Menyoal Madrasah yang Mandiri dan Berprestasi

1921
Madrasah Mandiri
Source: MAN 2 Ponorogo

Semangat meningkatkan madrasah sebagai wadah pendidikan yang berkualitas semakin menyala, melalui berbagai upaya dan inovasi. Dilansir dari artikel di laman kemenkeu.go.id disebutkan bahwa pencairan dana BOS pada tahun 2020 meningkat 6,03% dibanding tahun 2019.

Berdasarkan artikel yang dimuat di laman kemenag.go.id tertanggal 2 Agustus 2021, Kementerian Agama mengalokasikan anggaran BOP RA dan BOS Madrasah hingga Rp10,077 triliun.

Selain itu, inovasi di bidang kurikulum juga dilakukan dengan diberlakukannya KMA 183 tahun 2019 sebagai pengganti dari kurikulum terdahulu yang tertuang dalam KMA 165 tahun 2014.

Peningkatan SDM di madrasah baik tenaga pendidik maupun dan tenaga kependidikan juga selalu diupayakan melalui berbagai program, seminar, dan pelatihan. Bahkan, penelitian tentang strategi dan manajemen peningkatan mutu SDM di madrasah juga semakin menjamur.

Tiga aspek di atas, kiranya sudah mewakili betapa kerasnya upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam rangka mewujudkan madrasah sebagai wadah pendidikan yang berintegritas tinggi. Meski stereotip negatif sebagian kalangan terhadap madrasah masih ditemukan, justru hal ini akan hilang dengan sendirinya melalui peningkatan kualitas madrasah itu sendiri.

Kemandirian Madrasah

Slogan “Madrasah Mandiri Berprestasi” baru-baru ini digaungkan menggantikan slogan lama “Madrasah Hebat Bermartabat”. Suatu hal yang baik tentunya, jika slogan ini mampu menjadi bahan bakar semangat peningkatan kualitas madrasah.

Berbagai pertanyaan dasar muncul, seperti bagaimana kemandirian madrasah itu? Apa tujuan madrasah mandiri? Mengapa madrasah harus mandiri?

Baca juga: Materi Toleransi Beragama Disiapkan dalam Kurikulum Sekolah Penggerak

Penjelasan makna Madrasah Mandiri dalam video yang diunggah oleh akun Youtube Aji Kuswanto berjudul “Penjelasan Tagline Baru Madrasah Mandiri Berprestasi” menyebutkan bahwa kemandirian madrasah setidaknya tercermin dalam kemandirian belajar mengajar, kemandirian evaluasi pembelajaran, dan kemandirian finansial.

Jika mandiri diartikan–sesuai dengan KBBI–sebagai keadaan berdiri sendiri dan tanpa bergantung dengan pihak lain, maka madrasah yang mandiri berarti madrasah yang berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada pihak lain dalam hal kegiatan belajar mengajar, evaluasi pembelajaran, dan finansial.

Namun, tampaknya fakta kemandirian yang terjadi dalam proses belajar mengajar dan evaluasi pembelajaran di madrasah masih sangat minim. Bahkan, ini seolah menjadi paradoks jika dikaitkan dengan urusan administrasi yang konon cukup memberatkan bagi para guru.

Perkara Administrasi

Mereka (para guru) seolah sudah terkuras tenaga dan pikirannya untuk menyelesaikan urusan administrasi ini, hingga kesempatan untuk berinovasi menjadi sempit.

Gagasan kemandirian dalam belajar mengajar dan evaluasi pembelajaran jangan sampai berhenti pada tahap slogan saja. Seperti kritik Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra terhadap gagasan “Kampus Merdeka” yang diusung oleh Mendikbudristek.

Menurutnya, gagasan ini baru sampai pada jargon saja. Meski dari sisi program belajar sudah terumuskan cukup baik, namun gagasan tersebut banyak menjelaskan kebebasan bagi mahasiswa, tetapi minim kebebasan bagi dosen.

Untuk itu, kemandirian madrasah harus sesegera mungkin memiliki konsep dan teknis yang jelas. Apa, bagaimana, pada ruang mana saja kemandirian itu dipraktikan oleh guru dan siswa.

