Oleh: Ahmad Wari
(Alumni PTN, Penikmat Durian dan Wisata Kuliner)
Masih ingat soal unggahan Instastory yang mengaku alumni Universitas Indonesia (UI) dan ribut soal gaji ?
“Jadi tadi gue diundang interview kerja perusahaan lokal. Dan nawarin gaji 8juta doang. Hellooo meskipun gue fresh graduate gue lulusan UI Pak!! Universitas Indonesia. Jangan disamain ama fresh graduate kampus lain dong ah. Level UI mah udah perusahaan LN, kalo lokal mah oke aja asal harga cucok.” tulis si pengunggah.
Akibatnya netizen pun riuh. Semakin riuh karena ditanggapi para selebgram, baik yang memang alumni UI seperti Feni Rose ataupun bukan alumni seperti Melanie Subono. Unggahan di atas secara langsung menunjukkan kesadaran yang bersangkutan bahwa kampusnya berbeda dengan yang lain. Berada pada kasta tinggi.
Hal ini sebenarnya sudah menjadi kesadaran umum di alam bawah sadar publik tentang mindset kategorisasi kampus. Unggulan bukan unggulan, favorit bukan favorit. Kategorisasi ini bisa dikatakan sebagai kelanjutan dari jenjang pendidikan di bawahnya baik SD, SMP maupun SLTA.
Perbincangan kategorisasi sekolah muncul seiring dimulainya penerimaan siswa baru. Biasanya karena keluhan terhadap kebijakan zonasi sekolah dan hitungan persentase jumlah lulusan sekolah tertentu yang berhasil menembus sekolah idaman pada jenjang pendidikan berikutnya. Inilah gambaran persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan kita secara keseluruhan.
Salahkah ? belum tentu juga.
Hari-hari ini para lulusan SMA/SMK/MA itu atau kelas XII menurut penamaan kekinian, sedang fokus mempersiapan diri untuk mengikuti Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dengan kuota minimum 40% dari daya tampung Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Sebelumnya, teman-teman mereka ada yang terlebih dahulu berhasil lolos melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), kuotanya 20%. Peluang akhir ada di jalur seleksi mandiri dengan kuota maksimum 30%. Mereka akan bersaing ketat mengincar PTN unggulan atau favorit itu.
Para orang tua sudah mempersiapkan anaknya untuk ikut seleksi ini sejak SMP. Aneka ragam kursus dan bimbingan belajar menjadi menu wajib. Kondisi ini dialami oleh banyak anak Indonesia, tentunya yang punya kemampuan, khususnya uang untuk membiayai itu semua.
Dalam konteks ini, saya salut dengan anak yang berasal dari keluarga kurang mampu tapi punya kecerdasan dan kemauan keras.
Terkait PTN favorit, publik pun sering berdebat. Ada yang menganggap betapa krusialnya pengaruh nama besar almamater asal lulusan sehingga memunculkan isu ITB Connection, UGM connection, UI connection dan seterusnya. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa yang terpenting adalah kompetensi personal.
—-
Lalu, benarkah suatu PTN itu favorit karena faktor keyakinan yang telah mengakar? mitos atau ada ukurannya?
Kita bisa merujuk pada beberapa lembaga pemeringkat dari luar negeri yang memasukkan PTN kita dalam publikasi tahunannya. Sebut saja Webometrics, 4ICU.org, Quacquarelli Symonds (QS) atau Times Higer Education.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Negeri (Kemenristekdikti) juga mengeluarkan klasterisasi perguruan tinggi non-vokasi di Indonesia tahun 2018. Hasilnya secara berurutan adalah Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas.
Sumber data klasterisasi itu terdiri dari sumber data, antara lain adalah kinerja kemahasiswaan, akreditasi internasional, jumlah mahasiswa asing, data kerja sama perguruan tinggi, kinerja riset, kinerja abdi masyarakat dan inovasi, data dosen dan mahasiswa, akreditasi institusi dan program studi serta jumlah publikasi yang terindeks scopus.
—–
Akhirnya, muara dari semua proses pendidikan di kampus adalah output. Hasil Tracer Study yang dilakukan Career Development Center UI (CDC-UI) terhadap lulusannya menunjukkan bahwa pengalaman pembelajaran di luar kelas (di masyarakat, perusahaan, organisasi kemahasiswaan) dianggap sangat penting oleh kebanyakan responden.
Hampir tidak ada responden yang menyebutkan bahwa pengalaman belajar di masyarakat dan perusahaan kurang penting atau tidak penting.
Ini juga menjelaskan temuan lain bahwa ada kesenjangan yang paling lebar antara kebutuhan dan penguasaan kompetensi. Dijumpai pada persoalan kepemimpinan, manajemen organisasi, pemberdayaan masyarakat, pengetahuan praktis, serta keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis.
Pendidikan di perguruan tinggi dianggap lebih banyak menekankan pada aspek teoretis dan teknis spesifik sedangkan aspek kompetensi sosial dan komunikasi serta organisasi kurang mendapat tekanan.
Padahal saat berada di lapangan pekerjaan, user hanya melihat kemampuan kerja, cara menyelesaikan masalah dengan kemampuan menyuguhkan solusi langsung. Satu lagi yang biasanya sering disebut adalah attitude. Bagaimana cara bersikap dan beradaptasi dengan lingkungan kerja.
Terakhir ini biasanya tidak ada dalam kurikulum pengajaran. Justru, jika membawa nama besar tapi tidak sesuai ekspektasi malah rentan memberi dampak negatif terhadap kebesaran institusi. Persoalan hal ini perlu diperhatikan pada saat penyempurnaan proses pembelajaran dan kurikulum.
Ada juga yang menyampaikan fakta lain, banyaknya sarjana lulusan PTN yang bekerja di bidang yang tidak ada hubungan langsung dengan jurusan yang diambil saat kuliah. Lalu muncullah candaan, lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) tapi kerja di bank. Lulusan ITB jadi petani. Ini soal link and match ya, bukan soal kemuliaan profesi.
Kalau dianggap serius, sebenarnya ini akan memunculkan topik tambahan tentang pilihan menjadi spesialis atau menjadi generalis. Bahkan jika peserta diskusi mau lebih serius lagi, akan membawa pembicaraan pada kritik terhadap bagaimana sebenarnya orientasi kebijakan pendidikan nasional.
Sudah banyak sekali yang menyuarakan. Kenapa sih setiap ganti rezim (baca: presiden) selalu ganti kebijakan ? Bagaimana pula soal blueprint pendidikan kita? Tapi, seiring waktu setumpuk pertanyaan publik itu menjadi hanya sekedar keluh kesah berkepanjangan tanpa jawaban.
Sampai kemudian datanglah Mas Menteri yang menggelorakan untuk Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. Kita lihat saja bagaimana implementasinya.
——
Belajar dari Haerul, montir tidak tamat SD asal Pinrang Sulsel yang beken setelah menerbangkan pesawat rakitan dari mesin Kawasaki Ninja 150 cc di Pantai Ujung Tape.
Inspirasi lain dan paling fenomenal dari sosok Bu Susi Pudjiastuti. Mantan menteri lulusan SMP walau akhirnya menyelesaikan SMA lewat paket C di tengah kesibukan tugas sebagai menteri.
Penting kuliah formal di kampus favorit tapi ikhtiar peningkatan kapasitas diri tidak boleh berhenti.