobrak stagnasi pemikiran fikih.
Moderasi itu juga tampak dari toleransi al-Ghazali menyikapi perbedaan pendapat. Al-Ghazali dalam al-Mustashfa menegaskan bahwa pendapat-pendapat fikih bersifat relatif bisa saja salah dan mungkin pula benar. Seorang mujtahid yang benar-benar dibekali dengan kemampuan berpotensi benar. Sikap tersebut menetralisir serangan al-Ghazali terhadap Abu Hanifah. Hujatan al-Ghazali tertuang dalam kitabnya al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul.
Moderasi Yang Diakui oleh Non Muslim
Moderasi yang dicetuskan al-Ghazali itu mendapat pengakuan dari cendekiawan non-Muslim. Seorang pemikir Yahudi yang kerap menerjemahkan karya-karya al-Ghazali, yakni Ishaq al-Balak, dalam kitab al-Maqashid mengapresiasi moderasi al-Ghazali. “Kitab al-Mustashfa menggabungkan corak filsafat dan keyakinan yang jamak berlaku di kalangan awam,” ungkapnya.
Jika seorang Yahudi saja kagum terhadap prinsip dan sikap moderasi yang menjadi ruh Islam, mengapa kita, umat Islam sendiri, justru kerap tergesa-gesa mendudukkan teks hanya dalam satu sisi. Tanpa menimbangnya dalam kerangka yang lebih luas dan komprehensif dengan “sembunyi” di balik jargon “Kembali kepada Alquran dan Sunah”, meski dengan penguasaan ilmu syar’i yang jauh dari kata mapan.
Penulis: M. Nashih Nashrullah