Kemandirian berikutnya yang disinggung dalam unggahan video tersebut adalah kemandirian finansial. Tentu muncul pikiran skeptis apa hakikat yang dimaksud dari kemandirian finansial bagi madrasah. Di saat begitu banyak madrasah yang hanya bergantung pada dana bantuan pemerintah (BOS).

Himbauan untuk tidak bergantung pada dana BOS, atau proposal pendanaan dari pihak luar agaknya sulit bagi madrasah-madrasah kecil di pelosok desa. Berbeda kasusnya dengan madrasah swasta yang memiliki nama besar dan didukung oleh Yayasan yang sudah kuat dari berbagai sisi, khususnya keuangan dan relasi.

Perkara kesejahteraan guru honorer madrasah juga menjadi problematika tambahan. Bagaimana seorang guru honorer madrasah mampu berinovasi dalam melakukan tugasnya, jika dalam kehidupannya masih disibukkan dengan perkara finansial.

Ini merupakan sebuah problem klasik yang hingga kini belum terselesaikan secara maksimal. Oleh karena itu, kemandirian finansial madrasah menjadi sebuah konsep yang bertanda tanya besar, apalagi dikaitkan dengan finansial guru-gurunya.

Prestasi Madrasah

Kembali merujuk kepada penjelasan Madrasah Mandiri Berprestasi yang diunggah dalam video Youtube tersebut. Prestasi yang diharapkan dari madrasah antara lain adalah prestasi siswa dalam bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Madrasah berprestasi merupakan turunan dari konsep madrasah bermartabat. Artinya, salah satu indikator madrasah yang bermartabat adalah terwujudnya prestasi-prestasi yang diraih oleh sebuah madrasah di berbagai bidang.

Penjelasan berikutnya mengarah kepada prestasi guru madrasah. Salah satunya adalah dengan keaktifan seorang guru dalam mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang menunjang kegiatan belajar mengajar. Satu hal yang menarik adalah himbauan agar guru madrasah dapat membuat karya tulisan yang dimuat di berbagai jurnal ilmiah.

Tentu hal tersebut adalah suatu yang positif bagi pengembangan khazanah pendidikan di lingkungan madrasah. Kebermanfaatan dari buah pikir yang dituangkan dalam tulisan ilmiah tersebut dapat dirasakan langsung oleh para guru, siswa, dan stakeholders lainnya.

Namun demikian, boleh jadi penerbitan karya ilmiah ini menjadi tujuan pragmatis administratif semata. Dalam kata lain, himbauan ini bisa saja disikapi oleh para guru “yang penting punya karya ilmiah di jurnal” tanpa memperhatikan kualitas karyanya.

Bahkan, jika produksi karya ilmiah diwajibkan bagi setiap guru atau dijadikan syarat kenaikan pangkat tertentu, maka dapat dimungkinan adanya penulisan karya ilmiah yang demikian.

Di lain sisi, urusan administrasi jurnal juga bukan perkara mudah bagi guru honorer dengan pendapatan di bawah satu juta rupiah. Pasalnya, jika dikaitkan dengan jurnal-jurnal nasional bereputasi, maka biaya yang harus dikeluarkan juga cukup besar dibanding pendapatan guru itu sendiri.

Rata-rata jurnal nasional yang terakreditasi Sinta 2 saja misalnya, membebankan biaya publikasi rata-rata 1 juta rupiah sampai dengan 2 juta rupiah.

Pada akhirnya, slogan “Madrasah Mandiri Berprestasi” ini masih membutuhkan konsep dan praktik yang jelas. Serta dibarengi dengan kebijakan-kebijakan pendukung lain yang menunjang terwujudnya kemandirian dan prestasi seluruh warga madrasah.

Sehingga madrasah tidak hanya menjadi wadah pendidikan, tetapi menjadi sumber mata air kebermanfaatan untuk berbagai pihak.

Wallahu a’lam

Penulis: Rizky Fathul Huda, MA
(Awardee Beasiswa PMLD Kemenag – Doktoral UIN Jakarta)